Korupsi Gaya Baru | Opini: Janwan Tarigan
Janwan Tarigan
Puluhan tahun lalu Bung Hatta pernah berucap bahwa “Korupsi sudah membudaya di Indonesia”. Ucapan yang kemudian menuai kehebohan dan tak sedikit kritik tajam terhadap Bung Hatta yang dianggap pesimis. Setelah puluhan tahun lamanya, ungkapan Bung Hatta itu tampak relevan karena korupsi tiada henti menggerogoti sendi bangsa dan negara kita. Namun apakah tepat kita menyebut korupsi telah membudaya? Untuk itu kita perlu membedah makna frasa dan realitas hari ini.
Perlu dicatat bahwa Bung Hatta mengatakan “membudaya” bukan “budaya”. Kata membudaya dapat dipahami sebagai gambaran praktik korupsi di Indonesia kala itu yang terus berulang dari satu era pemimpin ke era pemimpin berikutnya. Sekilas memang mirip arti kebudayaan yakni diturunkan dari satu generasi ke generasi selanjutnya atau sering disebut tradisi. Sampai di sini tentu belum cukup meyakinkan kita membenarkan korupsi sebagai tradisi bangsa. Untuk itu lebih jauh perlu dipahami kondisi kontekstual yang melatari ungkapanBung Hatta tersebut.
Saat itu, pungutan liar (Pungli) marak terjadi di berbagai lini pemerintahan, bahkan karena terus berulang dan tidak ada upaya serius dan konkret dalam memberantasnya seperti sudah menjadi hal lumrah. Atas dasar kondisi itulah Bung Hatta menilai “Korupsi sudah membudaya” atau “terus menerus terjadi” dan “dianggap lumrah”. Ungkapan Bung Hatta ini harus diakui memiliki kedalaman makna yang tidak dapat disimpulkan sepintas.
Saya meyakini Bung Hatta tidak sedikit pun bermaksud “pesimis” lalu ikut arus menganggap korupsi “lumrah” dan perlu “dibudayakan”, sebaliknya ungkapannya merupakan sebuah kritik betapa kronisnya praktik korupsi di Indonesia. Bagaimana pun juga falsafah budaya bertitik tolak pada kebaikan bagi peradaban, sementara korupsi jelas tidak membawa sesuatu apa pun kebaikan, sebalinya justru sangat merugikan bangsa. Terang bahwa korupsi bukan budaya kita. Jika pun terpaksa dianggap budaya, maka lebih tepatlah ia disebut “budaya koruptor”. Sebab meski sudah memahami konsekuensi dari tindakannya merugikan orang banyak, tetap saja keserakahan selalu menggerakkannya mencari keuntungan secara tidak sah dan berulang.
Hari-hari ini jika kita refleksikan tampak ungkapan Bung Hatta nyata terjadi. Korupsi. Kita menyaksikan sendiri hampir setiap minggu bahkan dalam hitungan hari, ada saja kasus korupsi yang berhasil terungkap dan diberitakan bermacam media massa. Situasi yang kemudian memengaruhi pandangan publik saat mengetahui suatu kasus korupsi bukan lagi menjadi suatu yang “mengagetkan”. Mungkin masyarakat sudah bosan menonton beragam kasus korupsi yang tak hentinya-hentinya terjadi. Meski demikian tentu rasa geram masyarakat pasti ada ketika “uang rakyat” ditilap oleh mereka yang seharusnya memperjuangkan kepentingan publik.
Dari Pungli ke Korupsi Politik
Membaca fenomena korupsi belakangan ini berbeda dengan kesaksian Bung Hatta puluhan tahun lalu. Sebenarnya perbedaannya tidak mencolok, hanya saja korupsi saat ini lebih kronik. Jika dulu paling banyak korupsi jenis Pungli dan tersentral di pusat pemerintahan, sekarang ini banyak terjadi korupsi paling berbahaya, yakni korupsi politik dan tersebar di semua sektor institusi negara.
Praktik Pungli lebih menyasar pelayanan publik, seperti pengenaan biaya administrasi yang tak sesuai peraturan saat masyarakat mengurus layananan. Hubungannya antara birokrasi dan masyarakat. Hingga saat ini pun korupsi jenis Pungli masih ada, namun tren korupsi politik saat ini lebih dominan, yaitu korupsi penyalahgunaan kekuasaan untuk kepentingan diri sendiri dan golongannya (Alkostar, 2015: 19). Pembeda dengan korupsi pada umumnya, korupsi politik berakibat luas tidak sebatas kerugian keuangan Negara tetapi juga mencederai sistem politik-pemerintahan, merusak tatanan keadilan sosial-ekonomi, dan pada gilirannya pasti melanggar hak asasi manusia (HAM).
Salah satu contoh yang cukup sering terjadi adalah, ijon politik, yaitu korupsi dengan cara pertukaran kepentingan. Biasanya terjadi dalam proses Pemilu antara calon pemimpin dengan Parpol dan pengusaha, melalui kesepakatan atau kontrak politik di awal sebelum calon pemimpin diusung Parpol atau didukung pendanaannya oleh korporasi tertentu. Sebagai imbalannya, pemimpin terpilih nantinya harus memenuhi kemauan Parpol dan pengusaha sesuai perjanjian kontrak politik.
Bukan rahasia lagi, pemimpin terpilih harus melunasi “ongkos kontestasi” kepada Parpol yang telah memberikan tiket dan bersedia menjalankan mesin partainya. Lain hal kaitannya dengan pengusaha yang telah mendanai proses pemilihan sang calon, biasanya meminta jatah “proyek pembangunan”. Dalam ilmu biologi proses ini sifatnya simbiosis mutualisme atau saling menguntungkan; calon pemimpin mendapat “tiket kontestasi” dan dukungan dari Parpol, dan Parpol mendapat “mahar politik” dari calon pemimpin; calon pemimpin memperoleh dana untuk proses pemilihan dari pengusaha, lalu pengusaha mendapat “jatah proyek” saat calon terpilih.
Sama-sama mendapat keuntungan untuk dirinya sendiri dan golongannya melalui penyalahgunaan kekuasaan, inilah yang dimaksud korupsi politik. Akibatnya, sistem demokrasi tidak berjalan secara substansial, melainkan dipenuhi money politic (politik uang) yang berkutat pada demokrasi procedural semata. Rakyat merugi bertubi-tubi, selain demokrasi tidak menghasilkan pimpinan berkualitas, uang rakyat atau sumber daya publik lainnya juga akan dipergunakan untuk memenuhi “kontrak politik” antara Pemimpin pemerintahan, Parpol dan Pengusaha.
Jika ditelaah lebih dalam, dampak korupsi politik ini berujung pada pelanggaran hak asasi manusia akibat pelayanan publik tidak berjalan optimal karena anggarannya “disunat”. Pembangunan pun tak lagi berorientasi kepentingan publik, proyek yang dikerjakan oleh korporasi yang “dimenangkan” akan berusaha memulihkan uang yang keluar saat proses kampanye sang calon. Lebih-lebih sang pengusaha akan mencari keuntungan (berburu rente) dari proyek-proyek tersebut sehingga kualitas pembangunan otomatis menajadi buruk. Acap terjadi fasilitas publik cepat rusak, lalu dianggarkan setiap tahunnya.
Fenomena Gunung Es Korupsi
Ada yang tampak tapi lebih banyak yang tidak tampak. Korupsi yang terendus, terungkap, lalu diberitakan sampai kepada publik diyakini hanyalah sedikit dari banyak praktik korupsi. Hanya sebagian kecil yang muncul ke permukaan. Kondisi ini seperti fenomena “gunung es” yang tampak kecil di permukaan laut tapi puluhan kali lipat lebih besar di bagian bawah permukaan. Dampaknya tentu saja sama, tapi dalam penindakannya ada yang berhasil dikenakan sanksi dan ada yang santai menikmati hasil korupsi. Maka pekerjaan rumah ke depan yang menjadi tantangan adalah mengungkap tuntas korupsi laten.
Namun sebelum lebih jauh membahas korupsi laten, perlu kiranya ada langkah serius pemberantasan korupsi yang jelas tampak tapi jarang sekali tersentuh. Sebagai gambaran dapat dilihat pada Laporan Hasil Pemeriksaan Badan Pemeriksa Keuangan (LHP BPK) yang setiap tahunnya merilis temuan kerugian keuangan Negara. Dalam Ikhtisar Hasil Pemeriksa an Semester (IHPS) I Tahun 2021 terhadap keuangan Negara/daerah, ada 8.483 temuan, dengan nilai total Rp8,37 triliun.
Dari jumlah temuan terdapat permasalahan sebanyak 14.501, di antaranya disebabkan kelemahan Sistem Pengendali Internal (SPI) berjumlah 6.617, sebab ketidakpatuhan terhadap ketentuan perundang-undangan berjumlah 7.512, dan sebab ketidakhematan, ketidakefisienan, dan ketidakefektifan sebanyak 372 (Rp113,13 miliar). Lebih lanjut dijelaskan ketidakpatuhan dibagi dua, yaitu pertama ketidakpatuhan karena penyimpangan administrasi sebanyak 2.738 temuan, dan kedua ketidakputuhan sebanyak 4.774 temuan (Rp8,26 triliun) yang dapat mengakibatkan: a. kerugian senilai Rp1,94 triliun (3.104 temuan), b. potensi kerugian Rp776,45 miliar (612 temuan), dan b. kekurangan penerimaan senilai Rp5,55 triliun.
Data BPK di atas menunjukkan bahwa sebagian besar temuan disebabkan ketidakpatuhan terhadap ketentuan perundang-undangan. Selain itu ketidakpatuhan yang paling banyak menyebabkan kerugian paling besar pada sektor kekurangan penerimaan yakni 5,55 triliun dari total kerugian 8,37 triliun. Data ini menjelaskan bahwa sektor penerimaan Negara adalah yang paling rentan mengalami potensi kerugian. Di sisi lain, kerugian keuangan Negara pada sektor penerimaan ini masih jarang diungkap oleh penegak hukum yang membuatnya menjadi “ladang basah” korupsi.
Selanjutnya proses pengembalian kerugian keuangan Negara juga belum optimal. Dari sejumlah permasalahan tersebut, BPK memberi 23.356 rekomendasi kepada entitas terkait. Beberapa entitas saat laporan IHPS Semester I pada bulan Juni 2021 sudah menyerahkan aset atau menyetor ke kas Negara/daerah/perusahaan selama proses pemeriksaan sebesar Rp967,08 miliar atau (11,7%) dari nilai permasalahan ketidakpatuhan yang berdampak finansial sebesar Rp 8,26 triliun.
Mengacu Pasal 1 ayat 15 Undang-Undang Nomor 15 Tahun Tahun 2006 tentang BPK menegaskan bahwa “kerugian negara/daerah adalah kekurangan uang, surat berharga, dan barang, yang nyata dan pasti jumlahnya sebagai akibat perbuatan melawan hukum baik sengaja maupun lalai”. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Tindak Pidana Korupsi tegas mengamanatkan bahwa “Pengembalian kerugian keuangan negara atau perekonomian negara tidak menghapuskan dipidananya pelaku tindak pidana”. Berdasarkan kedua penjelasan peraturan tersebut maka jelas bahwa pemberantasan korupsi melalui pendekatan penindakan pada kasus kerugian keuangan negara harus dilakukan. Akan tetapi faktanya tidaklah demikian. Pelaku yang menimbulkan kerugian keuangan Negara dengan mudahnya lolos dan mengulangi perbuatannya.
Meski kerugian keuangan Negara sudah terlihat jelas, tapi sangat jarang temuan hasil audit BPK ditindaklanjuti oleh aparat penegak hukum yang kemudian membuat pelaku “enggan” mengembalikan kerugian keuangan Negara. Selain itu kelonggaran hukum ini memberi rasa nyaman tersendiri bagi pelaku, tampak dari kecenderungan adanya temuan berulang kerugian keuangan Negara pada LHP BPK dari tahun ke tahun. Upaya preventif pun pada tahun tahun berikutnya juga semakin lemah, sebaliknya justru menciptakan iklim baik bagi pemburu rente untuk mengulangi perbuatannya. Fenomena kerugian keuangan Negara telah menjadi “korupsi gaya baru” yang hingga kini terus berlangsung tapi tidak ditindak sama layaknya kasus korupsi lain.
Penindakkan tidak semata dapat dikalkulasi berbanding lurus dengan pembiayaan-pengeluaran negara saat penindakan maupun setelahnya. Jika dikalkulasi tentu sekilas upaya penindakan seluruh kasus korupsi akan dianggap membebani keuangan negara, maka hanya dibatasi pada upaya pengembalian kerugian keuangan negara tanpa disertai sanksi kepada pelakunya.
Kerja-kerja penindakan perlu dilihat dalam jangka panjang akan memperbaiki kerja-kerja pencegahan dan secara keseluruhan pemberantasan korupsi. Maka penegak hukum yang berwenang dalam pemberantasan korupsi (kejaksaan, kepolisian, dan KPK) harus melakukan penindakan secara tuntas setiap kasus korupsi, baik korupsi besar pun kecil, bahkan perlu mendalami kasus yang selama ini tidak tampak tapi nyata merugikan keuangan negara. Langkah serius ke depan harus dimulai dari aparat hukum pemberantas korupsi yang seimbang menjalankan penindakan, pencegahan, dan pengembalian kerugian keuangan negara. Kemudian secara perlahan mengubah mental korup menjadi mental berintegritas.
Janwan Tarigan, menyelesaikan studi S-1 Ilmu Pemerintahan Universitas Brwijaya pada tahun 2020. Pria kelahiran 1998 kini menjadi peneliti Malang Corruption Watch (MCW) dan berdomisili di Kota Malang.