26 Tahun Semanggi I: Keadilan Korban Belum Terwujud
Berita Baru, Jakarta – Pada tanggal 13 November 2024, genap 26 tahun berlalu sejak terjadinya Peristiwa Semanggi I, peristiwa pelanggaran hak asasi manusia (HAM) yang berat, namun hingga kini dinding impunitas masih melindungi para pelaku.
Meski rezim Orde Baru telah tumbang, penggunaan kekuatan berlebihan oleh aparat keamanan terhadap massa demonstrasi pada masa itu masih membayangi sejarah penegakan HAM di Indonesia.
Peristiwa ini terjadi sebagai respon massa yang memperjuangkan demokrasi dan semangat reformasi, menolak Sidang Istimewa yang dianggap inkonstitusional, serta mendesak pemerintah untuk segera mengatasi krisis ekonomi. Namun, harapan para demonstran dibalas dengan tindakan represif oleh aparat keamanan.
Pada 13 November 1998, Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (TNI) mengerahkan kendaraan lapis baja dan melibatkan ribuan pamswakarsa—warga sipil bersenjata—untuk membubarkan massa.
Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) melalui Komite Penyelidikan Pelanggaran (KPP HAM) menemukan bahwa aparat TNI dan Kepolisian Republik Indonesia (Polri) secara sistematis mengejar, memukul, dan menembak para demonstran di dalam lingkungan Universitas Atma Jaya. Serangan brutal ini menggunakan peluru tajam dan mengakibatkan jatuhnya korban jiwa.
Menurut catatan Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS), sebanyak 18 orang tewas dalam Peristiwa Semanggi I, termasuk tujuh mahasiswa dari berbagai universitas. Selain itu, 109 orang mengalami luka-luka akibat kekerasan aparat. Hingga kini, kasus ini masih mengalami stagnasi di ranah hukum, tanpa kejelasan penyelesaian.
“Berdasarkan data yang kami peroleh, pada 30 September 2024, Kejaksaan Agung menyatakan bahwa tidak ada penyidikan terkait pelanggaran berat HAM yang sedang ditangani,” ungkap KontraS dalam laporannya. Pernyataan ini menambah kekecewaan publik atas lambannya proses hukum.
Jaksa Agung bahkan pernah menyatakan di hadapan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) bahwa peristiwa Semanggi I bukanlah pelanggaran berat HAM. Pernyataan ini jelas keliru, karena hanya Komnas HAM yang berwenang menetapkan suatu peristiwa sebagai pelanggaran berat, sebagaimana diatur dalam Undang-Undang No. 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM.
Dalam peringatan 26 tahun ini, KontraS mendesak Kejaksaan Agung dan Komnas HAM untuk berhenti menghambat penyelesaian kasus, menghentikan praktik impunitas, dan memastikan bahwa tindakan represif serupa tidak akan terulang dengan penegakan hukum yang adil.