Bawaslu Jabarkan Potensi Masalah Pemilu di Luar Negeri
Berita Baru, Jakarta – Ketua Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu) Rahmat Bagja menjabarkan sejumlah potensi masalah bagi pemilih di luar negeri. Menurutnya, berdasarkan pengalaman pemilu sebelumnya yang paling rawan adalah para pekerja migran dengan metode kotak suara keliling dan metode pos.
Bagja, sapaan akrabnya, mengungkapkan bahwa pemilu di luar negeri menggunakan 3 (tiga) metode pemungutan suara, yakni metode tempat pemungutan suara (TPS), kotak suara keliling, dan metode pos.
“Yang paling banyak masalah metode kotak suara keliling dan metode pos. Perlu diketahui kotak suara keliling ini terobosan untuk memfasilitasi pemilih pada negara yang mempunyai banyak pekerja migran Indonesia,” katanya.
Hal ini disampaikan dalam Diskusi Publik bertema ‘Persiapan, Tingkat partisipasi dan Tantangan Pemilu 2024 di Luar Negeri’ yang dilakukan secara daring, atas kerja sama Koalisi Pewarta Pemilu dan Perhimpunan Pelajar Indonesia (PPI) Italia, Jumat (20/1).
Bagja menuturkan, permasalahan utama biasanya berasal dari daftar pemilih tetap (DPT). “Ada persoalan pakai paspor atau tidak. Di Malaysia itu paspor ditahan oleh pengusaha, sehingga dia hanya mempunyai kartu pekerja,” sambungnya.
Bagi Bagja, kotak suara keliling juga rentan atas dokumen ganda seperti penggunaan paspor dan kartu pekerja. “Menurut saya, kotak suara keliling ini masih relevan sampai sekarang dengan perlunya penguatan pengawasan,” tuturnya.
Bagja juga mengaku, potensi masalah menggunakan metode pos paling banyak akibat pemilih yang mengambil dua metode sekaligus, yakni mencoblos di TPS yang biasanya ada di kedutaan besar sekaligus juga memilih menggunakan metode pos.
“Sehingga memilih dua kali di TPS dan metode pos karena metode pos dikirim dua minggu sebelum hari pemungutan suara,” tambahnya.
Ia menjelaskan, alamat domisili juga sering pula menjadi masalah di negara yang banyak pekerja migran. “Dulu, ada kasus dulu di Kuala Lumpur, satu alamat untuk sekitar 500 pemilih untuk satu tempat alamat, sehingga kesulitan dalam mengirimkan formulir undangan (C-6),” tutur Bagja.
“Catatan kami di Malaysia, Pada Pemilu 2019, ada sekitar 2,5 juta pemilih. Ke depan, teman-teman Kemenlu (Kementerian Luar Negeri) untuk menjaring undocumented (warga negara yang tidak diketahui dokumentasi identitasnya),” sambungnya.
Meski begitu, Bagja meyakinkan kalau negara melalui upaya pemerintah dan penyelenggara pemilu sangat kuat untuk menjamin hak pilih.
Permasalahan lain, lanjutnya, adalah fenomena ‘pindah pilih’ bagi warga negara Indonesia yang saat hari pemungutan suara sedang melakukan liburan ke luar negeri.
“Dia dari TPS di Indonesia pindah ke TPS di luar negeri. Itu menjadi kebingungan tersendiri karena tidak terdaftar pemilih di TPS negara tersebut. ni akan kita cari masukan untuk mencari solusinya bersama dengan KPU,” imbuh dia.
Perlu diketahui, dalam acara ini hadir pula Anggota KPU Yulianto Sudrajat, Staf Ahli Bidang Hubungan Antar Lembaga Kemlu, Muhsin Syihab Ketua Umum PPI Italia Riri Endiani Febri, dan peserta dari PPI Italia dan Koalisi Pewarta Pemilu.
Yulianto Sudrajat sendiri menyatakan adanya rencana Pembentukan Panitia Pemilihan Luar Negeri (PPLN) pada 16 Januari hingga 1 Februari 2023 untuk masa kerja hingga 4 april 2024.
“Kategorinya 3 orang PPLN untuk kurang dari seribu pemilih. Lima orang untuk lebih dari seribu sampai sepuluh ribu pemilih. Dan tujuh orang PPLN untuk lebih dari 10 ribu pemilih dengan memperhatikan 30 persen keterwakilan perempuan,” katanya.