Yu Sing dan Beban Berat Seorang Arsitek
Berita Baru, Tokoh – Berdasarkan statistik, 35% energi habis di sektor properti. Angka ini lebih besar daripada konsumsi di sektor industri secara global.
Menurut penuturan Yu Sing, hal tersebut memang wajar. Pasalnya, mulai dari bahan baku seperti keramik dan semen, proses konstruksi, hingga ketika siap digunakan, properti mengonsumsi energi yang besar.
Yu Sing menyampaikan ini dalam Talkshow Bercerita ke-63 Beritabaru.co bersama Sarah Monica sebagai host pada Selasa (7/9).
Termasuk dalam yang menghabiskan energi di sektor properti, kata Yu Sing, adalah transportasi bahan baku sebelum proses konstruksi dan penggunaan listrik saat bangunan sudah dipakai.
“Memang begitu. Satu lagi yang penting diperhatikan ketika ingin mendirikan bangunan adalah di mana tempat belanja bahan baku. Semakin dekat tempat beli kita, semakin hemat konsumsi energi kita,” ujar Pemilik Studio Akanomia ini.
“Di waktu yang sama, karena inilah saya bisa menyebut bahwa pekerjaan yang merusak itu ya arsitek. Bebannya berat,” imbuhnya.
Beban yang Yu Sing maksud di sini tidak saja merujuk pada sektor properti yang boros energi, tetapi pada kenyataan bahwa seperti apa pun bangunan hijau (green building) menjamur di suatu kota, tetap saja mereka tidak bisa memberikan kontribusi yang berarti.
Yu Sing bercerita tentang Singapura sebagai contoh. Dalam hal bangunan hijau—yang digadang sebagai bangunan ramah lingkungan—Singapura adalah negara terbaik kedua di dunia.
Namun, dihitung sejak 1985 – 2015 kenaikan suhu di Singapura 2 x lipat di atas rata-rata kenaikan suhu global. Jika negara pada umumnya tidak sampai 1 derajat, maka Singapura mengalami kenaikan 2 derajat.
“Coba bayangkan. Dari contoh ini, bangunan hijau tidak memiliki hubungan dengan penurunan suhu. Artinya, bangunan hijau tidak bisa menurunkan suhu bumi, padahal salah satu tujuan utamanya adalah itu,” ungkap Yu Sing dalam diskusi bertema Arsitektur Hijau: Visi dan Transformasi Sosial ini.
Alasan kenapa bisa demikian, Yu Sing melanjutkan, adalah karena setiap bangunan yang mendapatkan sertifikat green building di Singapura masih menggunakan AC.
Teknologi AC memang mendinginkan ruang di dalam, tetapi memanaskan ruang di luar yang persis di titik ini, sulit untuk menyebut bahwa bangunan hijau memiliki kontribusi pada penurunan suhu bumi.
“Tapi jika dibilang harus ada kontribusi, maka kontribusi yang diberikan bangunan hijau sebatas merusak lebih sedikit. Itu saja. Dan yang pasti dengan adanya program ini, kita bisa memiliki data tentang semua itu,” ujar Yu Sing.
Parameter bangunan hijau
Terlepas dari besar-kecilnya kontribusi bangunan hijau pada pemanasan global, kesadaran menuju green building tetap dibutuhkan, apalagi untuk kelas menengah ke atas.
Menurut Yu Sing, seseorang setidaknya perlu memperhatikan empat (4) hal dalam kaitannya dengan bangunan hijau. Pertama, akses matahari. Bangunan hijau mengandaikan cahaya matahari bisa leluasa masuk rumah agar ketika siang hari tidak membutuhkan cahaya lampu.
Kedua, tempat membeli bahan baku berdekatan dengan tempat konstruksi. Untuk memiliki bangunan hijau, tegas Yu Sing, siapa pun sama sekali tidak perlu membeli bahan baku dari luar negeri.
“Ya biar tidak melibatkan transportasi yang juga akan menyumbang pemanasan global. Jadi, prinsipnya semakin dekat tempat membeli bahan baku, maka semakin hijau pula bangunannya,” jelas Yu Sing.
Ketiga, pada bagian dalam rumah diperlukan ruang khusus untuk tumbuhan-tumbuhan. Semakin lebar ruang ini, semakin baik hasilnya.
Keempat, teknologi perkakas seyogianya yang sudah green atau hemat dan ramah lingkungan. Kendati begitu, Yu Sing menyarankan bahwa akan sangat lebih baik jika bangunan hijau tidak menggunakan AC.
“Sebenarnya AC itu tidak terlalu penting. Untuk urusan hawa sejuk atau panas, ini tergantung bagaimana kita membangun ventilasinya, lorong untuk angin, ketebalan tembok di jalur matahari, dan semacamnya,” kata Yu Sing.
Di faset ini, Yu Sing sempat menyitir soal konsumsi energi antara kelas menengah ke bawah dan menengah ke atas. Baginya, kelas yang pertama konsumsinya jauh lebih rendah dibanding kelas kedua.
Ini berarti bahwa sebetulnya masyarakat kelas menengah ke bawah jauh lebih hijau secara bangunan ketimbang kelas menengah ke atas.
“Tapi kadang itu lucu ya. Saya sering menjumpai para orang kaya itu justru menasehati orang-orang yang mereka anggap miskin soal green building, padalah dalam praktiknya kan yang dinasehati jauh lebih bagus. Unik memang,” sindir Yu Sing.