YLBHI Tuntut Langkah Konkret Presiden Jokowi Usut Pelanggaran HAM Berat Masa Lalu
Berita Baru, Jakarta – Yayasan Lembaga Hukum Indonesia (YLBHI) mengkhawatirkan pernyataan Presiden Jokowi terkait pengakuan, penyesalan, dan jaminan ketidakberulangan terhadap 12 kasus pelanggaran HAM berat hanya akan berujung retorika saja.
Oleh karena itu, YLBHI dan 18 LBH se-Indonesia menuntut langkah konkret Presiden Jokowi untuk mendorong pengusutan hukum serta tindakan strategis lainnya atas kasus-kasus HAM berat di masa lalu itu.
“YLBHI mendesak pengakuan dan penyesalan tersebut harus dibuktikan secara konkret melalui proses hukum, tindakan dan keputusan-keputusan strategis,” kata YLBHI dalam keterangan tertulisnya, Jumat (13/1/2023).
Menurut mereka, pemerintahan Jokowi yang telah berjalan dua periode melalui Jaksa Agung hingga saat ini tidak menunjukkan keseriusan mengungkap dan menarik pertanggungjawaban pelaku-pelaku kejahatan kemanusiaan melalui proses penyidikan yang independen, transparan, dan akuntabel.
Bahkan, kata mereka, dalam peristiwa Tragedi Semanggi I dan II, meski belum dilakukan penyidikan, Jaksa Agung menyatakan kasus tersebut bukan pelanggaran HAM berat dan berujung pada gugatan oleh korban.
“Selain itu, satu-satunya kasus yang diproses ke penyidikan hanyalah Kasus Paniai. Kasus ini pun dilakukan dengan banyak sekali kejanggalan dan berakhir pada putusan bebas pada terdakwa tunggal,” ujar mereka.
Menurut mereka, alih alih menyeret pelaku ke pengadilan, Jokowi justru mengangkat terduga atau nama-nama yang sangat erat dengan kasus-kasus pelanggaran HAM berat untuk menjadi pejabat negara.
“Seperti Wiranto, Prabowo, Untung Budiharto dan lainnya diangkat dalam jabatan-jabatan strategis pemerintahan/militer,” ujarnya.
Selai itu, mereka juga menyoroti pembentukan Tim Penyelesaian Nonyudisial Pelanggaran Hak Asasi Manusia (TPP HAM) oleh Jokowi. Mereka berpendapat tim itu tidak lebih dari pencitraan Jokowi akhir masa periode kedua jabatan presiden.
“Untuk seolah memenuhi janji politiknya dan bagian dari langkah pemerintah untuk terus memberikan impunitas kepada pelaku pelanggaran HAM berat, terlebih menjelang Pemilihan Umum 2024,” ucapnya.
YLBHI menyebut dari 11 rekomendasi yang disampaikan oleh TPP HAM 11 Januari 2023 melalui Menkopolhukam Mahfud M.D, tidak ada satupun yang menyebutkan adanya dorongan pemerintah untuk akselerasi dan akuntabilitas penegakan hukum.
“Padahal, kasus-kasus pelanggaran HAM melalui pengadilan HAM berat yang selama ini mangkrak di Kejaksaan Agung,” ujarnya.
Sebelumnya pada tengah pekan ini, Jokowi mewakili negara mengakui ada 12 pelanggaran Hak Asasia Manusia (HAM) berat di Indonesia.
Dia juga mengaku menyesalkan dan tidak akan membiarkan peristiwa semacam itu terjadi lagi. Adapun 12 pelanggaran HAM berat yang diakui Jokowi yakni; peristiwa 1965-1966, penembakan misterius pada 1982-1985, peristiwa Talangsari di Lampung pada 1989, peristiwa Rumoh Geudong dan Pos Sattis di Aceh pada 1989.
Kemudian, peristiwa penghilangan orang secara paksa pada 1997-1998, kerusuhan Mei 1998, Trisakti dan Semanggi I dan II pada 1998-1999, pembunuhan dukun santet pada 1998-1999, Simpang KKA di Aceh pada 1999, peristiwa Wasior di Papua pada 2001-2002, peristiwa Wamena Papua pada 2003, dan peristiwa Jambo Keupok di Aceh pada 2003.