YLBHI Desak Kapolri Hentikan Brutalitas Aparat Kepolisian dalam Aksi Demonstrasi di Berbagai Kota
Berita Baru, Jakarta – Gelombang demonstrasi besar-besaran yang terjadi di berbagai kota di Indonesia pada hari ini, termasuk Jakarta, Bandung, Semarang, dan Makassar, menjadi ajang bagi masyarakat untuk menyuarakan ketidakpuasan mereka terhadap pemerintah. Demonstrasi ini merupakan respon atas upaya Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) yang diduga berusaha menggagalkan putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 60/PUU-XXII/2024 dan 70/PUU-XXII/2024. Namun, aksi damai tersebut berakhir dengan kekerasan setelah aparat kepolisian melakukan tindakan represif yang dinilai berlebihan.
Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) melaporkan di dalam siaran pers yang diterbitkan pada Kamis (22/8/2024) bahwa aparat kepolisian di berbagai kota bertindak brutal dalam menangani massa aksi. Di Semarang, kepolisian membubarkan aksi mahasiswa dengan menembakkan gas air mata dan melakukan pemukulan. “Polisi bahkan mengejar para demonstran menggunakan motor taktis dan menembakkan gas air mata ke arah mereka. Setidaknya 18 massa aksi harus dilarikan ke rumah sakit,” ujar YLBHI dalam siaran persnya.
Di Makassar, aksi unjuk rasa dibubarkan oleh polisi setelah diketahui bahwa Iriana Jokowi akan melewati jalan yang sedang digunakan untuk demonstrasi. Sementara itu, di Bandung, 31 orang massa aksi mengalami kekerasan, dengan dua di antaranya mengalami luka serius di kepala. “Selain itu, dua orang masih belum diketahui keberadaannya hingga siaran pers ini disiarkan,” tambah YLBHI.
Situasi di Jakarta tidak jauh berbeda. Aparat kepolisian mulai menembakkan gas air mata setelah massa aksi berhasil merobohkan pagar DPR. “Setelah kerumunan terpecah, polisi memburu mahasiswa dan pelajar. Banyak dari mereka yang dianiaya, dipukul dengan tongkat, dan ditendang oleh polisi,” jelasnya. YLBHI juga melaporkan bahwa hingga pukul 21.00 WIB, 11 orang massa aksi telah ditangkap, dengan satu orang di antaranya menjadi korban doxing.
Tindakan represif aparat kepolisian ini tidak hanya melanggar hukum, tetapi juga bertentangan dengan peraturan internal Polri. “Penyiksaan yang dilakukan oleh aparat kepolisian adalah tindakan yang melanggar hukum dan peraturan internal Kapolri itu sendiri,” tegas YLBHI. Ia merujuk pada Peraturan Kapolri Nomor 1 Tahun 2009 yang menyatakan bahwa pihak kepolisian tidak boleh terpancing, tidak boleh arogan, dan tidak boleh melakukan kekerasan bahkan di situasi kerumunan massa yang tidak terkendali.
YLBHI mendesak Kapolri untuk segera memerintahkan anak buahnya menghentikan kekerasan terhadap massa aksi yang sedang melakukan demonstrasi. “Demonstrasi adalah hak asasi manusia dan hak warga negara yang dijamin oleh Undang-Undang 1945. Setiap kekerasan, represi, dan brutalitas aparat merupakan bentuk pelanggaran hukum dan tindak pidana serta melanggar kode etik kepolisian,” katanya dengan tegas.
Dalam pernyataan sikapnya, YLBHI juga mendesak Kapolri untuk segera melepaskan massa aksi yang ditangkap. “Kami mendesak Kapolri, Kapolda Metro Jaya, dan seluruh Kapolda di jajaran kepolisian hingga Kapolres untuk menjaga anak buahnya agar tidak melakukan represi dan kekerasan yang merupakan tindakan pidana,” tegas YLBHI.
YLBHI juga meminta Mabes Polri untuk memerintahkan Polda Metro Jaya dan satuan wilayah di bawahnya agar memastikan akses bantuan hukum bagi massa aksi yang ditangkap. Selain itu, mereka juga mendesak agar massa aksi yang mengalami luka akibat kekerasan segera dibawa ke rumah sakit untuk mendapatkan pengobatan intensif.
Dalam penutupnya, YLBHI meminta lembaga-lembaga pengawas seperti Komnas HAM, Kompolnas, KPAI, Ombudsman RI, dan Komnas Perempuan untuk segera turun melakukan pemantauan di lapangan maupun di kantor-kantor kepolisian di bawah Polda Metro Jaya. “Situasi ini menunjukkan bahwa Indonesia sedang berada dalam darurat demokrasi,” pungkasnya.