Beritabaru.co Dapatkan aplikasi di Play Store

 Berita

 Network

 Partner

Yanuar Nugroho: Stop Tribalisme
Foto: KSI Indonesia

Yanuar Nugroho: Stop Tribalisme



Berita Baru, Jakarta — Akademisi Yanuar Nugroho berkata bahwa serangan siber atau peretasan pada media massa dan aktivis tidak lain merupakan bagian dari sentimen tribalisme pasca Pemilu. Sentimen itu tidak memandang benar atau salah sebab yang penting adalah kelompoknya.

Dituturkan oleh Yanuar bahwa polarisasi yang terjadi pascapemilihan umum itu berbahaya, dan bahkan menjadi ancaman bagi pembangunan bangsa.

“Pemerintah harus dibantu sekuat-kuatnya, tapi juga perlu dikritik seluas-luasnya. Itulah hakikat perbaikan,” terangnya, saat mengisi diskusi di @Tempo dengan tajuk Pembungkaman Kritik di Masa Pandemi, Kamis, (27/8) kemarin.

Lanjut Yanur, Pemilu sederhananya adalah soal siapa yang akan memerintah. Tetapi, selepas itu harus ada kerja sama di antara kelompok yang berbeda dalam rangka memajukan bangsa. Caranya dengan saling adu program.

“Sayangnya kepantasan itu dihancurkan. Sehingga kerja sama setelah pemilu menjadi mustahil,” terang mantan deputi di Kantor Staf Presiden (KSP) itu.

Sementara itu, Direktur Eksekutif Southeast Asia Freedom of Expression Network (SAFEnet) Damar Juniarto mencatat bahwa pada Agustus 2020 sudah ada 6 peretasan terhadap kelompok berisiko. Mulai dari jurnalis, akademikus, dan aktivis.

Enam serangan tersebut terdiri dari satu serangan website deface yang menimpa situs Tempo.co, empat akses ilegal, dan satu pengambilan akun.

Menurut Damar, kasus peretasan tersebut diduga kuat kaitannya dengan aktivitas para korban yang mengkritik kebijakan penanganan COVID-19 dari pemerintah.

“Siapa yang ada di balik serangan tentu saja mereka yang berposisi berseberangan. Kami belum tahu siapa, tapi paling tidak mereka sedang bahagia karena seolah tidak ada upaya atau penangkapan terhadap tindakan kriminal itu. Ini yang kami khawatirkan,” katanya dia.

Selain itu, Damar memandang bahwa serangan siber terhadap kelompok berisiko ini diduga ada motif politik.

“Kami khawatir karena jumlahnya makin banyak, sudah saatnya kami kirim alarm karena hal ini menjadi seperti new normal atau sebuah keseharian seolah akun yang diambil atau doxing sesuatu yang biasa saja padahal berbahaya,” pungkasnya.