Wik | Cerpen: Moh. Rofqil Bazikh
Terakhir mengunjungi Wik sekitar sebulan lalu. Tepat pertengahan bulan saat gajiku sudah tidak bisa menutupi hutang-hutang. Sama seperti saat itu, kali ini wajahnya kembali lebam. Suaminya tidak ada di rumah—barangkali ke warung membeli rokok. Wik memang enggan membelikan rokok untuk suaminya. Sebab itu, tangan suaminya yang kutahu kekarnya tidak tanggung kerap mendarat di pipi Wik. Namun, ia tetap kokoh pada prinsipnya, bukan Wik namanya jika tidak keras kepala, untuk tidak mau membelikan si suami rokok. Tidak cukup sampai di situ, Wik kerap membuang rokok suaminya ke tempat sampah besar di halaman rumah. Yang ketika mobil pikap pengangkut sampah datang, rokok suaminya juga ikut diangkut.
“Kali pertama aku melakukan itu ia membenturkan kepalaku ke pintu dapur.”
“Sudah tahu suamimu mirip singa tidak makan sebulan.”
“Tapi rokok tidak baik untuknya, tidak ada baiknya.”
Penjelasan Wik terlalu ilmiah untuk suaminya yang tidak lulus Sekolah Dasar. Dulu ia satu sekolah denganku dan setiap hari memang sering membuat onar. Ketika Wik memberi tahu keluargaku bahwa suaminya itu hendak melamarnya, aku yang pertama kali mencoba menyanggah. Aku sedikit banyak tahu perangai suaminya, meski Wik tetap ngotot. Sekarang sudah terbukti kan? Tapi aku tidak ingin membuat Wik semakin menyesal. Aku mencoba memberi saran, kritik, dan masukan agar keluarga mereka tidak terlalu berantakan.
Wik berdiri menuju ruang belakang yang kutahu sebagai dapur. Jalannya memang tidak biasa. Kakinya mirip kaki kursi yang pendek sebelah. Tetapi, itu bukan bawaan lahir sebagaimana sangkaan banyak orang. Waktu Wik berumur tiga tahun, ayahnya—yang juga perokok ulung—menendang kaki Wik. Kakinya patah dan baru sembuh sekitar empat bulan lebih. Ibu Wik menangis tidak karuan, sering pingsan pula. Apalagi mengetahui bahwa anaknya tidak akan berjalan sebagaimana mestinya. Ayahnya menyesal, untuk hari itu saja. Selebihnya Wik tetap dipukuli tanpa ampun.
Umpama kloset, Wik memang tercipta untuk diinjak. Sejak kecil sampai ia bersuami sudah akrab dengan pukulan-pukulan yang tidak lembek. Wik sudah teruji sejak kecil, maka saat suami melancarkan pukulan-pukulan sambil melolos rokok, ia tidak akan kaget. Ia juga tidak pernah mengeluh untuk mengahiri hidupnya hanya karena pukulan yang tak kunjung berkesudahan. Lebam di pipinya yang tidak pernah hilang karena setiap hari selalu diperbarui tak membuat Wik putus asa. Sudah kukatakan di atas, bahwa bukan Wik namanya jika tidak keras kepala.
Ia keluar dari ruang belakang dengan nampan di atas tangannya. Di atasnya lagi cangkir warna putih. Di atasnya lagi tutup cangkir yang tidak seragam. Ia meletakkan nampan dan bunyi ritmis mengetuk taplak meja. Wik merebahkan pantatnya lagi sebagaimana tadi saat pertama aku datang ke sini.
“Saat kalian pacaran apa suamimu memang kelihatan seperti pemukul kelas kakap?”
“Kukira tidak, tidak seperti apa yang kuperkirakan.”
“Lalu, kenapa kamu masih mau bertahan dengan keadaan yang tidak menguntungkan?”
“Beruntung atau tidak hanya soal sudut pandang, ini menurutmu tidak menguntungku, tetapi belum tentu bagiku.”
Wik, Wik, aku menyebut namanya berkali-kali setelah memastikan kepalanya masih mirip gigir kloset. Keras, tapi bisa hancur juga. Alasannya yang menurutku pasaran tidak patut untuk dipertaruhkan. Ia mengatakan bahwa masih senang dengan suaminya. Menurutnya, tidak ada alasan yang paling pantas untuk meminta talak tiga. Wik juga bercerita bahwa pipa suaminya besar, ia tidak yakin jika ada pipa yang lebih besar dari milik suaminya. Aku mengangguk saja sambil mengangkat cangkir berisi susu yang manisnya tidak karuan.
“Apa kau tidak bisa membuat susu yang lebih manis, Wik?”
“Suamiku tidak suka susu yang manis, ia lebih senang adonan susu alami seperti milikku.”
Wik tidak akan segan berbicara apapun. Ia mengucapkan segala sesuatu nyaris tidak pernah samar. Bahkan, saat malam pertama dulu sehabis subuh ia meluangkan waktu menelponku hanya untuk memberi tahu bahwa pipa suaminya yang besar telah memecah bagian bawah tubuhnya. Ia sempat mengerang, tuturnya, sebelum akhirnya pipa itu juga menyumpat mulut Wik.
“Tidakkah suamimu cemburu karena aku ke sini?
“Gila, mana mungkin dia cemburu sama kakak sepupuku.”
“Tapi..”
Belum selesai kubicara ia menabok mulutku. Wik tidak akan pernah mau mengingat hal yang sudah-sudah. Aku kadang masih mengenang hal itu sebagai pelajaran paling berharga. Harusnya waktu itu ibuku dan ibu Wik setuju ketika aku mengakatan apa yang sejujurnya kumau. Wik sejatinya tidak pernah keberatan ketika aku mengatakan itu di bawah pohon jambu belakang rumah. Bahkan wajahnya sangat senang dan tidak ada kekesalan. Ketika pulang ke rumahnya, ia dimarahi ibunya, begitu juga aku. Kira-kira kemarahannya hampir sama. Maklum, ibunya dan ibuku keluar dari lubang yang sama.
“Apa mata kamu buta, dia itu saudara sepupumu?”
Saat itu aku dan Wik tidak pernah melanjutkan apa-apa. Kami hanya bertemu sebagaimana biasanya. Sampai akhirnya ia berpacaran dengan suaminya yang sekarang itu. Ketika Wik memberi kabar kepadaku perihal hubungannya, jujur aku masih cemburu. Ia harusnya juga paham dengan tidak mengatakan apa-apa kepadaku. Seandainya pacarnya juga bukan orang yang kubenci, aku juga tidak akan pernah geram. Suaminya itu pernah memukulku dan meminta uangku sewaktu Sekolah Dasar, kira-kira setengah tahun sebelum ia memutuskan berhenti.
“Wik, kamu masih cantik.”
“Memangnya aku pernah jelek?”
Tawa kami memenuhi ruangan depan yang hanya empat meter persegi. Kulihat ke halaman tidak ada orang. Suaminya pun tidak kelihatan batang hidungnya. Sudah satu jam setengah aku duduk di kursi plastik yang warnanya mulai memutih.
“Suamimu belum pulang juga, Wik?”
“Paling masih di rumahnya si Fulan.”
Ketika Wik menyebut Fulan, aku tahu siapa yang dimaksud. Ia salah satu pengedar narkoba di kampung ini. Jadi ketika orang mengatakan “Fulan” tidak ada orang lain yang dituju. Selain dia, selain si pengedar itu.
“Sejak kapan suamimu jadi penghirup?”
“Sekitar dua bulanan, awalnya coba-coba tapi ketagihan juga.”
“Awas uangmu yang kewalahan.”
“Tidak akan, dia pakai uangnya sendiri hasil dari pekerjaannya.”
Aku mengucap syukur dalam hati. Kupikir-pikir kasihan juga jika harus Wik yang menanggung kebiasaan menghirup si suami. Cukup pukulan-pukulan keras itu yang menjadi tanggungan Wik. Selebihnya jangan. Ia masih seorang perempuan yang suatu saat mungkin akan menemukan titik terlemahnya. Meski, sampai detik ini—sampai tulisan ini kubaca-baca lagi dan kuedit lagi—Wik tetap tidak kelihatan lemah sama sekali.
“Kamu terlalu kuat untuk jadi perempuan.”
“Tapi aku bisa nangis juga.”
Aku ingat ketika sewaktu teman lelaki Wik di Sekolah Dasar menjambak rambutnya. Ia menangis. Aku yang berusaha mendiamkan Wik, sekali-kali seperti pahlawan kesiangan. Di Sekolah Dasar, sikap keras kepala Wik tidak terlihat. Keras kepalanya terlihat ketika menginjak Sekolah Menengah Atas. Tidak seperti perempuan sekelasnya, Wik enggan untuk mengikuti piket kebersihan. Ia menolak hal semacam itu. Meski, ini yang sungguh kuakui dari Wik, selain keras kepala ia juga pintar. Cerdas lebih tepatnya. Ia tidak usah belajar, malahan pelajaran-pelajaran itu yang menghampiri kepala Wik. Otaknya mirip tembok yang baru dicat, barang apapun bisa menempel jika sudah besentuhan sedikit.
“Kamu juga pintar, Wik, bahkan terlalu pintar mungkin.”
“Tidak usah berlebihan.”
“Susah punya saudara perempuan sepintar kamu, ibu selalu membandingkanku denganmu.”
“Kamu pikir aku tidak pernah dibandingkan?”
Wik berkata seperti sungguh-sungguh. Bibirnya yang luka di ujung dan pipinya yang lebam tidak memberi tanda bahwa ia berbohong. Lagi pula Wik memang tidak pernah untuk berbohong. Ia keras kepala. Ia pintar. Ia tidak pernah berbohong. Satu lagi, aku pernah jatuh cinta kepadanya. Meski, hari ini dadanya tidak akan pernah ditumbuhi cinta baru.
“Aku jarang ketemu suamimu.”
“Tidak ada gunanya juga kamu bertemu dengan dia.”
“Bagaimanapun dia iparku.”
“Aku menganggap kamu dengan dia tidak akan pernah bertemu, apalagi menyatukan isi kepala.”
“Mungkinkah dia ingat saat meminta uang jajanku?”
“Bisa jadi. Bisa jadi ia ingat, bisa jadi ia lupa.”
Wik kembali berdiri dan menuju ruang belakang dan kembali lagi dengan toples warna merah berisi telur kacang. Tangannya yang halus membuka tutup stoples. Beruntung ia kuat dan tidak butuh bantuanku.
“Ini kubuat sendiri, tapi suamiku tidak suka.”
“Benarkah?”
“Ya, suamiku sepertinya tidak suka makanan-makanan receh seperti ini.”
“Ia juga masih merokok?”
“Itu sudah pasti, meski berkali-kali juga kusembunyikan rokoknya.”
Kupikir, semestinya ibu Wik setuju ketika aku mengatakan sangat mencintai Wik. Saudara bukan alasan untuk mematahkan semuanya. Setidaknya, menikah denganku tidak membuat Wik harus susah-susah menyembunyikan rokok. Demi Wik aku bisa saja langsung berhenti merokok, dengan begitu Wik akan senang. Tapi, itu hanya terjadi di pikiranku, suaminya bahkan tidak pernah berpikiran ke arah seperti yang kubayangkan. Kulihat ia kembali membuka tutup cangkir yang warnanya tidak akur, ia mengangkat gagang cangkir cangkir dan mendekatkan ke bibirnya. Aku ingin berkata kepada Wik: aku masih mencintaimu meski pipaku tidak sebesar pipa suamimu.
Moh. Rofqil Bazikh penulis yang berdomisili di Bantul Yogyakarta dan anggitannya telah tersebar di pelbagai media antara lain; Tempo, Kedaulatan Rakyat, Tribun Jateng, Minggu Pagi, Harian Merapi, Harian Rakyat Sultra, Bali Pos, Analisa, Duta Masyarakat, Pos Bali, Suara Merdeka, Banjarmasin Post, dll. Bisa ditemui di surel mohrofqilbazikh@gmail.com atau instagram @rofqil_bazikh