Masyarakat Kecam Sosialisasi Tertutup Proyek Geothermal di Gunung Arjuno Welirang
Berita Baru, Jawa Timur – Penolakan terhadap proyek eksplorasi geothermal di Gunung Arjuno Welirang kembali mencuat setelah RenovEnergy menyelenggarakan sosialisasi tertutup mengenai proyek tersebut di Balai Kota Among Tani, Kota Batu. Kegiatan ini melibatkan Kementerian ESDM, pemerintah Kota Batu, DPR RI, dan Universitas Brawijaya, namun tidak terbuka untuk publik.
Sejak 2017, wacana tentang proyek geothermal di Arjuno Welirang terus digulirkan dengan narasi bahwa energi ini ramah lingkungan dan berkelanjutan. Namun, banyak yang meragukan klaim tersebut. “Klaim bahwa geothermal adalah energi hijau dan berkelanjutan sangat meragukan. Kami melihat dampak nyata dari proyek serupa yang telah merusak lingkungan dan menyebabkan korban jiwa,” ujar Walhi Jatim dalam siaran pers yang diterbitkan pada Senin (12/8/2024).
Proyek geothermal memang memiliki dampak yang tidak bisa diabaikan. Kajian menunjukkan bahwa proyek ini dapat menurunkan debit air, mencemari sungai dan air tanah, serta menyebabkan ledakan pipa dan gempa. “Dampak dari geothermal termasuk menurunnya volume air dan pencemaran lingkungan yang serius. Kasus ledakan di PLTP Dieng yang mengakibatkan korban jiwa adalah contoh nyata dari risiko yang ada,” jelas Walhi
Gunung Arjuno Welirang merupakan kawasan lindung dengan biodiversitas yang kaya, termasuk Taman Hutan Raya R. Soerjo. Proyek ini berpotensi merusak ekosistem dan mengubah lanskap secara signifikan. “Gunung Arjuno Welirang adalah sumber kehidupan bagi ribuan warga yang bergantung pada air dari gunung ini. Proyek ini berpotensi mengancam keberlangsungan hidup dan ekosistem yang ada,” ungkap seorang warga setempat.
Keterlibatan masyarakat dalam proses sosialisasi proyek juga dipertanyakan. Banyak yang merasa tidak dilibatkan dalam perencanaan dan dampak proyek ini. “Proses sosialisasi yang tertutup dan tidak melibatkan masyarakat terdampak menunjukkan kurangnya transparansi dan partisipasi publik dalam keputusan yang akan mempengaruhi kehidupan mereka,” ujar seorang aktivis dari Aliansi Gerakan Rakyat Tutup TPL.
Institusi pendidikan, seperti Universitas Brawijaya, turut dilibatkan dalam proyek ini, padahal seharusnya akademisi berperan sebagai penilai kritis, bukan sebagai alat legitimasi. “Institusi pendidikan harusnya menjadi ruang untuk evaluasi kritis, bukan menjadi bagian dari proyek yang dapat merusak lingkungan,” tegas Walhi
Dengan semua pertimbangan ini, Walhi mendesak kepada pemerintah untuk mempertimbangkan dampak lingkungan dan kesejahteraan masyarakat. “Pemerintah Kota Batu dan daerah sekitarnya harus menilai kembali keputusan ini dengan mempertimbangkan dampak jangka panjang dan melibatkan masyarakat dalam setiap tahap proses,” pungkasnya.