Wahyu Susilo, Pahlawan Pekerja Migran
Berita Baru, Tokoh – Pandemi berdampak pada nyaris semua aspek kehidupan, termasuk nasib para Pekerja Migran (PM). Ketika bidang-bidang seperti pendidikan, sosial, ekonomi, dan sebagainya sudah mendapatkan perhatian yang cukup dari pemerintah, yang terjadi dengan para PM sebaliknya. Mereka seolah terlupakan.
Dalam kondisi tersebut melalui Migrant Care, Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) yang fokus pada pekerja migran, Wahyu Susilo dan sederet timnya hadir, menampung kegelisahan para PM, membantu mereka mendapatkan akses untuk kembali ke kampung halaman, dan menjaga agar tidak timbul kluster Covid-19 baru dari mereka.
Terhitung hingga akhir tahun 2020, ada sekitar 176.000 pekerja migran yang berhasil pulang kampung dengan protokol kesehatan yang ketat.
“Dan pemulangan ini tidak memunculkan kluster baru covid-19,” ujar Susilo wahyu dalam sesi #Bercerita ke-40 Beritabaru.co pada Minggu (28/3).
Pada Januari 2020, ketika pemerintah masih bercanda soal Covid-19, Migrant Care sudah melayangkan surat pada pemerintah terkait kerentanan para PM akibat virus, mengetahui di beberapa negara di Asia virus korona sudah menyebar. Akan tetapi, peringatan Migrant Care tidak ditanggapi secara serius oleh pemerintah dan baru ketika Covid-19 sudah menjadi pandemi, pemerintah bergerak sigap.
Dari data yang diterbitkan, berdasarkan penjelasan Wahyu, pemerintah menyebut selama pandemi kekerasan yang menimpa PM naik 2x lipat, dari 9.000 menjadi 21.000 kasus, dan kekerasan terhadap pekerja perempuan migran mengalami 8x lipat peningkatan.
Satu sisi, Wahyu mengakui, ini perlu kita apresiasi. Sebab dengan terbitnya data tersebut menunjukkan bahwa pemerintah peduli. Hanya saja, pekerjaan rumahnya sekarang adalah bagaimana mereka menindaklanjuti data di atas.
“Ya, meskipun yang bisa dilakukan hanya mitigasi, tapi betapa pun itu tetap harus dilakukan dengan sepenuh hati dan konsisten,” tegas adik kandung Wiji Tukul ini.
Wahyu Susilo memaparkan dua (2) yang bisa dan memang harus dilakukan pemerintah, yaitu menjamin adanya akses jaring pengaman pada sejumlah 176.000 PM yang sudah pulang kampung tadi dan akses vaksin.
Yang pertama penting dilakukan sebab mereka, para PM yang sudah di Indonesia, tidak terdaftar dalam Data Terpadu Kesejahteraan Sosial (DTKS) Kementerian Sosial (Kemensos) dan Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Ketenagakerjaan, sehingga pintu bantuan apa pun dari pemerintah tertutup untuk mereka. Pendeknya, atas nama kesejahteraan para PM, pemerintah harus memberikan jaminan akses jaring pengaman buat mereka.
Adapun yang kedua berhubungan dengan kesetaraan akses pada vaksin, mengetahui mereka tetaplah warga Indonesia. Ini pun berlaku tidak saja bagi mereka yang sudah berada di Indonesia melainkan juga yang masih menetap atau terjebak di tempat kerjanya.
“Soalnya kita tahu, jumlah total PM kita itu mencapai sekitar 6 juta jiwa dan total ini pemerintah harus menjamin adanya vaksin,” ungkap sosok yang memiliki pengalaman ngilu dengan pekerjaan migran ini, yang sebab itu ia memilih aktif di Migrant Care.
Masih tentang kebijakan pemerintah untuk para pekerja migran, Wahyu Susilo menilai pandemi merupakan waktu yang sangat tepat untuk memperbaiki segalanya terkait pekerja migran. Pasalnya, saat ini migrasi mengalami pelambanan yang signifikan. Termasuk di dalamnya adalah memperbaiki sistem aplikasi berbasis android yang sudah mereka buat sebagai wadah bagi PM.
Aplikasi untuk tenaga migran ada sekitar 12, tetapi pengguna terbanyaknya hanya berada di angka 15.000, padahal jumlah total migran mencapai kisaran 6 juta. Beberapa hal yang penting disempurnakan, menurut Wahyu, adalah soal kepraktisan, manfaat, pembaruan, dan sosialisasi. Sederhananya, bagaimana para PM mau mengunduh dan mengoptimalkan suatu aplikasi jika perambahnya saja seolah tidak mau aplikasinya dimanfaatkan.
Migrant Care, inovasi gerakan, dan upaya pendampingan tak kenal lelah
Satu lagi yang disayangkan Wahyu Susilo dalam kaitannya dengan relasi pemerintah dan tenaga migran adalah terlalu bergantungnya para PM pada Migrant Care. Wahyu menyebut, yang bertanggung jawab penuh atas nasib PM adalah pemerintah melalui setidaknya Kementerian Ketenagakerjaan (Kemnaker) dan Kementerian Luar Negeri (Kemlu).
Migrant Care dalam kasus ini adalah pihak yang bertugas memberi pendampingan dan advokasi, sehingga fokusnya lebih pada membangun jaringan baik dengan lembaga pemerintah, LSM, organisasi-organisasi akar rumput, dan pengusaha swasta.
Untuk yang terakhir sebagai contohnya, Wahyu melanjutkan, Migrant Care menggandeng perusahaan pasar digital (marketplace) guna memfasilitasi para PM agar tidak perlu lagi bekerja di luar negeri. Konsep yang dipakai adalah pemberdayaan para perempuan PM dan optimalisasi produk lokal.
“Program ini bernama Desbumi atau Desa Peduli Buruh Migran yang merupakan inisiatif multipihak di tingkat lokal dengan perempuan sebagai sasaran utamanya,” jelasnya.
Desbumi adalah output dari Migrant Care sebagai pihak yang berperan mendampingi para PM dan kabar baiknya selain sudah menyasar puluhan desa, Desbumi juga direplikasi oleh Kemnaker dengan program Desmigratifnya yang sudah memapar sejumlah 460 desa.
“Betapa pun kolaborasi untuk misi kemanusiaan adalah kunci, termasuk berbagi konsep, gagasan, program, dan sebagainya,” tandas Wahyu Susilo memungkasi.
Muhammad Saifullah