Beritabaru.co Dapatkan aplikasi di Play Store

 Berita

 Network

 Partner

Sekolah Damai

Wahid Foundation Promosikan Sekolah Damai di Perayaan Ulang Tahun YSEALI Ke-7



Berita Baru, Jakarta – Access Indonesia bekerja sama dengan Young Southeast Asian Leaders Initiative (YSEALI) menggelar webinar bertajuk “Interfaith & Peacebuilding Within Us” dalam rangka perayaan ulang tahun ke-7 yang disiarkan secara virtual pada Sabtu (12/12) siang.

Webinar ini membahas tentang hubungan lintas agama dan bagaimana membangun perdamaian di kalangan pemuda Indonesia. Dalam sesi webinar ini dihadiri oleh 64 partisipan yang berasal dari para alumni dari Access Indonesia dan tiga pengisi materi berasal dari alumni YSEALI yakni, Ade Banani Peneliti di Pusat Riset Ilmu Kepolisian dan Kajian Terorisme alumni YSEALI 2015, Gunawan Primasatya alumni YSEALI 2016, dan Mauliya Risalaturrohmah alumni YSEALI 2019.

Mauliya yang saat ini menjabat sebagai Pendamping Sekolah Damai Wahid Foundation membagikan pengalamannya selama menjadi pendamping.

Menurut Mauliya, salah satu upaya dalam mencegah intoleransi adalah dengan menanamkan nilai-nilai perdamaian sedari dini. Bisa melalui lingkungan keluarga, ataupun lingkungan sekolah. “Kita berinisiatif mendorong perdamaian dan toleransi melalui lingkungan pendidikan dan untuk ini kita menyebutnya sebagai “Sekolah Damai,” ujar Mauliya.

Mauliya mencontohkan, seperti upaya-upaya membangun budaya damai yang dilakukan oleh SMA Negeri 10 Kota Semarang yang didukung oleh Wahid Foundation pada 17 Desember 2019 lalu. Melalui Program Sekolah Damai mereka menggelar Seminar Pendidikan dengan tema “Pesan-Pesan Perdamaian di Era Revolusi Industri 4.0”. 

Selanjutnya, pada 19 Desember 2019 di tahun yang sama, SMA Negeri 13 Kota Semarang bersama Wahid Foundation mengajak para siswa untuk mengunjungi empat tempat ibadah lintas agama. Gereja Katedral Tugu Muda Semarang, Pura Agung Giri Natha, Sanggar Sapta Darma, dan Vihara Buddhagaya Watugong yang berada di Kota Semarang.

Mauliya menyebut, anak-anak yang duduk di bangku SMA sangat penting diberikan pemahaman terkait toleransi dan keberagaman. Hal itu akan menjadi dasar pengetahuan mereka dalam menyikapi perbedaan. Selain penanaman nilai, Mauliya juga mengajak siswa tingkat SMA lintas agama untuk mulai mengampanyekan keberagaman dan perdamaian.

“Setelah mereka mengenal indahnya perdamaian, kami mengajak siswa lintas agama tingkat SMA untuk mengampanyekan cerita baik keberagaman dan perdamaian melalui media sosial instagram @peacefuldigitalstorytelling dan @muslimahforchange,” ujar Mauliya.

Dengan pola yang sama, Gunawan berbagi cerita tentang pengalamannya membangun budaya perdamaian di Poso. Seperti diungkapakannya dalam Webinar, Gunawan memiliki dua metode untuk melakukan kerja berat tersebut, yakni melalui pemberdayaan perempuan dan pendidikan untuk anak-anak di Poso.

“Kami memilih perempuan sebab di Poso mereka lebih aktif untuk berinteraksi satu sama lain, aktif berdialog, sehingga kami kira pembangunan wacana perdamaian bisa dilakukan lewat sini,” jelas Gunawan.

Anak-anak di Poso seperti yang saya rasakan, lanjut Gunawan, memiliki trauma tentang suatu konflik yang mengerikan. “Nah, di sinilah peran Ibu menemukan momentumnya. Mereka bisa menyuarakan isu dan pemahaman yang berbeda kepada anak-anak di Poso,” terangnya menjabarkan.

Lebih lanjut, Gunawan menyebut, kenapa harus Poso karena sampai hari ini Poso masih dicitrakan oleh media-media sebagai wilayah yang tidak ramah perbedaan, tidak toleran, dan bahkan sarang teroris. Stereotip demikian, lanjut Gunawan, bagaimanapun harus dikikis pelan-pelan.

“Sebab itulah, kami memilih Poso dan sampai mendirikan Sikolah Mombine di sana untuk anak-anak Poso dengan menjadikan wacana pembangunan budaya perdamaian sebagai tonggak,” ujarnya.

Berbeda dengan Mauliya dan Gunawan, Ade Banani lebih fokus pada psikologi pihak teroris. Menurutnya, keluarga memiliki pengaruh yang besar dalam membangun budaya perdamaian.

“Pengaruh terbesar datang dari keluarga memang, tapi sayangnya dari beberapa pihak entah itu akar rumput yang ada di lapangan atau NGO-NGO Interfaith dan Peacebuilding luput di situ. Serajin apa pun mereka mengawal, tetapi belum masuk ke ranah keluarga, hasilnya tidak akan signifikan,” tutur Ade.

Satu sisi, lanjut Ade, memang seorang Ibu bisa diandalkan untuk mengenalkan pada anak bagaimana pentingnya berbuat baik pada liyan, tetapi pada sisi lain ada ayah di setiap keluarga. Maksudnya, pengawalan pada perempuan saja tidak cukup di sini.

“Dengan kata lain, yang penting disorot di sini adalah bagaimana kedua orang tua mampu mengenalkan pada anaknya tentang adanya konsep toleransi, keberagaman, berbuat baik pada lian, dan semacamnya. Ini soal pola pikir sebenarnya. Jika pola pikir keberagaman sudah terbangun sejak dini, maka semisal ada pihak paling provokasi pun, ia tidak akan goyah,” pungkas Ade.