Beritabaru.co Dapatkan aplikasi di Play Store

 Berita

 Network

 Partner

Vaksin
Ilustrasi: Kompas

VAKSIN



VAKSIN

Ahmad Erani Yustika

Guru Besar FEB UB


“Demokrasi seperti singkong impor: cepat membusuk,” begitu salah satu penggalan dialog film “The Boy Who Harnessed the Wind“. Film kisah nyata yang menceritakan situasi Malawi pada 2001, tepat 20 tahun silam: negara yang didera kelaparan (njala), kemelaratan, dan penipuan. Demokrasi hanya sebatas memilih secara bebas pemimpin, yang celakanya pemimpin terpilih cuma mengabdi kepada kepentingan korporasi multinasional dan lembaga multilateral. Kondisi ini tak hanya terjadi di benua Afrika, tapi juga menjadi pertanyaan pada banyak negara lainnya. Problemnya barangkali bukan demokrasinya, tapi perkakas yang mesti dipersiapkan agar ia berjalan.

Kaum miskin yang tuna-ilmu mudah diperdaya dengan janji dan dogma. Hidupnya dipenuhi dengan untaian harapan, tapi selalu berakhir dengan ratapan. Lahan rakyat dilego dengan harga murah dan pohon ditebang untuk diganti tanaman lain sehingga mengakibatkan banjir dan kekeringan. Itulah penggalan drama di Malawi sehingga antarwarga saling begal merampas gandum demi mempertahankan hayat. Hamparan luas yang dipandang tiap hari hanyalah tanah gersang tanpa nyala kemakmuran. Nestapa adalah menu saat sarapan dan malam hari terasa kiamat merenggut hari depan.

Beruntung di sebuah desa ada anak kecil yang bernama William Kamkwamba, di mana saat usia 13 tahun pikirannya menyala (tidak seperti kulitnya yang legam). Ia punya kecerdasan alamiah dan bukan bagian dari “luddite” (kaum anti-teknologi), yang membuatnya bisa menciptakan kincir angin yang ditopang oleh dinamo (diambil dari sepeda ayahnya). Kekuatan angin (mphepo) itu menjadi daya sehingga pompa air bisa bekerja mengairi tanah tandus di kampungnya. Ketika kucuran air pertama keluar, sontak air mata tumpah. Tempik sorak membahana dan binar mata warga memperlihatkan gelora baru. Kolaborasi kegigihan dan pengetahuan membuat hidup bisa diteruskan dan ditegakkan.

Riwayat itu membawa pesan penting. Politik adalah jalan kemuliaan, namun kerap diperdaya oleh silau kekuasaan dan ketamakan. Hasilnya adalah: penyimpangan. Kemelaratan bukan soal kelangkaan, tapi kebijakan yang salah haluan. Namun, keterbatasan yang diperjuangkan, dibantu oleh pengetahuan, membuat kehidupan selalu bisa dimekarkan. Kamkwamba memberikan bukti: keuletan ialah daya ubah yang tak bisa dihentikan. Siapa yang menabur (kufesa), maka ia akan memanen (kukolola). Pandemi pun juga begitu, di baliknya pasti menjuntai aneka kesempatan asal didekati dengan kepandaian.

Agenda peradaban adalah penumpukan ilmu pengetahuan secara berkelanjutan. Semua negara ingin memenangkan masa depan dengan jalan menguasai pengetahuan. Silih berganti inovasi menjadi kabar kehidupan yang ditabung hari demi hari. Anggaran pendidikan didongkrak, laboratorium diharamkan mangkrak, dan rekayasa sosial kian marak. Setahun ini dunia dicekam oleh pandemi: kehidupan nyaris diterkam. Namun, ilmu pengetahuan kembali meniupkan harapan. Pemerintah dan ilmuwan menyalakan api yang nyaris redup dengan penemuan penangkal wabah. Vaksin adalah bagian dari perayaan pengetahuan.