Ratna Juwita Sikapi Revisi UU Minerba
Berita Baru, Jakarta – Rancangan Undang-Undang tentang Perubahan UU No. 4 tahun 2009 tentang Mineral dan Batubara (Minerba) kembali masuk dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) tahun 2020. Masuknya UU tersebut sebagai salah satu subyek yang akan dibahas dalam RUU Omnibus Law rupanya mendorong Kementerian ESDM untuk melakukan persiapan lebih awal.
Hal itu sebagaimana ditindaklanjuti oleh Direktorat Jenderal Mineral dan Batubara – Kementerian ESDM dengan menyelenggarakan diskusi kelompok terfokus Bersama seluruh anggota Komisi VII DPR RI pada Kamis, 6 Februari 2020 di The Sultan Hotel & Residence Jakarta.
Anggota Komisi VII DPR RI dari Fraksi PKB, Ratna Juwita Sari merupakan salah satu peserta diskusi. Seperti biasanya, politisi perempuan muda dari Daerah Pemilihan Jawa Timur IX Tuban – Bojonegoro tersebut menyampaikan sikap kritisnya setelah menyimak paparan dari pihak Ditjen Minerba – Kementerian ESDM.
Ditemui usai mengikuti kegiatan tersebut, Ratna menyampaikan bahwa UU Minerba adalah perubahan paradigma pertambangan dari model kontrak menjadi izin usaha. Sebenarnya esensi UU tersebut sudah bagus, meskipun masih perlu disempurnakan kembali.
“Aspek penting pertama yang harus dicermati selama 10 tahun pelaksanaan UU Minerba adalah terkait penerimaan negara. Data yang saya pegang menunjukkan ada penurunan rasio kontribusinya dari 1,8% tahun 2010 menjadi 1,3% tahun 2019. Ini patut dipertanyakan”. Ucapnya.
Penerimaan negara secara keseluruhan selama 10 tahun mengalami peningkatan sebesar Rp1.237 triliun yaitu dari Rp995,2 triliun pada 2010 menjadi Rp2.233,2 triliun pada proyeksi APBN 2020. Namun kontribusi Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) dari sektor Minerba hanya bertambah Rp13,5 triliun yaitu dari Rp12,6 triliun pada 2010 menjadi Rp26,2 triliun pada tahun 2020.
“Resiko kerusakan lingkungan hidup dan dampak bencana yang ditimbulkan oleh kegiatan pertambangan Minerba tidak sebanding dengan kontribusinya pada penerimaan negara secara umum. Ini pasti ada yang tidak beres dari sisi tata kelolanya”. Tambahnya.
Revisi UU Minerba, lanjut Ratna, harus dilandasi oleh semangat untuk revitalisasi, perbaikan, dan mengembalikan kedaulatan bangsa dan negara. Tidak boleh ada kepentingan pihak tertentu yang mendikte rencana revisi UU tersebut.
“Ini dapat menjadi momentum bagi Republik Indonesia untuk keluar dari jebakan sebagai penghasil dan penjual mineral-batubara mentah di pentas global. Harus ditegaskan upaya hilirisasi, melalui pemurnian dan pemurnian, sehingga dapat memberikan nilai tambah bagi ekonomi negara dan masyarakat”. Urai anggota Komisi VII DPR RI tersebut secara tegas.
Ratna Juwita juga menekankan agar dalam revisi UU Minerba tersebut juga memberikan mandat kepada pemegang izin usaha agar mempersiapkan dan memprioritaskan tenaga kerja lokal dari desa dan daerah lokasi pertambangan, agar dapat memberikan efek domino terhadap peningkatan pendapatan masyarakat sekitar.
Menanggapi wacana dihapusnya pasal 165 dari UU Minerba yang masih berlaku, dia bilang tidak setuju. Karena pasal tersebut merupakan instrumen pemerintah untuk mengendalikan agar tidak terjadi penyalahgunaan wewenang maupun praktek korupsi terkait penerbitan izin yang terbukti bermasalah.
“Saya tidak sepakat dengan dihapusnya pasal 165 UU Minerba, karena pasal tersebut cukup efektif untuk mencegah dan/atau menghukum penyalahgunaan wewenang serta praktek koruptif atas penerbitan IUP, IPR dan IUPK yang bermasalah”. Ucapnya.
Legislator asal Tuban yang juga duduk sebagai anggota Badan Anggaran (Banggar) DPR RI tersebut menyampaikan sikap sangat tegas terkait jaminan reklamasi pasca tambang. Menurutnya, prinsip good and sustainable mining governance itu salah satunya harus dicerminkan dengan kepatuhan dari pemegang izin usaha untuk melakukan reklamasi sekaligus pemulihan lahan yang telah dieksploitasi, sehingga tidak meninggalkan jejak kerusakan lingkungan hidup.
“Reklamasi pasca tambang harus dilakukan untuk mengembalikan lahan kembali pulih dan produktif. Kewajiban ini harus ditegaskan dalam revisi UU Minerba. Jika melanggar, pemegang izin harus diberikan sanksi yang berat”. Pungkasnya.
Di akhir wawancara, dia mengingatkan agar pemerintah tidak terjebak untuk meninggalkan jejak kerusakan alam bagi anak cucu mendatang. Pada prinsipnya, keberpihakan politik yang ia yakini adalah rahmatan lil ‘alamin.