Usman Hamid Kritik Pernyataan Yusril Soal Pelanggaran HAM Berat Mei 1998
Berita Baru, Jakarta – Pernyataan Menteri Koordinator Bidang Hukum, HAM, Imigrasi dan Pemasyarakatan RI, Yusril Ihza Mahendra, mengenai pelanggaran HAM berat masa lalu menuai kritik dari berbagai pihak. Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia, Usman Hamid, menyebut pernyataan Yusril sebagai keliru dan tidak sesuai dengan aturan hukum yang berlaku.
“Tak sepantasnya pejabat pemerintah mengeluarkan pernyataan yang keliru tentang hak asasi manusia, apalagi jika ia bertanggung jawab atas legislasi HAM. Itu menunjukkan kurangnya pemahaman terhadap Pasal 104 Ayat (1) UU No. 39 Tahun 1999 tentang HAM dan Pasal 7 UU No. 26/2000 tentang Pengadilan HAM,” kata Usman Hamid dalam siaran pers Amnesty Internasional Indonesia pada Senin (21/10/2024).
Yusril sebelumnya menyatakan bahwa Indonesia tidak mengalami pelanggaran HAM berat dalam beberapa dekade terakhir, dan menyebut peristiwa Mei 1998 bukan termasuk ke dalam pelanggaran HAM berat. Menanggapi hal ini, Usman Hamid menegaskan bahwa pernyataan tersebut mengabaikan hasil penyelidikan resmi dari Komnas HAM, yang menyimpulkan bahwa Tragedi Mei 1998 memenuhi kriteria kejahatan terhadap kemanusiaan atau crimes against humanity.
“Pernyataan Yusril tidak akurat secara hukum dan sejarah, serta menunjukkan sikap nir empati terhadap korban. Tragedi Mei 1998, dengan kekerasan massal dan target pada komunitas Tionghoa, jelas memenuhi kriteria pelanggaran HAM berat. Hasil penyelidikan Komnas HAM sudah diserahkan ke Jaksa Agung, dan hanya pengadilan yang dapat membantahnya, bukan presiden atau menteri,” tambah Usman.
Tragedi Mei 1998 telah meninggalkan luka mendalam, terutama bagi keluarga korban yang tewas atau mengalami kekerasan. Berdasarkan Laporan Tim Gabungan Pencari Fakta (TGPF) tahun 1998, setidaknya 1.217 orang tewas, dengan mayoritas korban meninggal akibat terbakar. Selain itu, laporan tersebut mencatat 52 korban perkosaan, sebagian besar di antaranya berasal dari etnis Tionghoa.
Menutup pernyataannya, Usman mendesak Komnas HAM dan pemerintah untuk menuntaskan kasus-kasus pelanggaran HAM berat masa lalu, termasuk Tragedi Mei 1998. Ia juga meminta agar tidak ada lagi upaya mengaburkan tanggung jawab negara dalam menegakkan keadilan bagi korban.
Pernyataan Yusril menimbulkan kekhawatiran bahwa pemerintahan baru ini dapat memperlemah upaya penuntasan kasus pelanggaran HAM berat, yang telah diakui oleh pemerintah sebelumnya. “Pernyataan ini menjadi sinyal buruk bagi masa depan penegakan HAM di Indonesia,” tutup Usman.