Ujian Ulang Berbayar di Teknik UIM Tuai Protes Mahasiswa
Berita Baru, Madura – Fakultas Teknik Universitas Islam Madura (UIM) menjadi sorotan kalangan mahasiswa sendiri, bukan karena capaian akademik, melainkan lantaran kebijakan ujian ulang berbayar yang dianggap memberatkan dan tidak berlaku merata di semua fakultas.
Berbeda dengan fakultas lain di kampus yang sama, mahasiswa Fakultas Teknik wajib menjalani tiga tahapan utama untuk menyelesaikan studi: Ujian Proposal, Ujian Progres, dan Tugas Akhir (TA). Namun yang dipersoalkan, setiap kali gagal dalam ujian tersebut, mahasiswa dikenakan biaya administrasi Rp50.000 untuk mengikuti ujian ulang.
Kebijakan ini menuai pertanyaan dari para mahasiswa. Mereka mempertanyakan mengapa aturan tersebut hanya berlaku di Fakultas Teknik dan tidak diterapkan di fakultas lain.
“Kami bertanya-tanya, kenapa cuma di Teknik yang seperti ini? Fakultas lain tidak ada cerita ujian ulang bayar-bayar kayak begini. Bahkan, kalau sampai tiga kali ikut ujian, mahasiswa pasti lulus. Ini sistemnya aneh,” kata seorang mahasiswa yang enggan disebut namanya.
Kritik semakin menguat karena muncul kesan bahwa sistem ujian ulang tersebut tidak sepenuhnya didasarkan pada penilaian akademik yang obyektif, melainkan lebih condong pada formalitas. Beberapa mahasiswa menyebut bahwa setelah mengikuti ujian hingga tiga kali, hampir semua peserta dinyatakan lulus—apa pun kualitas hasil yang ditunjukkan.
“Kalau ujung-ujungnya tetap lulus setelah tiga kali, buat apa bayar berkali-kali? Ini seperti formalitas yang dipaketkan dengan biaya,” ujar mahasiswa lain yang tengah menjalani proses tugas akhir.
Isu ini memunculkan kekhawatiran tentang kemungkinan adanya praktik terselubung yang memanfaatkan kebijakan tersebut sebagai celah komersialisasi pendidikan. Terlebih, sistem ini secara tidak langsung menciptakan ketimpangan di kalangan mahasiswa, terutama mereka yang berasal dari keluarga kurang mampu.
“Tidak semua mahasiswa punya uang Rp50 ribu berkali-kali. Buat sebagian dari kami, itu uang makan seminggu. Apalagi kalau sudah masuk tahap progres dan TA, uang habis ke cetakan, konsumsi, dan lainnya,” ungkap seorang mahasiswi semester delapan yang mengaku pernah menunda ujian karena kendala biaya.
Selain beban finansial, mahasiswa juga menyoroti kurangnya transparansi dalam pengelolaan dana ujian ulang. Tidak ada informasi resmi dari fakultas terkait peruntukan biaya Rp50.000 yang dibayarkan mahasiswa tiap kali ujian ulang dilakukan. Apakah dana itu digunakan untuk honor penguji, konsumsi, atau operasional lainnya—semuanya belum pernah dijelaskan secara terbuka.
Kondisi ini menimbulkan pertanyaan mendalam: apakah standar akademik di Fakultas Teknik memang jauh berbeda hingga memerlukan sistem tersendiri, atau justru fakultas ini sedang dijadikan ladang uji coba model kelulusan berbasis pembayaran?
Mahasiswa menegaskan bahwa mereka tidak menolak sistem kelulusan tanpa skripsi atau tahapan akademik yang ketat. Namun, mereka menuntut keadilan, transparansi, serta perlindungan terhadap mahasiswa yang tidak mampu secara ekonomi.
Mereka mendesak pihak fakultas untuk mengevaluasi kebijakan ujian ulang berbayar ini secara menyeluruh, mulai dari pembenahan sistem, kejelasan alokasi dana, hingga kemungkinan pembebasan biaya bagi mahasiswa yang tidak mampu.
Di tengah semangat membangun pendidikan tinggi yang inklusif dan berlandaskan nilai-nilai Islam, mahasiswa berharap kampus tidak terjebak dalam praktik birokrasi yang justru menyingkirkan mereka yang berjuang dari keterbatasan.