UE Berikan Pelatihan Pengendalian Massa Kepada Polisi Myanmar
Berita Baru, Internasional – UE memberikan pelatihan pengendalian massa kepada unit khusus polisi Myanmar yang kini tengah menghadapi gelombang protes pro-demokrasi.
Pelatihan tersebut, seperti dilansir dari The Guardian, Kamis (11/2), dilakukan untuk berbagi teknik dalam menghindari kemungkinan pelanggaran hak asasi manusia. Mengingat banyaknya laporan mengenai tindak refresif polisi kepada para demonstran baru-baru ini.
Polisi Eropa bekerja sama dengan rekan-rekan di Myanmar untuk mengembangkan manual teknik pengendalian massa. Misi tersebut sebagai bagian dari skema dukungan Uni Eropa yang disebut Mypol.
Proyek yang dimulai pada tahun 2012 ini memberikan pelatihan dan peralatan untuk membantu memodernisasi pasukan polisi yang dikendalikan militer Myanmar, sejalan dengan praktik terbaik internasional dan penghormatan terhadap hak asasi manu sia.
Unit kontrol massa yang menerima pelatihan Uni Eropa telah terlibat dalam pengawasan protes. Termasuk di antara mereka yang dituduh menggunakan kekuatan berlebihan terhadap para demonstran dengan menembakkan meriam air, peluru karet dan amunisi.
Seorang anggota dari salah satu unit khusus pengendalian massa ini diduga adalah petugas yang beredar di media sosial. Di mana ia mengarahkan senjatanya kepada para demonstran selama protes di ibu kota, Naypyidaw, pada hari Selasa.
Sebuah peluru tajam mengenai peluru peserta aksi wanita saat protes, meskipun belum dikonfirmasi bahwa petugas yang viral di media sosail yang melakukan.
Mypol tidak memberikan pelatihan dalam penggunaan kekuatan secara progresif atau penggunaan senjata kepada unit spesialis, kata pejabat UE. “Akhirnya polisi (Myanmar) mengambil draf tersebut dan menambahkan pasal ‘ofensif’ itu sendiri,” kata mereka.
“Pelatihan dalam pengendalian huru hara untuk unit spesialis yang besar … terbatas pada formasi, rantai, dan penghalang perisai, tidak termasuk penggunaan peralatan ofensif.”
Petugas yang viral di media sosial, yang menembakkan senjata ke rah pedemo di Naypyidaw tidak akan menerima pelatihan melalui Mypol. “Pangkatnya letnan kolonel dan Mypol hanya berlatih dari letnan ke bawah,” kata mereka.
Mya Thwe Khaing, wanita yang tertembak kepalanya telah menjalani operasi darurat pada Selasa malam dan dokter mengatakan kondisinya tetap kritis.
Sementara itu, para aktivis mengkritik skema Mypol dengan alasan bahwa polisi diawasi oleh kementerian pemerintah yang dikendalikan militer. Sementara pemerintah junta telah terlibat dalam gelombang kekerasan berturut-turut terhadap Rohingya.
“Ini adalah pasukan polisi yang dikendalikan militer yang terlibat dalam genosida, dan itu harus menjadi garis merah karena tidak memberikan pelatihan,” kata Mark Farmaner, direktur Kampanye Burma Inggris. “Pada akhirnya, mereka cenderung mengikuti perintah militer jika diminta untuk menembaki pengunjuk rasa atau menghentikan pemberontakan.”
Permintaan kebebasan informasi yang diajukan oleh Burma Campaign Inggris dengan berbagai lembaga Eropa yang terlibat dalam pelatihan polisi Myanmar tidak menemukan bukti bahwa kekerasan terhadap Rohingya adalah bagian dari program tersebut.
Uni Eropa berpendapat bahwa pelatihan tersebut telah menghasilkan perubahan dalam cara polisi menyelesaikan konflik, termasuk “pengurangan yang sangat signifikan dalam penggunaan kekerasan dan peningkatan dialog polisi dengan aktor sosial”.