Beritabaru.co Dapatkan aplikasi di Play Store

 Berita

 Network

 Partner

Tumpang Tindih Perizinan, Pemprov Papua Usul 35 Izin Perusahaan Sawit Dicabut
Ilustrasi deforestasi (Greenpeace/Ulet Ifansasti)

Tumpang Tindih Perizinan, Pemprov Papua Usul 35 Izin Perusahaan Sawit Dicabut



Pemerintah Provinsi Papua dan Tim Stranas PK (Strategi Nasional Pencegahan Korupsi) dari KPK) dari KPK sejak 2019 telah melakukan kajian perijinan perusahaan perkebunan kelapa sawit yang berada di wilayah Provinsi Papua.

“Setiap dua tahun disusun Aksi Pencegahan Korupsi (PK) berdasarkan hasil pemetaan dan kajian. Pada Aksi PK 2021-2022, salah satu aksi lanjutan adalah kepastian percepatan perijinan SDA melalui implementasi kebijakan satu peta, termasuk di Provinsi Papua.” Kata Isro pada webinar Road to Wakatobi 12 Agustus 2021.

Isro juga menjelaskan bahwa kebijakan satu peta dapat dijadikan sebagai satu tools untuk mendorong adanya penyelesaian tumpang tindih dan perbaikan tata kelola sawit.

Kajian Stranas PK juga menemukan beberapa permasalahan, antara lain beneficial owner pemilik sawit, orangnya itu-itu juga, terjadi tumpang tindih izin, ada SK (Surat Keputusan) tapi tidak ada lampiran petanya, ada juga tidak ada SK nya.

Pemerintah Provinsi Papua telah melakukan review dan kajian perijinan, inventarisasi dan verifikasi hingga analisis perijinan 62 perusahaan kelapa sawit yang berada pada delapan kabupaten di Provinsi Papua.

Hasil review dan kajian perijinan itu menghasilkan dua hal. Pertama, Pemprov Papua mengusulkan pencabutan dan penghapusan izin dari daftar pemegang izin untuk 35 perusahaan. Kalau dikonversi luasannya (lahan) mencapai 522.397 ha dari jumlah keseluruhan 989.678 ha.

Pencabutan izin itu dikarenakan adanya temuan permasalahan tumpang tindih perijinan. Banyak perijinan berada dalam satu wilayah yang sama. Ada yang antar kawasan, ada yang tidak memenuhi atau tidak mengikuti Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW).

Kedua, pemerintah melakukan tindakan korektif administratif terhadap 19 perusahaan. Melakukan penataan kembali, perbaikan tata kelola, penyelarasan, penyesuaian, penyempurnaan terhadap tuntutan administratif yang harus dipenuhi oleh perusahaan tersebut. Perijinan perusahaan ini masih bisa diperbaiki.

Selain itu dilansir dari Instagram Greenpeace, ditemukan perusahaan yang tidak memiliki AMDAL, izin yang diduga dipalsukan dan melakukan aktivitas tanpa Hak Guna Usaha serta menyembunyikan kepemilikan. Total lahan yang bermasalah sebanyak 522.397 ha atau hampir 8 kali luas DKI Jakarta.

Dari kasus itu Pemprov Papua mengambil pembelajaran dari Stranas PK dan evaluasi perijinan kelapa sawit. Di mana kelapa sawit yang sangat besar manfaatnya untuk dapat mengurangi resiko dari deforestasi, dan juga mendukung komitmen pembangunan berkelanjutan untuk menjaga aset alam Papua.

Sebagaimana tertuang dalam UU Nomor 21/2001 tentang Otonomi Khusus Provinsi Papua. Papua memiliki viisi pembangunan berkelanjutan, di antaranya memberikan kesempatan yang luas bagi Orang Asli Papua dan meningkatkan kualitas hidup OAP, termasuk dalam hal mengakui dan menghormati hak OAP dalam penguasaan, pengelolaan dan pemanfaatan tanah dan kekayaan alam,
Sektor kelapa sawit memang memberikan kontribusi ekonomi kepada Indonesia, namun dibalik itu ada tata kelola yang amburadul yang menyebabkan pembukaan hutan alam, kebakaran hutan, konflik dengan masyarakat, praktik korupsi hingga tumpang tindih perizinan dan lahan seperti contoh di atas.

Tata kelola inilah yang harus dibenahi dengan cara memperpanjang Inpres Moratorium Sawit yang akan segera berakhir serta mengevaluasi dan mencabut izin yang bermasalah.

Sri Palupi, peneliti dari The Institute for Ecosoc Rights mengatakan, inpres ini penting dan mendesak bukan hanya diperpanjang tetapi juga penguatan. Perlu penguatan produk hukum disertai dengan target spesifik, antara lain, peningkatan produktivitas maupun evaluasi izin dengan ukuran target jelas.

Alue Dohong, Wakil Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan mengatakan, kebijakan moratorium sawit sangat relevan dengan upaya target Indonesia menuju nol emisi pada 2030. Indonesia memiliki lahan sawit luas hingga kebijakan intensifikasi dalam peningkatan produktivitas sangat perlu, bukan lagi ekstensifikasi atau perluasan lahan.