Trump Membuat AS dan Iran Mendekati Perang Skala Penuh di Timur Tengah
Berita Baru, Internasional – Setelah Jenderal Besar Iran Qasem Soleimani dan anggota senior milisi yang didukung Iran di Irak dibunuh atas perintah Presiden AS Donald Trump di dekat Baghdad pada 3 Januari, Teheran, Amerika Serikat (AS) dilaporkan satu langkah dari memicu perang skala penuh dengan di Timur Tengah.
Dalam wawancara baru-baru ini dengan NBC News, Menteri Luar Negeri Iran, Mohammad Javad Zarif, merinci keadaan peristiwa bulan Januari lalu.
“Sangat disayangkan bahwa AS, berdasarkan informasi yang salah, berdasarkan pada ketidaktahuan dan kesombongan, ditambah arahan yang mendekatkannya pada jurang […] membuat kami sangat dekat dengan perang,” ujar Zarid, dikutip NBC News.
Trump membenarkan pembunuhan Soleimani dengan mengklaim bahwa hal itu ia lakukan demi menjaga aset Amerika di luar negeri. Teheran dengan cepat merespon pembunuhan Jendral Besar Soleimani dengan menembakkan rudal balistik di dua markas militer pasukan AS di Irak. Meskipun demikian, tidak ada personel Amerika yang dilaporkan terluka. Namun Departemen Pertahanan AS kemudian mengkonfirmasi bahwa sekitar 100 pasukan menderita Traumatic Brain Injuries (TBI) dalam serangan itu. Zarif mencatat bahwa penembakan rudal di pangkalan AS di Irak dimaksudkan untuk mengirim sebuah “clear message.”
“Kami ingin menunjukkan kepada AS bahwa mereka tidak dapat menggertak Iran. Tindakan terhadap Iran akan selalu berdampak, namun tujuannya bukan untuk membunuh siapa pun […] tujuannya adalah untuk mengirim pesan, pesan yang sangat jelas kepada AS, bahwa jika mereka membunuh orang Iran, kami akan membalas,” ujar Zarif, dikutip NBC News.
Zarif mengatakan kepada stasiun televisi NBC News bahwa Iran tidak memiliki pengaruh terhadap milisi di Irak atau di Libanon. Iran juga menyangkal serangkaian tuduhan yang dilakukan oleh negara-negara Barat, bahwa ada pengaruh Teheran di balik semua itu. Zarif menunjukkan bahwa Soleimani, selama kunjungannya yang naas ke Baghdad pada bulan Januari, berusaha meredakan ketegangan. Ia juga berusaha membujuk milisi di Irak untuk tidak mengambil tindakan militer lebih lanjut setelah mereka menyerang kedutaan AS di Baghdad pada akhir Desember 2019.
Soleimani sedang bekerja untuk “mengerem siapapun orang dari terlibat dalam operasi militer yang sebenarnya […] Ini adalah pekerjaannya. Ini adalah apa yang dia coba lakukan, untuk mengerem situasi,” catat Zarif.
Zarif merinci bahwa Menteri Luar Negeri AS Mike Pompeo telah menulis “surat yang sangat tidak pantas kepada Iran” saat puncak krisis bulan Januari. Zarif menambahkan bahwa pesan itu mengandung “ancaman,” meskipun diplomat Teheran itu dengan hati-hati menolak mengutip isi surat tersebut.
“Biarkan saja dia mengatakan apa yang dia ingin tulis dalam surat itu,” ujar Zarif, dikutip oleh NBC News.
Di tengah tindakan pembalasan Iran atas pembunuhan jenderal besar mereka, secara tidak sengaja seorang kru senjata di Iran menembak jatuh pesawat penumpang Boeing 737 berbendera Ukraina di luar wilayah Teheran pada 8 Januari. Peristiwa itu menewaskan semua penumpang, 176 orang. Iran mengakui kesalahan itu dan menyatakan bahwa mereka mengira pesawat itu adalah rudal jelajah yang akan menyerang mereka. Sebagian besar penumpang adalah warga Iran atau Kanada, yang akan terbang ke Toronto dengan singgah di Kiev.
Zarif mengatakan kepada NBC News bahwa Teheran saat ini tidak memiliki sumber daya untuk mendapatkan informasi dari ‘Black Box’ Boeing 737 yang jatuh, dan sudah meminta bantuan AS dan negara-negara Barat lainnya.
“Kami telah meminta bantuan, tapi mengapa AS tidak membantu kami? Ini adalah masalah kemanusiaan. Mengapa mereka tidak memberi kami perangkat lunak? Mengapa mereka tidak memberi kami tenaga ahli? […] Masih banyak yang tidak diketahui. Itulah sebabnya kami ingin lebih dari siapa pun mengetahui apa yang ada di dalam ‘Black Box’, untuk mengetahui apa yang sebenarnya terjadi,” ujar Zarif kepada NBC News. Ia juga menambahkan bahwa Teheran “tidak akan menyentuh ‘black box’ tanpa kehadiran semua pihak yang berkepentingan.”
Zarif mengakui bahwa hubungan antara AS dan Iran telah memburuk dengan drastis. Ia kemudian mengingat kembali pengalamannya dalam berkomunikasi dengan AS sewaktu pemerintahan Obama.
“Dulu tidak seperti ini […] Saya masih menteri luar negeri yang sama yang menangani John Kerry dengan cara yang terhormat,” ujar Zarif kepada NBC News. Zarif menyalahkan pihak administrasi Trump karena telah memicu krisis yang tampaknya memang diinisiasi atas keinginan presiden.
“Amerika Serikat mengenai tempat yang salah, pada waktu yang salah, dan ini adalah konsekuensinya. Dan kita tidak dapat mengendalikan konsekuensinya, juga Amerika Serikat. Maksud saya, orang bertanggung jawab atas konsekuensi dari tindakan mereka dan saya pikir orang yang memprakarsai ini, perlu berjalan kembali,” ujar Zarif, dikutip NBC News.
Hubungan antara Iran dan AS dengan cepat memburuk setelah Trump pada tahun 2018 secara sepihak menarik AS dari Joint Comprehensive Plan of Action 2015 (JCPOA), yan juga dikenal sebagai Iran Nuclear Deal. Di samping itu, AS juga menerapkan kembali serangkaian sanksi ekonomi yang menghancurkan terhadap republik Islam itu. Trump merobek kesepakatan nuklir dengan memaksa Iran meninggalkan komitmen non-nuklirnya – landasan JCPOA – dan menyesuaikan kembali untuk pengayaan uranium skala penuh. Setelah tahun 2019 yang penuh gejolak, dengan menyaksikan beberapa serangan terhadap sejumlah kapal tanker minyak di Teluk Persia, dan tuduhan kesalahan besar antara Iran dan AS, militer AS secara signifikan meningkatkan kehadirannya di Timur Tengah. Sementara Iran telah berulang kali mengkonfirmasi kesiapannya untuk mengusir agresi militer. Trump sendiri mengisyaratkan bahwa berdasar pada Dekrit Pentagon-nya, ia dapat menyerang Iran kapan saja. Dan serangan itu akan memicu kekhawatiran perang skala penuh di Timur Tengah.
Penerjemah | Ipung |
Sumber | Sputnik News |