Beritabaru.co Dapatkan aplikasi di Play Store

 Berita

 Network

 Partner

Trump Kembali Menempatkan Kuba dalam Daftar Hitam Negara yang Mensponsori Terorisme
(Foto: The Guardian)

Trump Kembali Menempatkan Kuba dalam Daftar Hitam Negara yang Mensponsori Terorisme



Berita Baru, Internasional – Donald Trump telah mereklasifikasi Kuba sebagai “negara sponsor terorisme” yang akan mempersulit upaya pemerintahan Joe Biden untuk kembali menjalin kerjasama dan hubungan baik dengan Havana.

Hal tersebut disampaikan oleh Menteri Luar Negeri AS, Mike Pompeo, pada hari Senin (11/1), dan memposisikan Kuba sebagai daftar hitam sebagaimana Iran, Korea Utara, dan Suriah.

Pompeo, sebagaimana dilansir dari The Guardian, (12/1), membenarkan hal tesebut dengan mengatakan bahwa Havana telah memberikan dukungan untuk tindakan terorisme internasional sebagai upaya perlindungan bagi teroris.

Tudingan tersebut merujuk pada mantan Black Panther, Assata Shakur, yang dipenjara di AS karena pembunuhan terhadap seorang petugas polisi tahun 1973 dan kemudian melarikan diri ke Kuba di mana dia diberikan suaka oleh pemimpinnya saat itu, Fidel Castro. Hal ini juga didasarkan pada penolakan Kuba untuk mengekstradisi sekelompok gerilyawan dari Tentara Pembebasan Nasional Kolombia (ELN) karena diduga terlibat dalam serangan bom 2019 di Bogotá.

Pompeo juga menuduh Kuba terlibat dalam berbagai perilaku jahat di seluruh kawasan, menyoroti dukungannya untuk pemimpin otoriter Venezuela, Nicolás Maduro, yang gagal digulingkan oleh Trump.

Namun demikian, sebagian besar pengamat dan beberapa sekutu AS tidak membenarkan klaim pemerintahan Trump bahwa Kuba telah mensponsori terorisme.

“Ini adalah tuduhan palsu,” kata Christopher Sabatini, seorang rekan senior untuk Amerika Latin di Chatham House. “Terorisme sebagai definisi internasional adalah melakukan tindak kekerasan terhadap warga sipil tidak bersenjata yang dimaksudkan untuk menakut-nakuti penduduk. Kuba tidak melakukan itu. Ya, itu menekan rakyatnya sendiri – tapi begitu pula Arab Saudi.”

Sabatini mengatakan dia melihat langkah Trump sebagai “hadiah perpisahan untuk kelompok garis keras” di Florida dan upaya yang disengaja untuk menangguhkan masa transisinya kepada Biden, yang akan mulai menjabat pada 20 Januari.

“Ini seperti ketika tentara yang pergi meninggalkan ranjau yang tersebar di sebuah lapangan,” Sabatini menambahkan. “Mereka menanam ranjau politik ini untuk pemerintahan Biden yang akan sangat sulit untuk dibatalkan dan untuk mengunci, setidaknya untuk sementara, preferensi kebijakan mereka.”

Menanggapi tuduhan tersebut, Bruno Rodriguez yang menjabat sebagai menteri luar negeri Havana mengatakan: “Oportunisme politik AS diakui oleh mereka yang benar-benar prihatin tentang momok terorisme dan korbannya,” cuit Rodríguez.

Ricardo Herrero, kepala asosiasi non-partisan yang berbasis di AS bernama Cuba Study Group, mengatakan tidak ada dasar factual atas tuduhan Trump.

“Ini adalah upaya jahat untuk melumpuhkan kebijakan luar negeri Biden, dan memberi penghargaan kepada pendukung Maga di Florida karena tetap bersama Trump bahkan setelah dia menghasut serangan teroris terhadap Kongres AS,” cuit Herrero.

Sanksi baru akan mencakup pembatasan besar dengan pelarangan sebagian besar perjalanan dari AS ke Kuba dan transfer uang antara kedua negara, sumber pendapatan yang signifikan bagi warga Kuba yang memiliki kerabat di Amerika Serikat.

Menghapus Kuba dari daftar hitam pada tahun 2015 telah menjadi salah satu pencapaian utama kebijakan luar negeri Obama sebagai langkah membangun hubungan yang lebih baik dengan negara komunis tersebut, sebuah upaya yang didukung oleh Biden sebagai wakil presidennya. Hubungan pada dasarnya dibekukan setelah Fidel Castro mengambil alih kekuasaan pada tahun 1959, sementara Kuba berada dalam daftar teror sejak 1982 karena dukungannya untuk kelompok gerilya.

Seperti halnya Iran, Trump telah berusaha untuk membalikkan banyak keputusan Obama yang melibatkan Kuba. Dia telah mengambil tindakan tegas terhadap Havana dan menarik kembali banyak sanksi yang telah dicabut oleh pemerintahan Obama setelah pemulihan hubungan diplomatik penuh pada tahun 2015. Sejak Trump menjabat, hubungan semakin tegang, dengan tuduhan bahwa Havana berada dibalik serangan yang menyebabkan puluhan diplomat AS di Havana mengalami cedera otak mulai akhir 2016.

Dalam situasi ini, Biden diharapkan mampu meningkatkan hubungan baik, meskipun imigrasi dan krisis ekonomi, politik dan kemanusiaan Venezuela diyakini menjadi agenda yang lebih tinggi.

“Dia ingin kembali ke kebijakan yang ada di akhir masa jabatan Obama. Ia percaya bahwa hubungan yang lebih dekat dalam perdagangan dan hubungan pribadi antara kedua negara lebih cenderung mengarah pada keterbukaan politik dan kebebasan, serta memberikan pengaruh AS pada masalah lain, termasuk Venezuela,” kata Sabatini. Ini akan menjadi jauh lebih rumit sekarang.