Topik Perang Mendominasi Pertemuan G20 di Bali
Berita Baru, Nusa Dua – Pembahasan mengenai “perang” menjadi bahasan utama dalam pertemuan G20 di Bali, termasuk dampaknya terhadap ketahanan pangan dan energi, dengan tuan rumah Indonesia mendorong para menteri luar negeri G20 untuk membantu mengakhiri perang.
“Adalah tanggung jawab kita untuk mengakhiri perang lebih cepat daripada nanti dan menyelesaikan perbedaan kita di meja perundingan, bukan di medan perang,” kata Menteri Luar Negeri Indonesia Retno Marsudi saat membuka pembicaraan pada Jumat (8/7), dikutip dari Reuters.
Meskipun tidak segera jelas ada kesepakatan yang dicapai dalam pertemuan itu, Retno membuka pertemuan dengan mendorong agar G20 “menemukan jalan ke depan” untuk mengatasi tantangan global.
Retno juga mengatakan dampak perang, termasuk kenaikan harga energi dan pangan, akan paling parah menghantam negara-negara berpenghasilan rendah.
Tentang frasa “perang”, Rusia menolak menyebut itu sebagai “perang” atau “invasi”. Tapi pihaknya mengatakan “itu” adalah “operasi militer khusus” untuk membersihkan militer Ukraina dan membasmi orang-orang yang disebut Rusia sebagai “nasionalis berbahaya”.
Namun, Ukraina dan pendukung Baratnya mengatakan Rusia melakukan “perang” dengan perampasan tanah bergaya kekaisaran tanpa pembenaran atas invasinya.
Pada gilirannya, setiba di lokasi pertemuan, Menteri Luar Negeri Rusia Sergei Lavrov langsung diberondong dengan pertanyaan-pertanyaan “Kapan Anda akan menghentikan perang”, termasuk saat mengajak Retno berjabat tangan.
“’Aggressors‘, ‘invaders‘, ‘occupiers‘ kami mendengar banyak hal hari ini,” kata Lavrov kepada wartawan setelah sesi pertama pembicaraan, di mana dia duduk di antara perwakilan dari Meksiko dan Arab Saudi.
Sementara itu, di sela-sela pertemuan, Menteri Luar Negeri AS Antony Blinken mengatakan tantangan terkait dengan kenaikan biaya makanan dan energi telah “secara dramatis diperburuk oleh agresi Rusia terhadap Ukraina.”
Lavrov dan Blinken memang membahas banyak hal saat berada di ruang rapat, kata Retno tanpa merinci.
Acara tersebut menjadi tuan rumah pertemuan tertutup para diplomat top dari negara-negara G20 termasuk China, India, Amerika Serikat, Brasil, Kanada, Jepang dan Afrika Selatan, serta pembicaraan bilateral di sela-sela.
Pertemuan tersebut dibayangi oleh pembunuhan mantan Perdana Menteri Jepang Shinzo Abe, yang digambarkan Blinken sebagai “sangat mengganggu”, mengungkapkan keterkejutan atas kematian “seorang pemimpin dengan visi besar”.
Hunger Game
Pada gilirannya, Menteri luar negeri Ukraina Dmytro Kuleba berbicara dalam pertemuan itu secara virtual, menuduh Rusia memainkan “Hunger Game” melalui blokadenya terhadap pelabuhan Laut Hitam Ukraina.
Lavrov meninggalkan ruangan selama pidatonya, kata duta besar Ukraina untuk Indonesia.
Menteri Luar Negeri China Wang Yi sebelumnya mengatakan bahwa Beijing menentang tindakan apa pun yang meningkatkan konfrontasi blok, dan menciptakan “Perang Dingin baru”.
Menggarisbawahi ketegangan menjelang pertemuan, Retno mengatakan rekan-rekan G7 telah memberitahunya bahwa mereka tidak dapat bergabung dengan jamuan makan malam hari Kamis, di mana Lavrov hadir.
Dalam sambutan penutupnya, Retno mengatakan keputusan para menteri luar negeri untuk hadir tidak dianggap enteng mengingat ketegangan perang, dan semua peserta prihatin dengan melonjaknya harga pangan dan energi.
Beberapa peserta G20 menyerukan diakhirinya konflik melalui diplomasi dan negosiasi, kata Retno, seraya menambahkan bahwa sangat penting untuk mengintegrasikan kembali pupuk Rusia dan biji-bijian Ukraina ke dalam rantai pasokan global.
Para menteri luar negeri China dan Australia akan bertemu pada hari Jumat untuk pertama kalinya dalam tiga tahun, menandakan mencairnya hubungan yang telah memburuk atas klaim campur tangan asing dan sanksi perdagangan pembalasan.