Beritabaru.co Dapatkan aplikasi di Play Store

 Berita

 Network

 Partner

Timboel Siregar: Uji Coba KRIS Tidak Tepat

Timboel Siregar: Uji Coba KRIS Tidak Tepat



Berita Baru, Jakarta – Sekretaris Jenderal Organisasi Pekerja Seluruh Indonesia (OPRI) Timboel Siregar menilai keputusan Dewan Jaminan Sosial Nasional (DJSN) dan BPJS Kesehatan dalam Komisi IX DPR RI terkait uji coba Kelas Rawat Inap Standar (KRIS) tidak tepat. 

“Saya berharap proses uji coba dan survey dilakukan secara lebih luas sehingga semua RS memberikan penilaian tentang rencana KRIS satu ruang perawatan,” kata Sekjen Timboel Siregar kepada Beritabaru.co, Selasa (20/9).

Diketahui, Kementerian Kesehatan telah melakukan uji coba pelaksanaan KRIS di empat rumah sakit (RS) yaitu RSUP Dr.Tadjuddin Chalid Makassar, RSUP Dr. Johannes Leimena Ambon, RSUP Surakarta, dan RSUP Dr. Rivai Abdullah Palembang. 

Dalam paparan di depan Komisi IX, Menkes mengungkapkan hasil uji coba KRIS di empat RS tersebut adalah meningkatnya Bed Occupancy Rate (BOR) d RS tersebut. Namun demikian tidak dijelaskan alasan terjadinya peningkatan BOR tersebut.

Selain uji coba KRIS, Kemenkes melakukan survei kepada 2.982 RS pada tanggal 1 sampai 5 Agustus 2022. Dari 2.982 RS yang disurvei hanya 698 RS (23,4 persen) yang mengisi survey tersebut. Ada 12 kriteria KRIS yang dinilai oleh RS yang mengisi survey tersebut.

Terkait kriteria kepadatan ruangan (maksimal 4 tempat tidur atau TT/ ruang rawat dan jarak antar TT minimal 1,5 meter, dan ukuran TT dapat disesuaikan); dan kriteria kamar mandi di dalam ruangan, sebanyak 202 RS swasta, 8 RS Vertikal/Kemenkes, 25 RSUD Provinsi, 74 RSUD Kabupaten/Kota, 15 RS TNI-Polri, dan 5 RS BUMN/KL yang menyatakan membutuhkan perbaikan pada kedua kriteria tersebut.

Untuk kriteria bahan bangunan di RS tidak memiliki porositas tinggi; kelengkapan tempat tidur (minimal 2 stop kontak dan ada nurse call); kamar mandi sesuai dengan standar aksesibilitas; dan outlet oksigen, sebanyak 57 RS swasta, 4 RS Vertikal/Kemenkes, 4 RSUD Propinsi, 13 RSUD Kabupaten/Kota, 6 RS TNI-Polri, dan 2 RS BUMN/KL yang menyatakan membutuhkan perbaikan pada kriteria-kriteria  tersebut.

Sementara itu untuk kriteria ventilasi udara; pencahayaan ruangan; Nakas (1 buah per TT); suhu ruangan di 20 – 26 derajat Celsius dan kelembaban stabil; pembagian ruang berdasarkan jenis kelamin, usia,bahan bangunan di RS tidak memiliki porositas tinggi; kelengkapan tempat tidur (minimal 2 stop kontak dan ada nurse call); kamar mandi sesuai dengan standar aksesibilitas; dan outlet oksigen, sebanyak 57 RS swasta, 4 RS Vertikal/Kemenkes, 4 RSUD Propinsi, 13 RSUD Kabupaten/Kota, 6 RS TNI-Polri, dan 2 RS BUMN/KL yang menyatakan membutuhkan perbaikan pada kriteria-kriteria  tersebut.

“Mengingat uji coba hanya pada 4 RS dan itu pun hanya untuk RS Pemerintah dan survey yang dilakukan hanya diisi oleh 23,4 persen dari total RS yang ada, dan dari 12 kriteria KRIS tersebut masih banyak RS yang tidak siap, maka tidak tepat bila 82 persen RS sudah setuju dengan KRIS satu ruang perawatan,” tegas Timboel Siregar.

Sebagai catatan lainnya, lanjutnya, tujuan KRIS untuk Pasien hanya dua point tapi tidak menyebutkan tentang akses mudah pasien mendapatkan ruang perawatan KRIS. Bila membaca Pasal 18 PP No. 47 tahun 2021 di atas dan dikaitkan dengan Tujuan KRIS untuk peserta maka dengan adanya Pasal 18 tersebut RS diberi peluang untuk membatasi ruang perawatannya untuk pasien JKN.

“Sah-sah saja nanti RS Pemerintah mengalokasikan KRIS sebanyak 60 persen, dan sisanya 40 persen untuk pasien umum yang membayar sendiri. Demikian juga dengan RS swasta, sah-sah saja nanti RS swasta mengalokasikan KRIS nya sebanyak 40 persen, dan sisanya 60 persen untuk pasien umum yang membayar sendiri,” tutur Timboel Siregar.

Lebih lanjut ia melihat ketentuan pembatasan seperti ini tidak ada di Perpres no. 82 tahun 2018 serta regulasi lainnya, sehingga seluruh ruang perawatan kelas 1, 2 dan 3 diberikan juga untuk pasien JKN. Tentunya pemberian akses pasien JKN terhadap seluruh ruang perawatan KRIS tersebut akan tergantung pada kebijakan manajemen RS, dan kebijakan manajemen RS tidak bisa disalahkan karena memang aturannya ada di Pasal 18 tersebut.

“Dampak nyatanya adalah pasien JKN akan berpotensi terbatasi dalam mengakses ruang perawatan KRIS tersebut. Bila akses dibatasi maka akan terjadi penolakan RS terhadap pasien JKN dengan alasan KRISnya sudah penuh. Bila ditolak maka pasien JKN akan mengalami kesulitan mencari ruang perawatan yang dibiayai JKN,” tegasnya.

Timboel Siregar pun mengatakan, ini artinya kualitas layanan JKN terhadap pasien JKN akan semakin menurun dan akan menjadi masalah bagi kelangsungan program JKN. Tujuan KRIS bagi Penyelenggara Layanan ada dua, namun tidak secara otomatis bisa berjalan karena layanan akan ditentukan juga dengan Paket INA CBGs yang saat ini sedang dibahas. 

“Mengacu pada Pasal 24 ayat (1) UU SJSN diamanatkan Besarnya pembayaran kepada fasilitas kesehatan untuk setiap wilayah ditetapkan berdasarkan kesepakatan antara Badan Penyelenggara Jaminan Sosial dan asosiasi fasilitas kesehatan di wilayah tersebut,” urainya.

“Mengacu pada Penjelasan Pasal 11 huruf (d) UU BPJS disebutkan Pemerintah menetapkan standar tarif setelah mendapatkan masukan dari BPJS bersama dengan asosiasi fasilitas kesehatan, baik tingkat nasional maupun tingkat daerah. Besaran tarif di suatu wilayah (regional) tertentu dapat berbeda dengan tarif di wilayah (regional) lainnya sesuai dengan tingkat kemahalan harga setempat, sehingga diperoleh pembayaran fasilitas kesehatan yang efektif dan efisien”, sambungnya.

Tentunya pembahasan INA CBGs saat ini harus mengacu pada Pasal 24 ayat (1) UU SJSN dan Penjelasan Pasal 11 huruf (d) UU BPJS, yaitu dibicarakan dan disepakati terlebih dahulu antara BPJS Kesehatan dan Asosiasi Faskes di wilayah tertentu. Selama ini penetapan nilai INA CBGs dan Kapitasi hanya ditentukan oleh Menteri Kesehatan, bukan hasil kesepakatan antara BPJS Kesehatan dan Asosiasi Faskes di wilayah tertentu, sehingga banyak menimbulkan keluh kesah dari RS.

“Bila nilai INA CBGs yang akan ditetapkan tidak masuk ke harga keekonomian RS, khususnya RS swasta, maka pembatasan KRIS di Pasal 18 akan mendorong RS swasta menerapkan angka minimal (yaitu 40 persen) untuk diberikan kepada pasien JKN. Ini akan menyusahkan pasien JKN untuk mengakses KRIS,” ucapnya.

Timboel juga menyampaikan, terkait Pasal 84 PP No. 47 tahun 2021, tentunya isi pasal tersebut mewajibkan seluruh RS melaksanakan KRIS per 1 Januari 2023, namun dalam peta jalan pelaksanaan KRIS di bawah ini per 2023 baru diterapkan pada 50 persen RS Vertikal dan 25 persen untuk RS lainnya, dan baru dilaksanakan untuk semua RS pada tahun 2025. Ada ketidakkonsistenan dalam regulasi dan implementasi.

“Regulasi tentang KRIS akan diatur dalam Peraturan Presiden (Perpres) sementara kepastian pelaksanaan KRIS diatur di Peraturan Pemerintah (PP), dan mengacu pada tata hukum yang diatur dalam UU No. 13 tahun 2022 junto PP No. 15 Tahun 2019 junto UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundangan-undangan jelas bahwa kedudukan PP lebih tinggi dari Perpres sehingga pelaksanaan KRIS harus mengacu pada Pasal 84 PP No. 47 tahun 2021,” pungkasnya.