Ternyata Termometer Inframerah Tidak Akurat dan Tidak bisa Diandalkan
Berita Baru , Amerika Serikat – Para ahli menyatakan bahwa penggunaan alat pemindai suhu (termometer inframerah) untuk mencegah Covid-19 adalah sesuatu yang tidak dapat diandalkan, tidak akurat, dan tidak efektif.
Dilansir dari Dailymail.co.uk , Dokter terkemuka sebagai peneliti disini berusaha memperingatkan agar tidak menggunakan termometer inframerah yang memindai dahi seseorang untuk memeriksa adanya infeksi virus covid-19
Teknologi pemindai suhu ini sudah banyak digunakan oleh toko, restoran, tempat kerja maupun tempat umum lainnya di seluruh dunia sebagai bentuk skrining (pemindaian) untuk menemukan tanda-tanda demam pada individu, sebagai salah satu gejala utama Covid-19.
Disini Dr. William Wright di Universitas Johns Hopkins dan Dr. Philip Mackowiak, Emeritus, profesor kedokteran di Fakultas Kedokteran Universitas Maryland, mempertanyakan keakuratan alat tersebut, dan menolak klaim bahwa perangkat tersebut adalah alat yang efektif dalam mencegah penyebaran Covid-19.
Dalam artikel editorial yang diterbitkan di Open Forum Infectious Diseases berjudul “Mengapa Pemeriksaan Suhu untuk COVID-19 dengan Termometer Inframerah Non-Kontak Tidak Efektif”, disini para ahli terkemuka dunia menguji data tentang teknologi tersebut.
Peralatan pemindai suhu ini tersebar luas pada awal pandemi dimulai. Hal ini terjadi karena awalnya hanya sedikit yang diketahui masyarakat tentang penyakit tersebut (covid-19). Hanya sebatas pada gejala umum seperti demam dan batuk kering.
Demam didefinisikan oleh sebagai suhu tubuh lebih dari atau sama dengan 100,4F (38 ° C) jika terdeteksi diluar lingkungan kesehatan.
Namun dalam pengawasan perawatan kesehatan seperti rumah sakit, demam secara teknis didefinisikan sebagai sesuatu yang lebih besar dari atau sama dengan 100.0F (37.8 ° C).
“ Pembacaan yang diperoleh dengan termometer inframerah non-kontak ini dipengaruhi oleh banyak variabel seperti manusia, lingkungan, dan peralatan, yang semuanya dapat memengaruhi keakuratan, reproduktifitas, dan hubungannya dengan ukuran yang paling dekat dengan apa yang disebut suhu tubuh, suhu inti, atau suhu darah di vena paru, “ kata Dr Wright, pada Rabu (16/12)
“ Namun, satu-satunya cara untuk mengukur suhu tubuh inti secara andal dan akurat membutuhkan kateterisasi arteri pulmonalis, yang tidak aman dan tidak praktis sebagai tes skrining (pemindaian suhu).” Tambah peneliti.
Para peneliti disini mengungkap data kekurangan penggunaan sensor non-kontak (termometer inframerah) sebagai protokol penyaringan suhu tubuh.
Salah satu contoh yang mereka singgung adalah bahwa, pada 21 April, sekitar 268.000 individu turis diukur suhu tubuhnya di bandara di AS.
Hanya 14 dari orang-orang ini yang ditemukan mengidap virus tersebut (covid-19) melalui pemindaian termometer inframerah.
Mereka menulis bahwa dari data laporan CDC November 2020 menemukan bahwa di antara 766.000 pelancong (turis) yang diperiksa antara 17 Januari dan 13 September, hanya satu orang per 85.000 atau sekitar 0,001 persen yang kemudian dinyatakan positif SARS-CoV-2.
Mereka juga mengatakan bahwa, dengan menghubungkan dari konsep proses demam manusia dan cara kerja termometer pencitraan suhu, keduanya mungkin cacat secara fundamental.
“ Selama periode ketika demam tubuh meningkat, terjadi peningkatan suhu inti yang menyebabkan pembuluh darah di dekat permukaan kulit mengerut dan mengurangi jumlah panas tubuh yang dilepaskannya, ” jelas Dr Wright.
“Dan selama demam mulai turun, yang terjadi malah sebaliknya (suhu naik). Jadi, mendasarkan deteksi demam pada pengukuran NCIT yang mengukur panas tubuh dari dahi mungkin sama sekali tidak tepat pada konsep demam tubuh.”
Para peneliti mengatakan pemindai non-kontak seperti termometer inframerah harus tidak digunakan lagi dan diganti dengan metode penyaringan dan pengawasan lainnya, hal ini termasuk pengujian suhu secara massal atau individu yang menggunakan termometer pintar yang terhubung ke smartphone atau jam tangan.