Beritabaru.co Dapatkan aplikasi di Play Store

 Berita

 Network

 Partner

Nurhayati (Tangkapan Layar dari Video Viral)
Nurhayati berniat melaporkan Kades-nya karena dugaan kasus korupsi, namun justru menjadi tersangka. (Tangkapan layar dari video viral)

Terkait Kasus Nurhayati, Praktisi Hukum: APH Harus Lebih Teliti



Berita Baru, Daerah – Nurhayati, seorang Bendahara atau Kepala Urusan (Kaur) Keuangan Desa Citemu, Cirebon, Jawa Barat, ditetapkan menjadi tersangka setelah melaporkan dugaan korupsi APBDes yang dilakukan oleh Kepala Desa Citemu. Korupsi yang dilaporkan mencapai nilai Rp 800 juta.

Menanggapi hal ini, praktisi hukum Syamsul Huda Yudha menekankan pentingnya aparat penegak hukum (APH) untuk memproses semua laporan yang masuk dan menindaklanjutinya berdasarkan peraturan perundang-undangan terkait.

ilustrasi korupsi nurhayati
Penetapan Nurhayati sebagai tersangka mengundang respon luar biasa dari publik yang mempertanyakan mengapa pelapor bisa mennjadi tersangka (Freepik/Wirestock)

“Untuk menentukan apakah laporan masyarakat tersebut dapat ditindaklanjuti dengan menentukan atau menetapkan seorang sebagai tersangka atau justru menghentikan laporan tersebut demi hukum harus berdasarkan peraturan perundang-undangan terkait. Misalnya dengan terpenuhinya seluruh alat bukti dan terpenuhinya unsur-unsur tindak pidana yang dilaporkan,” tegasnya.

Dalam penetapan status tersangka, APH perlu mengumpulkan barang bukti mencakup keterangan saksi, keterangan ahli, surat petunjuk, dan keterangan terdakwa, berdasarkan pada Pasal 184 ayat 1 KUHAP. Ia juga mengingatkan, tindak Pidana Korupsi tergolong sebagai extraordinary crime, sehingga dalam upaya pemberantasannya memerlukan penanganan khusus.

Payung Hukum Bagi Nurhayati

Menilik ke aturan hukum yang berlaku, saksi dan pelapor tindak pidana korupsi seharusnya dapat mengakses perlindungan hukum, baik untuk dirinya sendiri maupun keluarganya. Hal ini sebagaimana diatur dalam perundang-undangan pasal 41 Undang-Undang Nomor 31 tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi bahwa masyarakat yang berperan serta membantu upaya pencegahan korupsi dapat diberikan perlindungan hukum, salah satu bentuk peran masyarakat dengan menjadi saksi atau pelapor.

Selain itu Pasal 15 Undang-Undang Nomor 30 tahun 2002 mengungkapkan Komisi Pemberantasan Korupsi wajib memberikan perlindungan terhadap saksi atau pelapor tindak pidana korupsi, mencakup perlindungan hukum, keamanan, keselamatan, dan ancaman.

Perlindungan terhadap pelapor dan saksi dikuatkan kembali lewat Pasal 5 Undang-Undang Nomor 13 tahun 2006 yang menyatakan bahwa seorang saksi dan pelapor berhak memperoleh perlindungan atas keamanan pribadi, keluarga, dan harta bendanya, serta bebas dari ancaman yang berkenaan dengan kesaksian yang akan atau telah diberikannya tanpa tekanan, saksi atau pelapor berhak mendapatkan informasi terkait perkembangan kasus, informasi putusan pengadilan, bahkan mendapatkan tempat kediaman baru, bahkan identitas baru apabila diperlukan.

Artinya, setiap warga negara berhak membuat laporan atas adanya pelanggaran hukum yang dilakukan oleh orang lain atau pejabat pemerintah. “Bahkan KPK sendiri membuka kran laporan masyarakat bilamana mereka mengetahui adanya pelanggaran hukum seperti korupsi berupa penyuapan, dan selama ini sudah banyak sekali laporan atau pengaduan yang ditindaklanjuti dengan melakukan aksi OTT, dan lain sebagainya,” imbuh Yudha.

Syamsul Huda Yudha IKA UB
Syamsul Huda Yudha (Tagar.id)

Terkait dengan kasus Nurhayati, Yudha menyebut adanya pejabat yang tak dapat menerima laporan tersebut. “Tidak sedikit orang-orang atau pejabat yang gerah dengan laporan demikian sehingga mencari celah hukum untuk membuat laporan pidana kepada yang bersangkutan, kemudian kita kenal sebagai ‘kriminalisasi’,” ujarnya.

Sementara untuk Nurhayati, pihaknya dapat mengajukan permohonan perlindungan ke Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban agar memperoleh perlindungan hukum.

Ia juga meminta kepolisian agar lebih jeli menilai laporan yang diterima, apakah memiliki kekuatan bukti yang kuat atau sekedar upaya untuk mengkriminalkan orang lain.

“Pihak berwenang harus kembali mendalami serta memeriksa dan mengumpulkan bukti-bukti yang ada dalam perkara tersebut dengan teliti, apabila Nurhayati merasa APH telah melanggar ketentuan Hukum Acara Pidana terkhusus dalam penetapan Tersangka, maka dalam hal ini Nurhayati dapat menempuh Upaya Hukum Praperadilan untuk membuktikan sah atau tidaknya penetapan tersangka terhadap dirinya, serta menguji apakah APH dalam menetapkan status Tersangka telah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang–undangan,” terang Yudha.

Kronologi Kasus Nurhayati

Dilansir dari Detik.com, kasus ini bermula ketika Kades Citemu ditetapkan sebagai tersangka dugaan korupsi APBDes pada tahun anggaran 2018 hingga 2020 dan kasusnya ditangani oleh Polres Cirebon Kota, dengan Nurhayati sebagai Saksi.

Nurhayati
Sosok Nurhayati, diambil melalui tangkapan layar dari sebuah video viral. Ia kini berstatus sebagai tersangka.

Berkas penyidikan kemudian dilimpahkan ke Kejaksaan Negeri (Kejari) Cirebon. Namun pada 23 November tahun lalu, Kejaksaan dan Penyidik menggelar ekspos dugaan korupsi Kades tersebut. Hasilnya, diperlukan penyelidikan lebih mendalam.

Setelah ekspos pada 2 Desember 2021, Kejaksaan diketahui menerima Surat Pemberitahuan Dimulainya Penyidikan (SPDP) yang termaktub di dalamnya penetapan Nurhayati sebagai tersangka.