Tentang Korrelasionisme: Catatan Kecil untuk Goenawan Mohamad
Intelektual Muda NU
Percakapan tentang filsafat dan sains masih berlanjut, dan saya menikmatinya. Dalam catatannya yang terakhir yang baru dirilis beberapa jam lalu di laman fb-nya, Mas Goen (Goenawan Muhamad) menyinggung nama filsuf Perancis Quentin Meillassoux yang menulis buku “After Finitude” (terjemahan Inggrisnya, menurut saya, kurang bagus!).
Salah satu gagasan penting Meillassoux adalah kritiknya atas apa yang ia sebut “korrelasionisme”, yaitu cara berfilsafat setelah Immanuel Kant yang membayangkan manusia tak mungkin ada tanpa dunia, atau dunia tak mungkin ada tanpa manusia.
Meillassoux berpandangan bahwa dunia bisa ada dan memiliki “qualities” pada dirinya sebelum ada manusia. Sebab, dalam sejarah alam raya yang berumur 13,8 milyar tahun ini, umur manusia barulah beberapa detik saja. Sesuatu pada dirinya sendiri (disebut oleh Kant sebagai “das Ding an sich”) jelas ada sebelum manusia muncul. Itulah yang disebut Meillassoux sebagai “ancestrality” (judul bab pertama dalam bukunya).
Jalan untuk mengetahui “qualities” segala sesuatu pada dirinya sendiri, ada atau tak ada manusia, menurut Meillassoux, adalah melalui matematika. Baginya, matematika adalah sejenis realitas sesuatu pada dirinya sendiri yang independen dari manusia (filsuf Muslim biasa menyebutnya: “al-‘alam al-khariji”).
Saya melihat, langkah Meillassoux ini adalah bagian dari trend besar dalam pemikiran filsafat di Barat yang hendak “membunuh manusia” (setelah sebelumnya membunuh Tuhan!). Ini adalah “the latest attempt at the killing of God and, by its default, human”. Kecenderungan ini paling menonjol dalam tradisi filsafat Perancis. Apakah ini ada kaitan dengan konsep “laïcité” yang keras di negeri itu?
Saya tak cocok sama sekali dengan gaya berpikir seperti ini. Bagi saya, manusia adalah pusat dari seluruh pekerjaan pengetahuan. Seluruh bangunan sains modern hanya mungkin tegak dengan mengandaikan adanya agen penting: yaitu manusia.
Tanpa manusia, seluruh “struktur komprehensibilitas” (ingat perkataan Einstein: the most incomprehensible thing about the universe is that it is comprehensible) yang kita jumpai dalam alam raya ini, menjadi tak berguna sama sekali.
Tragedi filsafat Barat, menurut saya, adalah adanya “the will to homicide”, kehendak untuk “membunuh manusia”, dengan satu dan lain cara, setelah menuntaskan babak sebelumnya: theocide, membunuh Tuhan. Apa yang dilakukan oleh Meillassoux ini adalah bagian dari tendensi homisidal ini.
Sebab, selama manusia belum dibunuh, kemungkinan Tuhan atau metafisika tradisional balik lagi ke panggung sejarah, akan terus ada. Dan filsafat Barat tampaknya memiliki trauma terhadap Tuhan.
Kritik sederhana pada Meillassoux (saya tak bisa menghindar dari nama Ary Lasso), menurut saya, adalah: bahkan kritik atas “metafisika” (saya menyebutnya demikian) korrelasionisme yang ia kerjakan itu hanya mungkin diselenggarakan oleh subyek yang sadar, yaitu seorang filsuf bernama Meillassoux.
Atau lebih jauh lagi: apa yang disebut “matematika” (oleh Meillassoux dianggap sebagai jalan untuk menembus realitas sesuatu pada dirinya, “irrespective of the beholding subject”) adalah hasil kerja subyek juga, yaitu manusia. Saya bertanya: Apakah mungkin lari dan menghindar dari manusia dalam seluruh “knowledge formation”?
Rasasanya mustahil. Pada akhirnya, pembentukan pengetahuan adalah “a humanist undertaking”, pekerjaan manusia dengan seluruh struktur “finitude” yang mengepungnya dari segala sisi. Itu pendapat saya.
Kembali kepada soal korrelasionisme: pada akhirnya, “das Ding an sich,” sebagaimana dikatakan Kant, tidak mungkin ditembus. Tetapi saya lebih menyukai istilah para sufi (biar tidak pinjam bahasa orang Eropa terus) “sirrul al-asrar,” rahasinya rahasia.
Sains hanya mengungkap satu lapis “rahasia natural” dengan metode tertentu, dan dengan mengandaikan bahwa rahasia ini terungkap dalam relasi antara obyek dan subyek (=manusia).
Tetapi ada lapis rahasia yang lain, yaitu sesuatu pada dirinya sendiri. Lapis inilah yang tidak bisa ditembus. Meskipun saya bertanya-tanya pula: apakah tak bisa ditembus sama sekali, atau tidak bisa ditembus melalui metode sains?
Belum lagi memperhitungkan pertanyaan lain: apakah “properties” dari “das Ding” itu hanya sebatas “natural properties”? Tidak mungkinkah ada “properties” lain (tentu tak ada sangkut-pautnya dengan bisnis properti)?
Anyway, terima kasih untuk GM yang telah membawa kita pada percakapan yang menarik tentang sains, tidak semata-mata dengan “sikap berkhidmat”, tetapi juga curiga. Jika terhadap agama dan metafisika berlaku “tatapan kritis”, kenapa tidak berlaku tatapan yang sama terhadap sains?
Dan, seperti kata GM, tatapan ini tidak harus dimaknai sebagai “dakwaan” atas sains, atau apalagi mewakili sikap regressif kedalam metafisika tradisional yang dianggap akan mengganggu kemajuan sains.
* | Tulisan ini merupakan catatan Ulil Abshar Abdalla di akun Facebook miliknya dan diterbitkan kembali atas persetujuan penulis. |