Tegas! Warga Sagea Tolak Rencana Pembangunan Kawasan Industri Nikel
Berita Baru, Maluku Utara – Warga Desa Sagea-Kiya, Kecamatan Weda Utara, Halmahera Tengah, Maluku Utara, yang tergabung dalam Front Selamatkan Kampung (SEKA) Sagea menghadiri undangan rapat di Kantor Bupati Halmahera Tengah terkait aksi penolakan atas rencana pembangunan kawasan industri nikel PT. First Pacific Mining (FPM), pada Senin (29/8), lalu.
Rapat itu dipimpin langsung oleh Wakil Bupati Halteng, Abdurrahim Odeyani, dihadiri oleh sejumlah dinas, pihak perusahaan, pemerintah desa dan kecamatan, warga pemilik lahan, serta pemuda dan mahasiswa.
Pada rapat yang berlangsung selama 3 jam itu, FPM yang diwakili Firmansyah (KTT) memaparkan terkait perizinan dan rencana industri pengolahan nikel. Lngkup utama PT FPM adalah penambangan, pembangunan kawasan industri untuk pengolahan biji nikel sebesar 160.000 ton, pembangunan PLTU berkapasitas 750MW, serta dermaga dengan kapasitas 50.000 ton.
Adapun luas kawasan industri adalah 1000Ha, jarak dengan lokasi Sungai Sageyen dan Danau Legaelol masing-masing 500 meter. Atas rencana tersebut, warga Sagea dengan tegas tetap pada sikap awal, yaitu menolak rencana pembangunan kawasan industri nikel PT. FPM.
“Karena sudah ada bukti nyata di sekitar kami bahwa industri nikel membawa dampak kerusakan ekosistem,” kata SEKA Sagea dalam keterangannya.
Adapun Pemda setempat beranggapan bahwa perusahaan telah memenuhi perizinan sesuai tata aturan dan prosedur, telah Clean and Clear, sehingga tidak ada masalah. Atas dasar itu, untuk menolak hadirnya tambang tersebut harus ada mekanisme dan prosedur, argumen yang kuat, lebih-lebih kewenangan bukan lagi pada bupati dan gubernur.
Oleh karenanya pihak Pemda menyarankan agar masyarakat menerima, dengan diatur bentuk pengawasan lingkungannya guna perlindungan Bokimoruru dan Danau Legaelaot. Pemda pun berpandangan, keberadaan perusahaan harus dimanfaatkan secara baik untuk mendorong ekonomi masyarakat Desa Sagea-Kiya.
Pada kesempatan itu, Pemda menawarkan adanya win solution, yaitu kesepakatan (MoU) antara perusahaan, masyarakat dan pemerintah mulai dari desa hingga kabupaten agar perusahaan tetap berjalan dan melindungi kawasan Bokimoruru dan dan Danau Legaelo.
“Win-win solution yang ditawarkan tetap berpotensi merusakan ekosistem, maka dengan tegas kami menyatakan tidak ada negosiasi dan kompromi apapun. Kami tetap mempertahankan bentang alam karst di Desa Sagea/Kiya atas jasa layanan alam, yang saat ini dimanfaatkan oleh masyarakat untuk ekowisata sebagai solusi pembangunan berkelanjutan,” tegas warga Sagea.