Tantangan Pemerintahan Prabowo: Warisan Utang Jokowi dan Risiko Krisis Ekonomi
Berita Baru, Jakarta – Diskusi yang digelar Forum Guru Besar dan Doktor INSAN CITA pada 15 September 2024 bertajuk “Warisan Utang Jokowi dan Prospek Pemerintahan Prabowo” menyoroti kebijakan utang dan dampak ekonomi yang diwariskan oleh pemerintahan Jokowi. Dalam forum tersebut, sejumlah pakar ekonomi memberikan pandangan mereka tentang tantangan yang dihadapi pemerintahan Prabowo terkait utang dan prospek ekonomi ke depan.
Kepala Pusat Ekonomi Digital dan UMKM INDEF, Eisha M. Rachbini memaparkan akar penyebab defisit Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN), yang muncul akibat ketidakseimbangan antara belanja dan penerimaan negara. Defisit tersebut, menurutnya, diperparah oleh dampak pandemi COVID-19 yang membuat anggaran belanja negara membengkak, hingga mencapai minus 2,8%.
“Jika mendekati batas 3%, ruang fiskal kita jadi terbatas dan rentan terhadap risiko ke depan,” jelas Eisha.
Lebih lanjut, ia menyoroti penerimaan pajak yang terus menurun sejak masa pandemi, terutama di sektor perdagangan dan pertambangan. Menurutnya, realisasi penerimaan pajak tidak pernah mencapai target, dan tren penurunan pajak korporasi semakin memperlebar selisih antara penerimaan dan pengeluaran negara.
“Rasio pajak terhadap PDB terus mengalami penurunan, meskipun ada harmonisasi pajak pada 2021, namun dampaknya hanya sedikit,” kata Eisha.
Ia juga memperingatkan bahwa meskipun rasio utang terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia masih jauh dari 60%, beban bunga utang yang tinggi menyebabkan negara harus membayar lebih besar dibanding negara-negara lain.
“Yield obligasi Indonesia mencapai 7,2%, jauh lebih tinggi dari negara-negara lain seperti Singapura yang hanya 3,2%,” tambahnya.
Sementara itu, Dosen FEB UPNV Jakarta, Tauhid Ahmad menyatakan target pertumbuhan ekonomi pemerintahan Prabowo yang dinilai terlalu ambisius. Prabowo menargetkan pertumbuhan ekonomi sebesar 6-7%, bahkan berencana mencapai 8%, meskipun menurut Bappenas target tersebut terlalu optimis.
“Target pertumbuhan 6-7% itu ambisius, tetapi fondasi riilnya amat berbeda. Pada era Jokowi, meski ada pembangunan infrastruktur besar-besaran, pertumbuhan ekonomi selalu di bawah target,” jelas Tauhid.
Tauhid juga menyoroti adanya pergeseran kebijakan dari pembangunan infrastruktur ke pengembangan sumber daya manusia dan teknologi pada pemerintahan Prabowo. Ia menilai bahwa transisi ini berfokus pada penguatan sektor-sektor yang lebih berkelanjutan, seperti ketahanan pangan, pengentasan kemiskinan, dan ekonomi hijau. Namun, ia mempertanyakan apakah sumber penerimaan negara cukup untuk mewujudkan target ambisius tersebut. “Dari beragamnya target, tinggal bagaimana cara mewujudkannya, tapi tidak yakin itu semua bisa didanai dengan sumber penerimaan yang maksimal,” tambahnya.
Dengan kondisi perpajakan yang tidak mengalami lompatan signifikan, Tauhid menyimpulkan bahwa akan sulit bagi Prabowo untuk mencapai target pertumbuhan ekonomi hingga 7% pada periode 2025-2029.