Beritabaru.co Dapatkan aplikasi di Play Store

 Berita

 Network

 Partner

Ketua Komnas HAM Ahmad Taufan Damanik memberi tanggapan terkait vonis hukuman mati Herry Wirawan, dalam kanal YouTube Humas Komnas HAM RI, Selasa (5/4). (Foto: Tangkap Layar)
Ketua Komnas HAM Ahmad Taufan Damanik memberi tanggapan terkait vonis hukuman mati Herry Wirawan, dalam kanal YouTube Humas Komnas HAM RI, Selasa (5/4). (Foto: Tangkap Layar)

Tak Sepakat Herry Wirawan Dihukum Mati, Komnas HAM Minta Hakim Lakukan Peninjauan Apabila Ada Kasasi



Berita Baru, Jakarta – Komnas HAM tidak setuju Herry Wirawan pemerkosaan 13 santriwati dijatuhi hukuman mati. Hal itu disampaikan Ketua Komnas HAM Ahmad Taufan Damanik. Ia menilai hukuman mati tidak akan memberikan efek jera terhadap pelaku tindak pidana.

Oleh sebab itu, pihaknya mengingatkan penegak hukum di Indonesia dan meminta hakim memberikan kesempatan bagi Herry apabila nanti sang terpidana mengajukan kasasi. Sebab, dalam RKUHP ada aturan yang memberikan kesempatan bagi terpidana mati untuk suatu periode tertentu.

“Kami selalu ingin mengingatkan pada penegak hukum terutama hakim kasasi yang mungkin saja ditempuh oleh terpidana atau pengacaranya. Kami berharap para hakim kasasi nanti mempertimbangkan satu tren global bahwa hukuman mati secara bertahap telah dihapuskan, hanya tinggal beberapa negara lagi yang mengadopsi hukuman mati, termasuk Indonesia,” Taufan dalam keterangan video pada kanal YouTube Humas Komnas HAM RI, dikutip Rabu (6/4).

Dalam periode tersebut, lanjut Taufan, apabila sang terpidana tercatat mengalami perubahan-perubahan sikap, maka hukuman mati dapat dimungkinkan untuk diturunkan menjadi hukuman yang lebih ringan.

“Karena itu sekali lagi kita menginginkan ada satu peninjauan yang sebaik-baiknya dari hakim kasasi nanti. Manakala misalnya terpidana mati ini Herry Wirawan maupun pengacaranya mengajukan kasasi,” ucap Taufan.

Taufan menjelaskan bahwa vonis hukuman mati di sejumlah negara sudah dihapus dari sistem peradilan negara dalam mengeksekusi pelaku tindak pidana. Sebab hukuman mati tidak pernah terbukti memberikan efek jera dan melanggar HAM. 

“Kalau kita lihat kajian-kajian terkait dengan penerapan hukuman mati, tidak ditemukan korelasi antara penerapan hukuman mati dengan efek jera atau pengurangan tindak pidana. Apakah itu tindak pidana kekerasan seksual, tindak pidana terorisme misalnya atau narkoba, dan tindak pidana yang lainnya,” ungkapnya.

Ia lantas membandingkannya dengan konstitusi yang berlaku di Indonesia. “Dari konstitusi kita Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 28I ayat (1 )misalnya, di situ dikatakan bahwa hak untuk hidup itu adalah merupakan hak yang tidak bisa dikurangi atau dibatasi dalam kondisi apapun. Karena itu dia merupakan suatu hak asasi yang absolut,” ujar Taufan.

Lebih lanjut ia menuturkan, hal ini semata-mata untuk mengeliminasi hukuman mati dalam sistem peradilan yang bertentangan dengan HAM, bukan tidak menghormati keadilan bagi orang-orang yang menjadi korban dari perilaku bejat Herry.

“Komnas HAM tentu saja sangat berempati pada korban. Korban adalah pihak yang utama untuk diperhatikan, karena itu kami juga sangat kuat mendorong agar ada proses restitusi, rehabilitasi, dan perhatian yang lebih serius dalam kasus Herry Wirawan maupun kasus lainnya kepada korban,” pungkasnya.

Sebelumnya, Majelis Hakim Pengadilan Tinggi (PT) Bandung mengabulkan banding dari Kejaksaan Tinggi Jawa Barat yang meminta hukuman mati bagi pelaku perkosaan 13 santriwati Herry Wirawan. 

Vonis itu menganulir putusan PN Bandung sebelumnya yakni pidana penjara seumur hidup. Selain vonis mati, Hakim juga mewajibkan Herry membayar restitusi atau ganti rugi terhadap korban sebesar Rp300 juta lebih. (mkr)