Beritabaru.co Dapatkan aplikasi di Play Store

 Berita

 Network

 Partner

Ketua Umum Pengurus Pusat Rumah Perempuan dan Anak (RPA), Ai Rahmayanti. (Foto: NU Online)
Ketua Umum Pengurus Pusat Rumah Perempuan dan Anak (RPA), Ai Rahmayanti. (Foto: NU Online)

Tak Semua DIM RUU TPKS Dibahas, Rumah Perempuan dan Anak Tetap Dorong Disahkan pada Paripurna Mendatang



Berita Baru, Jakarta – DPR RI dan Pemerintah telah menyepakati Rancangan Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (RUU TPKS) masuk pada Rapat Paripurna untuk dibahas pada tingkat II guna disahkan menjadi Undang-Undang.

Keputusan itu diambil dalam rapat pleno Baleg  DPR RI, Rabu (6/4), setelah RUU TPKS selesai pada pembicaraan tingkat I oleh tim Panja Baleg bersama pemerintah serta organisasi masyarakat sipil dalam waktu kurang dari dua minggu sejak rapat pembahasan perdana pada Kamis (24/3) lalu.

Pengurus Pusat Rumah Perempuan dan Anak (RPA) melihat pembahasan RUU TPKS pada tingkat I yang cepat membuat tidak cukup waktu untuk eksplorasi, memastikan tidak ada yang terlewat seperti dalam hukum acara terkait mekanisme restitusi dan layanan terpadu.

Sebagai bagian dari jaringan masyarakat sipil, RPA juga sedikit menyayangkan tidak semua DIM dibahas dalam Rapat Panja tersebut. Setidaknya dari 588 hanya 322 yang dibahas, padahal menurutnya, masukkan dari jaringan masyarakat sipil menyebar di semua DIM.

“Namun demikian, tetap perlu diapresiasi karena pembahasan kali ini lebih efektif. Anggota Panja yang  menyampaikan pandangannya secara konstruktif, dan pimpinan baleg serta tim dari pemerintah yang  terbuka  dan mengakomodir beberapa masukan dari masyarakat sipil,” kata Ketua Umum PP RPA, Ai Rahmayanti saat dihubungi, Rabu (6/4).

Kepada Beritabaru.co, Ai Rahmayanti menyampaikan beberapa catatan terkait RUU TPKS yang akan disahkan menjadi Undang-Undang. Diantaranya menyoal ‘perkosaan’ dan ‘pemaksaan aborsi’ yang tidak diatur, hingga adanya terobosan baru dari aspek hukum acara dalam RUU TPKS ini.

“Untuk pasal ‘perkosaan’, meskipun gagal diatur normanya dalam RUU TPKS, namun  telah disebutkan dalam Pasal 4 (2) sebagai Tindak Pidana KS,” ujarnya.

Adapun terkait ‘pemaksaan aborsi’, Ketum RPK yang juga Wasekjen PBNU menuturkan selain tidak berhasil mengatur normanya, juga tidak disebutkan dalam Pasal 4(2), sehingga korban ‘pemaksaan aborsi’ tidak dapat mengakses hukum acara khusus dll yg dimuat dalam RUU TPKS.

“Karena pemaksaan aborsi tidak disebutkan sebagai Tindak Pidana KS di dalam Pasal 4(2),” tegas Ai Rahmayanti.

Namun demikian, Ia menyebut dari aspek hukum acara, RUU TPKS telah menghasilkan beberapa terobosan hukum seperti terkait alat bukti di Pasal 24,  diakuinya Lembaga Penyedia Layanan Berbasis Masyarakat sebagai penyelenggara pelayanan terpadu (Pasal. 39-41).

Meski semua masukan dari jaringan masyarakat sipil tak terakomodir, Ai Rahmayanti tetap mendorong RUU TPKS disahkan pada sidang paripurna bulan April ini. Ia berharap UU TPKS mampu mengakomodir seluruh kebutuhan dan hak korban Kekerasan, dari mulai Hulu sampai dengan Hilir. (mkr)