Tajalli dan Konteks Deus Inspira
Berita Baru, Opini – Ketika pandeisme menolak konsep-konsep sakral semisal wahyu-wahyu Tuhan (kalam Tuhan) yang sifatnya gaib bagi kalangan awam (bukan Nabi atau Rasul), maka di situlah muncul perlawanan pemikiran yang bercorak estetis, etis dan religius yang disebut dengan konsep tajalli.
Pandeisme menganggap bahwa agama-agama dunia mempunyai hal yang bersifat ketergantungan terhadap wahyu (kalam Tuhan) sebagai sumber dan dasar kebenaran yang banyak ditemukan pada ajaran Kristen, Islam, Yahudi dan ajaran theisme lainnya yang ada di muka bumi.
Basis otentifikasi kebenaran pandeisme yang banyak berpegang pada visual mata telanjang dan indera-indera tubuh lainnya, membuatnya kering yang hanya memandang Tuhan sebagai aktor tunggal tanpa komunikasi dua arah dengan hamba-Nya. Pandeisme dengan tegas menolak kejadian gaib semisal kenabian, mukjizat, ilham, wangsit, bisikan gaib, pencerahan, dan wahyu. Mereka memandang Tuhan adalah aktor tunggal atas keberlangsungan kehidupan umat manusia tanpa adanya bentuk komunikasi seperti wahyu, hadis, ilham ataupun bentuk lainnya.
Pandeisme tidak mengakui campur tangan manusia seperti adanya pangkat kenabian dan lahirnya kitab suci (kanonisasi). Pandeisme melihat wahyu ilahi dan kitab-kitab suci, hanya sebagai interpretasi yang dibuat oleh manusia, bukan dari sumber yang berkuasa atau dengan kata lain, hanya karangan manusia biasa saja. Layaknya karya-karya sastra lainnya.
Untuk itulah lahirlah konsep tajalli dalam Islam untuk membumihanguskan konsep-konsep pandeisme. Tajalli merupakan kebalikan dari pandeisme. Tajalli memberikan ruang yang luas bagi keterlibatan manusia sebagai hamba-Nya untuk bebas berinteraksi dan berinterpretasi.
Ajaran tajalli mengatakan bahwa ada campur tangan manusia dalam hal kepercayaan yang bersumber pada Tuhan. Interaksi antara Tuhan dan manusia di dalam konsep tajalli telihat pada inkulturasi antara Tuhan dan manusia yang bisa berupa produk-produk prilaku mulia (akhlak) ataupun perkataan mulia (hadis, ilham, wangsit, pencerahan, ijtihad, fatwa dan lainnya).
Apabila Tuhan ber-tajalli pada hambanya yang Ia kasihi, maka tangan, kaki, mata, telinga, hati, dan seluruhnya yang ada diri si hamba adalah inspirasi (deus inspira) tangan dan kaki Tuhan. Inilah prinsip utama dalam tajalli, di mana manusia terinspirasi untuk bersifat seperti Tuhan pada tataran dan batas-batas tertentu. Sedang penyaksian terhadap tajalli Tuhan untuk manusia, kalangan sufi berpendapat bahwa itu bisa saja terjadi.
Penyaksian itu dilakukan bukan dengan mata kepala biasa atau indera lainnya, melainkan dengan mata hati dan batin (syuhud) yang lembut setelah memperolehi nur mukasyafah. Penglihatan yang dimaksud, bukan melihat keadaan rupa, bentuk atau warna Tuhan secara kasar, tetapi pandangan syuhud (mata hati) yang tajam dan lembut untuk berprilaku seperti sifat-sifat Tuhan seperti Yang Maha Lembut, Yang Maha Penyayang dan lainnya.
Tajalli bukanlah reinkarnasi ataupun sikap “mirroring” (refleksi total), sebab Tuhan jelas berbeda dengan makhluk-Nya. Tajalli hanya menegaskan bahwa ada keikutsertaan manusia di dalam sebuah ketuhanan. Tajalli menegaskan kepada pandeisme bahwa “qullu syaiin halikun illa wajhahu”, segala sesuatu itu akan rusak, binasa, kecuali Tuhan.
Untuk mencapai Tajalli, seorang hamba harus melalui ibadah dan bakti yang sangat tinggi dan keras. Sifat “kemahaan” Tuhan hanya bisa dirasakan dengan ibadah-ibadah berkualitas tinggi. Tajalli diraih setelah melewati hal fana, hal fana-ul fana, dan hal fana fillah dan baqa billah. Atau dengan istilah lain Takhali, Tahalli, hingg sampai pada Tajalli.
Takhalli adalah pengosongan dari sifat-sifat tercela. Sedang tahalli adalah input takhalli yang berupa sifat-sifat yang terpuji. Sehingga segalanya menjadi jelas, nyata dan terbentang, yang diistilahkan dengan pembukaan tabir atau mukasyafah.
Model-model tajalli itu bermacam-macam. Ada yang berupa teofani ala Nabi Musa, yaitu merasakan kehadiran Tuhan dengan kontak visual dan audio yang terekam pada perjumpaan dengan Tuhan. Interaksi komunikasi antara Tuhan dan hamba-Nya, juga merupakan bentuk tajalli. Pembicaraan Tuhan dengan makhluk pilihan-Nya (Nabi dan Rasul) dikenal dengan sebutan wahyu.
Sedang untuk manusia biasa yang diberi keistimewaan dan bisikan (wali-Nya), baik sebagai petunjuk atau perintah, disebut dengan ilham. Itu semua bisa terjadi dalam kerangka tajalli, sebab Tuhan itu bisa saja berbicara dengan makhluk-mahlukNya, karena bersifat Mutakalim (Yang Maha Berbicara)-Nya.
Konteks ini bisa dilihat pada contoh interaktifnya seperti Ibu Nabi Musa yang diberi petunjuk untuk menghanyutkan bayi Musa ke sungai Nil. Serta banyak kisah auliya’ atau wali-wali Alloh yang berdialog dengan Tuhan. Sebuah hadis Nabi yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari dikatakan: dari ‘Ady ibni Hatim, beliau berkata, bahwa Nabi telah bersabda; seseorang kamu akan bercakap-cakap dengan Alloh tanpa ada penterjemah dan dinding yang mendindinginya.
Jadi di titik inilah perbedaan antara pandeisme dan tajalli. Dengan begitu, Tajalli mampu membuktikan bahwa bisa terjadi interaksi inderawi dan raga antara Tuhan dan manusia hingga terlahir apa yang disebut dengan kitab suci, hadis, dan semua komponen-komponen gaib lainnya.
Tajalli adalah Deus Inspira yang akan terus-menerus menyinari dan memberikan spirit kehidupan. Tajlli menegaskan bahwa sinar-Nya dapat ditangkap oleh hamba-Nya sebagai sebuah inspirasi kehidupan. (*)