Orang Kaya – Beritabaru.co https://beritabaru.co Meluruskan Distorsi Informasi Mon, 17 Jul 2023 08:21:21 +0000 id hourly 1 https://beritabaru.co/wp-content/uploads/2019/09/cropped-Berita-Baru-Icon-32x32.png Orang Kaya – Beritabaru.co https://beritabaru.co 32 32 Jurang Ketimpangan Orang Kaya dan Miskin di Indonesia Makin Lebar https://beritabaru.co/jurang-ketimpangan-orang-kaya-dan-miskin-di-indonesia-makin-lebar/ Mon, 17 Jul 2023 08:21:17 +0000 https://beritabaru.co/?p=173641 Jurang Ketimpangan Orang Kaya dan Miskin di Indonesia Makin Lebar

Berita Baru, Jakarta - Dalam catatan Badan Pusat Statistik (BPS), tingkat ketimpangan pengeluaran masyarakat Indonesia atau gini ratio pada Maret 2023 tercatat semakin lebar atau meningkat. 

"Pada Maret 2023, tingkat ketimpangan pengeluaran penduduk Indonesia yang diukur menggunakan Gini Ratio adalah sebesar 0,388," demikian tulis BPS dalam rilisnya, Senin (17/7).

"Angka ini meningkat 0,007 poin jika dibandingkan dengan Gini Ratio September 2022 yang sebesar 0,381 dan meningkat 0,004 poin jika dibandingkan dengan Gini Ratio Maret 2022 yang sebesar 0,384," tambahnya.

Ratio gini menggambarkan tingkat ketimpangan pengeluaran masyarakat yang nilainya berada pada rentang 0-1. Semakin tinggi ratio gini menunjukkan semakin tinggi tingkat ketimpangan pengeluaran di masyarakat atau sederhana ketimpangan orang kaya dan orang miskin kian lebar. 

Dalam laporannya, BPS juga dirinci menurut wilayah, tingkat ketimpangan meningkat tajam di perkotaan. Namun, di pedesaan tingkat ketimpangan tidak mengalami perubahan

"Gini Ratio di perkotaan pada Maret 2023 tercatat sebesar 0,409; naik dibanding Gini Ratio September 2022 yang sebesar 0,402 dan Gini Ratio Maret 2022 yang sebesar 0,403," sebutnya.

"Gini Ratio di pedesaan pada Maret 2023 tercatat sebesar 0,313; tidak berubah dibanding Gini Ratio September 2022 dan turun jika dibandingkan Gini Ratio Maret 2022 yang sebesar 0,314," tambah BPS.

Sementara berdasarkan ukuran ketimpangan Bank Dunia, distribusi pengeluaran pada kelompok penduduk 40 persen terbawah adalah sebesar 18,04 persen. Hal ini berarti pengeluaran penduduk pada Maret 2023 berada pada kategori tingkat ketimpangan rendah. 

"Jika dirinci berdasarkan daerah, di perkotaan angkanya tercatat sebesar 16,99 persen yang berarti tergolong pada kategori ketimpangan sedang. Sementara untuk di pedesaan, angkanya tercatat sebesar 21,18 persen, yang berarti tergolong pada kategori ketimpangan rendah," pungkasnya.

]]>
Jurang Ketimpangan Orang Kaya dan Miskin di Indonesia Makin Lebar

Berita Baru, Jakarta - Dalam catatan Badan Pusat Statistik (BPS), tingkat ketimpangan pengeluaran masyarakat Indonesia atau gini ratio pada Maret 2023 tercatat semakin lebar atau meningkat. 

"Pada Maret 2023, tingkat ketimpangan pengeluaran penduduk Indonesia yang diukur menggunakan Gini Ratio adalah sebesar 0,388," demikian tulis BPS dalam rilisnya, Senin (17/7).

"Angka ini meningkat 0,007 poin jika dibandingkan dengan Gini Ratio September 2022 yang sebesar 0,381 dan meningkat 0,004 poin jika dibandingkan dengan Gini Ratio Maret 2022 yang sebesar 0,384," tambahnya.

Ratio gini menggambarkan tingkat ketimpangan pengeluaran masyarakat yang nilainya berada pada rentang 0-1. Semakin tinggi ratio gini menunjukkan semakin tinggi tingkat ketimpangan pengeluaran di masyarakat atau sederhana ketimpangan orang kaya dan orang miskin kian lebar. 

Dalam laporannya, BPS juga dirinci menurut wilayah, tingkat ketimpangan meningkat tajam di perkotaan. Namun, di pedesaan tingkat ketimpangan tidak mengalami perubahan

"Gini Ratio di perkotaan pada Maret 2023 tercatat sebesar 0,409; naik dibanding Gini Ratio September 2022 yang sebesar 0,402 dan Gini Ratio Maret 2022 yang sebesar 0,403," sebutnya.

"Gini Ratio di pedesaan pada Maret 2023 tercatat sebesar 0,313; tidak berubah dibanding Gini Ratio September 2022 dan turun jika dibandingkan Gini Ratio Maret 2022 yang sebesar 0,314," tambah BPS.

Sementara berdasarkan ukuran ketimpangan Bank Dunia, distribusi pengeluaran pada kelompok penduduk 40 persen terbawah adalah sebesar 18,04 persen. Hal ini berarti pengeluaran penduduk pada Maret 2023 berada pada kategori tingkat ketimpangan rendah. 

"Jika dirinci berdasarkan daerah, di perkotaan angkanya tercatat sebesar 16,99 persen yang berarti tergolong pada kategori ketimpangan sedang. Sementara untuk di pedesaan, angkanya tercatat sebesar 21,18 persen, yang berarti tergolong pada kategori ketimpangan rendah," pungkasnya.

]]>
https://beritabaru.co/wp-content/uploads/2023/07/IMG_20230717_151956-300x200.jpg
Atasi Stok Langka, Kemendag Minta Orang Kaya Tak Beli Minyakita https://beritabaru.co/atasi-stok-langka-kemendag-minta-orang-kaya-tak-beli-minyakita/ https://beritabaru.co/atasi-stok-langka-kemendag-minta-orang-kaya-tak-beli-minyakita/#respond Sat, 18 Feb 2023 05:47:59 +0000 https://beritabaru.co/?p=152286 Kemendag Minyakita

Berita Baru, Jakarta - Pemerintah melalui Kementerian Perdagangan (Kemendag) meminta masyarakat mampu tak membeli Minyakita. Pasalnya minyak goreng kemasan itu lebih diperuntukkan untuk masyarakat menengah.

Staf Khusus Menteri Perdagangan Bidang Hubungan Antar Lembaga Syailendra mengatakan Minyakita diperuntukkan bagi masyarakat menengah ke bawah. Karena itu, minyak goreng tersebut diutamakan tersedia di pasar tradisional.

"Masyarakat menengah ke atas yang sudah biasa beli (minyak goreng) premium, ya sudah jangan pindah dulu (ke Minyakita). Sebaiknya mereka nggak usah pindah kan mampu beli (minyak premium)," kata Syailendra, Jumat (17/2).

Menurut Syailendra jika masyarakat mampu membeli Minyakita, maka stoknya akan berkurang untuk masyarakat menengah ke bawah.

"Kalau (masyarakat) menengah ke atasnya banyak, walaupun (beli) 1-2 liter kan jadi banyak juga," ujarnya.

Minyakita mendadak langka di sejumlah daerah sejak akhir Januari lalu. Kalaupun ada, harga jual dari pedagang melonjak di atas harga eceran tinggi (HET) Rp14 ribu per liter.

Menteri Perdagangan Zulkifli Hasan atau Zulhas pun kemudian membeberkan sejumlah alasan kenapa Minyakita langka di pasaran. Salah satu, program biodiesel B35 yang meningkatkan penggunaan CPO yang merupakan bahan baku minyak goreng.

Dalam program B35, pemerintah akan meningkatkan persentase campuran bahan bakar bakar nabati ke dalam BBM jenis solar dari 20 persen pada B20, menjadi 35 persen.

"B20 menyedot CPO 9 juta, begitu berubah jadi B35 tambah 4 juta, jadi 13 juta disedot," ujar Zulhas di Hotel Shangri-La Jakarta, Senin (30/1).

Selain itu, ia mengatakan kelangkaan Minyakita juga dipicu aksi serbu masyarakat karena kualitasnya premium tetapi harganya murah. Kemudian, Minyakita juga mudah ditemukan di mana saja.

"Jadi semua ibu-ibu carinya Minyakita. Padahal jatahnya 300 ribu ton per bulan. Tentu di pasar jadi kurang," ujar Zulhas.

]]>
Kemendag Minyakita

Berita Baru, Jakarta - Pemerintah melalui Kementerian Perdagangan (Kemendag) meminta masyarakat mampu tak membeli Minyakita. Pasalnya minyak goreng kemasan itu lebih diperuntukkan untuk masyarakat menengah.

Staf Khusus Menteri Perdagangan Bidang Hubungan Antar Lembaga Syailendra mengatakan Minyakita diperuntukkan bagi masyarakat menengah ke bawah. Karena itu, minyak goreng tersebut diutamakan tersedia di pasar tradisional.

"Masyarakat menengah ke atas yang sudah biasa beli (minyak goreng) premium, ya sudah jangan pindah dulu (ke Minyakita). Sebaiknya mereka nggak usah pindah kan mampu beli (minyak premium)," kata Syailendra, Jumat (17/2).

Menurut Syailendra jika masyarakat mampu membeli Minyakita, maka stoknya akan berkurang untuk masyarakat menengah ke bawah.

"Kalau (masyarakat) menengah ke atasnya banyak, walaupun (beli) 1-2 liter kan jadi banyak juga," ujarnya.

Minyakita mendadak langka di sejumlah daerah sejak akhir Januari lalu. Kalaupun ada, harga jual dari pedagang melonjak di atas harga eceran tinggi (HET) Rp14 ribu per liter.

Menteri Perdagangan Zulkifli Hasan atau Zulhas pun kemudian membeberkan sejumlah alasan kenapa Minyakita langka di pasaran. Salah satu, program biodiesel B35 yang meningkatkan penggunaan CPO yang merupakan bahan baku minyak goreng.

Dalam program B35, pemerintah akan meningkatkan persentase campuran bahan bakar bakar nabati ke dalam BBM jenis solar dari 20 persen pada B20, menjadi 35 persen.

"B20 menyedot CPO 9 juta, begitu berubah jadi B35 tambah 4 juta, jadi 13 juta disedot," ujar Zulhas di Hotel Shangri-La Jakarta, Senin (30/1).

Selain itu, ia mengatakan kelangkaan Minyakita juga dipicu aksi serbu masyarakat karena kualitasnya premium tetapi harganya murah. Kemudian, Minyakita juga mudah ditemukan di mana saja.

"Jadi semua ibu-ibu carinya Minyakita. Padahal jatahnya 300 ribu ton per bulan. Tentu di pasar jadi kurang," ujar Zulhas.

]]>
https://beritabaru.co/atasi-stok-langka-kemendag-minta-orang-kaya-tak-beli-minyakita/feed/ 0 https://beritabaru.co/wp-content/uploads/2023/02/IMG_20230210_163525-300x163.jpg
The PRAKARSA Dorong Indonesia Terapkan Wealth tax untuk Pemulihan Pandemi https://beritabaru.co/the-prakarsa-dorong-indonesia-terapkan-wealth-tax-untuk-pemulihan-pandemi/ https://beritabaru.co/the-prakarsa-dorong-indonesia-terapkan-wealth-tax-untuk-pemulihan-pandemi/#respond Thu, 29 Apr 2021 21:10:08 +0000 https://beritabaru.co/?p=71200 The PRAKARSA Dorong Indonesia Terapkan Wealth tax untuk Pemulihan Pandemi

Berita Baru, Jakarta - The PRAKARSA melihat pandemi COVID-19 telah mengakibatkan krisis multidimensi di seluruh dunia, baik di negara kaya ataupun miskin hingga menyebebkan ketimpangan sosial-ekonomi semakin melebar. Rendahnya kapasitas fiskal pemerintah menghambat upaya penanganan COVID-19 dan pemulihan kondisi sosial-ekonomi.

“Salah satu langkah dari banyak negara adalah menambah utangnya. Pada akhir 2021, utang publik negara maju diperkirakan akan naik sebesar 20 persen dari PDB, sementara negara berkembang akan naik sebesar 10 persen dari PDB,” kata Ah Maftuchan, Direktur Eksekutif The PRAKARSA dalam siaran persnya, Rabu (28/4).

The Prakarsa mengusulkan, selain menambah utang, pemerintah perlu menggali sumber pendapatan perpajakan. Salah satu strategi yang dapat dipilih dengan melakukan mobilisasi sumber daya domestik dengan menerapkan wealth tax (pajak kekayaan) kepada kelompok superkaya di tanah air.

“Wealth tax sebenarnya bukanlah hal yang baru namun semakin menemukan relevansinya di tengah pandemi. Organisasi internasional seperti OECD dan IMF mendukung penerapan ide ini. Bahkan ide wealth tax juga didukung oleh kalangan miliader di negara maju dan berkembang yang tergabung dalam organisasi Millionaires for Humanity,” terangnya.

Maftuchan mengungkapkan bahwa dalam surat petisi yang dikirim Millionaires for Humanity, sejumlah miliarder sudah menyatakan bersedia membantu negaranya dalam penanganan COVID-19 dan pemulihan ekonomi melalui pembayaran pajak kekayaannya.

Selain itu, menurutnya, kurangnya sumber daya pemerintah untuk mencapai SDGs tidak dapat dipenuhi hanya melalui filantropi, namun harus dengan mobilisasi sumber pajak baru salah satunya adalah melalui penerapan wealth tax.

“Sebanyak 150 miliarder dari seluruh dunia telah menandatangani petisi penerapan wealth tax. Petisi ini juga didukung oleh dua ekonom ternama dunia seperti Jeffrey Sachs dan Gabriel Zucman,” jelasnya.

Direktur Eksekutif The Prakarsa melihat pandemi sebagai momentum yang tepat untuk mengubah sistem perpajakan secara fundamental. Pajak harus dikembalikan sebagai sumber dan alat redistribusi kekayaan bangsa secara adil dan merata.

Penerapan wealth tax kepada miliader, terangnya, sangat tepat agar pemerintah memiliki tambahan dana untuk menjalankan program jaminan sosial, bantuan tunai dan program pemulihan ekonomi rakyat dari dampak Covid-19.

"Di Indonesia, polling dilakukan oleh Glocalities dan Millionaires for Humanity telah mewawancarai 1051 masyarakat sebagai responden. Hasilnya, sebanyak 79 persen responden mendukung penerapan wealth tax di Indonesia dimana orang yang memiliki lebih dari 140 miliar rupiah harus membayar pajak tahunan tambahan sebesar 1 persen," tandas Ah Maftuchan.

Lebih lanjut the Prakarsa menyatakan, hanya 4 persen responden yang menolak gagasan tersebut. Hasil polling ini menegaskan dukungan yang tinggi terhadap kebijakan redistribusi kekayaan melalui penerapan wealth tax.

"Responden meyakini wealth tax penting untuk membantu mendanai pemulihan ekonomi dan membantu masyarakat yang terdampak Covid-19," ungkapnya.

Maftuchan juga mengatakan Semenjak virus Covid-19 masuk di Indonesia pada Maret 2020, penerimaan pajak Indonesia menurun secara signifikan. Penurunan penerimaan negara terjadi karena berkurangnya aktivitas ekonomi sebagai akibat dari regulasi nasional maupun internasional terkait penanganan virus tersebut.

Disisi lain, terangnya, belanja negara meningkat cukup signifikan untuk membiayai program kesehatan, social safety net dan juga pemulihanan ekonomi nasional. Akibatnya, defisit APBN pada 2020 meningkat hingga mencapai lebih dari 6 persen terhadap produk domestik bruto (PDB).

“Sekarang adalah saatnya Presiden Jokowi melihat pajak kekayaan sebagai suatu langkah yang konkret sebagai sumber pendapatan negara untuk pembiyaan pemulihan pandemi. Saya yakin bahwa orang superkaya masih punya komitmen untuk membayar lebih sebagai bagian dari budaya gotong royong," tukasnya.

Maftuchan, yang juga menjabat sebagai Koordinator Forum Pajak Berkeadilan Indonesia dan Co-Coordinator Tax and Fiscal Justice Asia (TAFJA) menyarankan supaya warga superkaya yang total kekayaan bersih lebih dari 140 miliar rupiah setahun dapat disasar dengan membayar pajak kekayaan 1 persen dari total hartanya. (MKR)

]]>
The PRAKARSA Dorong Indonesia Terapkan Wealth tax untuk Pemulihan Pandemi

Berita Baru, Jakarta - The PRAKARSA melihat pandemi COVID-19 telah mengakibatkan krisis multidimensi di seluruh dunia, baik di negara kaya ataupun miskin hingga menyebebkan ketimpangan sosial-ekonomi semakin melebar. Rendahnya kapasitas fiskal pemerintah menghambat upaya penanganan COVID-19 dan pemulihan kondisi sosial-ekonomi.

“Salah satu langkah dari banyak negara adalah menambah utangnya. Pada akhir 2021, utang publik negara maju diperkirakan akan naik sebesar 20 persen dari PDB, sementara negara berkembang akan naik sebesar 10 persen dari PDB,” kata Ah Maftuchan, Direktur Eksekutif The PRAKARSA dalam siaran persnya, Rabu (28/4).

The Prakarsa mengusulkan, selain menambah utang, pemerintah perlu menggali sumber pendapatan perpajakan. Salah satu strategi yang dapat dipilih dengan melakukan mobilisasi sumber daya domestik dengan menerapkan wealth tax (pajak kekayaan) kepada kelompok superkaya di tanah air.

“Wealth tax sebenarnya bukanlah hal yang baru namun semakin menemukan relevansinya di tengah pandemi. Organisasi internasional seperti OECD dan IMF mendukung penerapan ide ini. Bahkan ide wealth tax juga didukung oleh kalangan miliader di negara maju dan berkembang yang tergabung dalam organisasi Millionaires for Humanity,” terangnya.

Maftuchan mengungkapkan bahwa dalam surat petisi yang dikirim Millionaires for Humanity, sejumlah miliarder sudah menyatakan bersedia membantu negaranya dalam penanganan COVID-19 dan pemulihan ekonomi melalui pembayaran pajak kekayaannya.

Selain itu, menurutnya, kurangnya sumber daya pemerintah untuk mencapai SDGs tidak dapat dipenuhi hanya melalui filantropi, namun harus dengan mobilisasi sumber pajak baru salah satunya adalah melalui penerapan wealth tax.

“Sebanyak 150 miliarder dari seluruh dunia telah menandatangani petisi penerapan wealth tax. Petisi ini juga didukung oleh dua ekonom ternama dunia seperti Jeffrey Sachs dan Gabriel Zucman,” jelasnya.

Direktur Eksekutif The Prakarsa melihat pandemi sebagai momentum yang tepat untuk mengubah sistem perpajakan secara fundamental. Pajak harus dikembalikan sebagai sumber dan alat redistribusi kekayaan bangsa secara adil dan merata.

Penerapan wealth tax kepada miliader, terangnya, sangat tepat agar pemerintah memiliki tambahan dana untuk menjalankan program jaminan sosial, bantuan tunai dan program pemulihan ekonomi rakyat dari dampak Covid-19.

"Di Indonesia, polling dilakukan oleh Glocalities dan Millionaires for Humanity telah mewawancarai 1051 masyarakat sebagai responden. Hasilnya, sebanyak 79 persen responden mendukung penerapan wealth tax di Indonesia dimana orang yang memiliki lebih dari 140 miliar rupiah harus membayar pajak tahunan tambahan sebesar 1 persen," tandas Ah Maftuchan.

Lebih lanjut the Prakarsa menyatakan, hanya 4 persen responden yang menolak gagasan tersebut. Hasil polling ini menegaskan dukungan yang tinggi terhadap kebijakan redistribusi kekayaan melalui penerapan wealth tax.

"Responden meyakini wealth tax penting untuk membantu mendanai pemulihan ekonomi dan membantu masyarakat yang terdampak Covid-19," ungkapnya.

Maftuchan juga mengatakan Semenjak virus Covid-19 masuk di Indonesia pada Maret 2020, penerimaan pajak Indonesia menurun secara signifikan. Penurunan penerimaan negara terjadi karena berkurangnya aktivitas ekonomi sebagai akibat dari regulasi nasional maupun internasional terkait penanganan virus tersebut.

Disisi lain, terangnya, belanja negara meningkat cukup signifikan untuk membiayai program kesehatan, social safety net dan juga pemulihanan ekonomi nasional. Akibatnya, defisit APBN pada 2020 meningkat hingga mencapai lebih dari 6 persen terhadap produk domestik bruto (PDB).

“Sekarang adalah saatnya Presiden Jokowi melihat pajak kekayaan sebagai suatu langkah yang konkret sebagai sumber pendapatan negara untuk pembiyaan pemulihan pandemi. Saya yakin bahwa orang superkaya masih punya komitmen untuk membayar lebih sebagai bagian dari budaya gotong royong," tukasnya.

Maftuchan, yang juga menjabat sebagai Koordinator Forum Pajak Berkeadilan Indonesia dan Co-Coordinator Tax and Fiscal Justice Asia (TAFJA) menyarankan supaya warga superkaya yang total kekayaan bersih lebih dari 140 miliar rupiah setahun dapat disasar dengan membayar pajak kekayaan 1 persen dari total hartanya. (MKR)

]]>
https://beritabaru.co/the-prakarsa-dorong-indonesia-terapkan-wealth-tax-untuk-pemulihan-pandemi/feed/ 0 https://beritabaru.co/wp-content/uploads/2021/04/IMG_20210430_040450-300x200.jpg
Orang Kaya Cenderung Menaati Prokes Ketimbang Golongan Menengah https://beritabaru.co/orang-kaya-cenderung-menaati-prokes-ketimbang-golongan-menengah/ https://beritabaru.co/orang-kaya-cenderung-menaati-prokes-ketimbang-golongan-menengah/#respond Sun, 24 Jan 2021 04:24:00 +0000 https://beritabaru.co/?p=55901 Prokes

Berita Baru , Amerika Serikat –  Kelompok orang kaya ternyata 54 persen lebih cenderung mengikuti aturan prokes (protokol kesehatan) daripada mereka yang berpenghasilan £ 10.000 (180 juta) setahun atau kurang.

Dilansir dari Dailymail.co.uk , Peneliti dari AS mensurvei lebih dari 1.000 orang dewasa di California, Florida, New York dan Texas tentang tindakan prokes yang telah mereka ambil untuk melindungi dari COVID-19.

Jajak pendapat tersebut merupakan bagian dari studi yang lebih besar yang mengeksplorasi tanggapan terhadap pandemi di enam negara: AS, Inggris, China, Italia, Jepang, dan Korea.

Tim menyimpulkan bahwa mereka yang berpenghasilan lebih tinggi lebih mungkin untuk mengambil langkah melawan virus, seperti menjaga jarak, mengenakan masker dan bekerja dari rumah.

Mereka yang berpenghasilan rendah dapat merasa lebih sulit untuk melakukan banyak dari tindakan ini, kata tim. Misalnya, mereka mungkin karena memiliki pekerjaan yang tidak dapat dilakukan dari rumah.

Para peneliti mengatakan mereka berharap pihak berwenang dapat menggunakan temuan mereka untuk memprediksi penyebaran penyakit pandemi dengan lebih baik dan menyempurnakan peraturan yang sesuai.

"Kami perlu memahami perbedaan-perbedaan ini," kata penulis makalah dan ekonom Nicholas Papageorge dari Universitas Johns Hopkins di Baltimore, Pada Jumat (15/01).

“ Pembuat kebijakan hanya perlu mengenali siapa yang akan melakukan jarak sosial, untuk berapa lama, mengapa dan dalam keadaan apa untuk memberi kami prediksi yang akurat tentang bagaimana penyakit akan menyebar dan membantu kami menetapkan kebijakan yang akan berguna.”

Dari mereka yang disurvei dalam studi tersebut, sebagian besar melaporkan mengubah perilaku mereka untuk melindungi diri mereka sendiri dan orang lain, tetapi mereka yang memiliki uang paling banyak ternyata membuat perubahan paling banyak.

Tim menemukan bahwa, dibandingkan dengan rata-rata orang, golongan penghasilan seperlima teratas, yang bersama-sama memiliki pendapatan tahunan rata-rata sekitar £ 172.000 (330 Juta Rupiah), 32 persen lebih mungkin meningkatkan jarak sosial yang mereka miliki dengan orang lain.

Demikian pula, mereka 30 persen lebih mungkin memakai masker wajah dan meningkatkan frekuensi mencuci tangan sebagai respons terhadap pandemi.

Lebih mudah bagi mereka yang berpenghasilan lebih tinggi untuk menyesuaikan perilaku mereka dengan krisis kesehatan masyarakat, kata para peneliti, karena mereka lebih cenderung memiliki pekerjaan kerah putih atau manajemen senior di mana mereka dapat bekerja dari rumah, misalnya.

Orang dewasa yang lebih miskin mungkin juga tinggal di kontrakan misalnya tanpa akses ke taman, atau di pusat kota dengan sedikit akses ke ruang hijau, di mana mereka dapat mengisolasi. Sementara pekerjaan mereka di pabrik, toko atau lokasi bangunan mungkin memaksa mereka untuk dekat dengan orang lain.

Tim menemukan bahwa mereka yang bekerja dari rumah 24 persen lebih mungkin untuk mengikuti aturan, sementara mereka yang memiliki kebun dirumah mungkin hanya 20 persen lebih mungkin untuk mengikuti prokes.

“ Tidak mengherankan bahwa jika Anda tidak tinggal di rumah yang nyaman, Anda akan lebih sering meninggalkan rumah,” Profesor Papageorge menambahkan.

" Tapi hal yang ingin kami dorong adalah jika saya pembuat kebijakan mungkin saya benar-benar perlu memikirkan tentang membuka taman kota di lingkungan yang padat selama pandemi."

“ Mungkin itu sesuatu yang sepadan dengan risikonya. Inilah mengapa kami ingin memahami detail ini, mereka pada akhirnya dapat menyarankan kebijakan.”

Penelitian tersebut juga menemukan bahwa perempuan 23 persen lebih mungkin dibandingkan laki-laki untuk jarak sosial, tetapi mereka yang memiliki kondisi kesehatan yang sudah ada sebelumnya, secara mengejutkan, tidak lebih atau kurang mungkin untuk mengambil tindakan perlindungan diri.

]]>
Prokes

Berita Baru , Amerika Serikat –  Kelompok orang kaya ternyata 54 persen lebih cenderung mengikuti aturan prokes (protokol kesehatan) daripada mereka yang berpenghasilan £ 10.000 (180 juta) setahun atau kurang.

Dilansir dari Dailymail.co.uk , Peneliti dari AS mensurvei lebih dari 1.000 orang dewasa di California, Florida, New York dan Texas tentang tindakan prokes yang telah mereka ambil untuk melindungi dari COVID-19.

Jajak pendapat tersebut merupakan bagian dari studi yang lebih besar yang mengeksplorasi tanggapan terhadap pandemi di enam negara: AS, Inggris, China, Italia, Jepang, dan Korea.

Tim menyimpulkan bahwa mereka yang berpenghasilan lebih tinggi lebih mungkin untuk mengambil langkah melawan virus, seperti menjaga jarak, mengenakan masker dan bekerja dari rumah.

Mereka yang berpenghasilan rendah dapat merasa lebih sulit untuk melakukan banyak dari tindakan ini, kata tim. Misalnya, mereka mungkin karena memiliki pekerjaan yang tidak dapat dilakukan dari rumah.

Para peneliti mengatakan mereka berharap pihak berwenang dapat menggunakan temuan mereka untuk memprediksi penyebaran penyakit pandemi dengan lebih baik dan menyempurnakan peraturan yang sesuai.

"Kami perlu memahami perbedaan-perbedaan ini," kata penulis makalah dan ekonom Nicholas Papageorge dari Universitas Johns Hopkins di Baltimore, Pada Jumat (15/01).

“ Pembuat kebijakan hanya perlu mengenali siapa yang akan melakukan jarak sosial, untuk berapa lama, mengapa dan dalam keadaan apa untuk memberi kami prediksi yang akurat tentang bagaimana penyakit akan menyebar dan membantu kami menetapkan kebijakan yang akan berguna.”

Dari mereka yang disurvei dalam studi tersebut, sebagian besar melaporkan mengubah perilaku mereka untuk melindungi diri mereka sendiri dan orang lain, tetapi mereka yang memiliki uang paling banyak ternyata membuat perubahan paling banyak.

Tim menemukan bahwa, dibandingkan dengan rata-rata orang, golongan penghasilan seperlima teratas, yang bersama-sama memiliki pendapatan tahunan rata-rata sekitar £ 172.000 (330 Juta Rupiah), 32 persen lebih mungkin meningkatkan jarak sosial yang mereka miliki dengan orang lain.

Demikian pula, mereka 30 persen lebih mungkin memakai masker wajah dan meningkatkan frekuensi mencuci tangan sebagai respons terhadap pandemi.

Lebih mudah bagi mereka yang berpenghasilan lebih tinggi untuk menyesuaikan perilaku mereka dengan krisis kesehatan masyarakat, kata para peneliti, karena mereka lebih cenderung memiliki pekerjaan kerah putih atau manajemen senior di mana mereka dapat bekerja dari rumah, misalnya.

Orang dewasa yang lebih miskin mungkin juga tinggal di kontrakan misalnya tanpa akses ke taman, atau di pusat kota dengan sedikit akses ke ruang hijau, di mana mereka dapat mengisolasi. Sementara pekerjaan mereka di pabrik, toko atau lokasi bangunan mungkin memaksa mereka untuk dekat dengan orang lain.

Tim menemukan bahwa mereka yang bekerja dari rumah 24 persen lebih mungkin untuk mengikuti aturan, sementara mereka yang memiliki kebun dirumah mungkin hanya 20 persen lebih mungkin untuk mengikuti prokes.

“ Tidak mengherankan bahwa jika Anda tidak tinggal di rumah yang nyaman, Anda akan lebih sering meninggalkan rumah,” Profesor Papageorge menambahkan.

" Tapi hal yang ingin kami dorong adalah jika saya pembuat kebijakan mungkin saya benar-benar perlu memikirkan tentang membuka taman kota di lingkungan yang padat selama pandemi."

“ Mungkin itu sesuatu yang sepadan dengan risikonya. Inilah mengapa kami ingin memahami detail ini, mereka pada akhirnya dapat menyarankan kebijakan.”

Penelitian tersebut juga menemukan bahwa perempuan 23 persen lebih mungkin dibandingkan laki-laki untuk jarak sosial, tetapi mereka yang memiliki kondisi kesehatan yang sudah ada sebelumnya, secara mengejutkan, tidak lebih atau kurang mungkin untuk mengambil tindakan perlindungan diri.

]]>
https://beritabaru.co/orang-kaya-cenderung-menaati-prokes-ketimbang-golongan-menengah/feed/ 0 https://beritabaru.co/wp-content/uploads/2021/01/orang-kaya222-300x200.png