Beritabaru.co Dapatkan aplikasi di Play Store

 Berita

 Network

 Partner

Sudah Pernah Terjadi, Pandemi Influenza 1918 Sekolah Masuk atau Libur?
(Foto: Florida Department of State Division of Library & Information Services)

Sudah Pernah Terjadi, Pandemi Influenza 1918 Sekolah Masuk atau Libur?



Berita Baru, Internasional – Fakta menunjukkan bahwa ini bukan kali pertama para pemimpin dunia harus berjuang dengan keputusan berat: apakah tetap membuka sekolah saat pandemi atau meliburkannya guna mencegah penularan lebih luas.

Pada tahun 1918, saat terjadi pandemi influenza, para pimpinan dunia sudah pernah melakoni kebimbangan tersebut, meski kondisi pandemi dan situasi global saat ini berbeda dengan 102 tahun yang lalu.

CNN menulis satu artikel berkaitan dengan persoalan tersebut. Pandemi yang dikenal dengan flu Spanyol tersebut menewaskan sekitar 5 juta orang di seluruh dunia, termasuk 675.000 orang Amerika, sebelum pandemi tersebut berakhir.

Namun ada yang menuliskan wabah flu Spanyol menewaskan 40-50 juta orang dalam 2 tahun, antara tahun 1918 dan 1920. Para peneliti dan sejarawan juga meyakini sepertiga penduduk dunia, yang saat itu berjumlah sekitar 1,8 miliar orang, terkena penyakit tersebut.

Bahkan hal ini diperkuat dengan riset jurnalis BBC World Service Fernando Duarte, yang menyebutkan flu Spanyol tercatat menewaskan lebih banyak orang dari pada Perang Dunia I. Perang Dunia I yakni perang global yang terpusat di Eropa, dimulai pada 28 Juli 1914 sampai 11 November 1918. Saat itu sejarah menyebutkan lebih dari 9 juta prajurit gugur.

Di AS, menurut sejarawan yang dikutip CNN, saat pandemi flu Spanyol, sebagian besar kota memang menutup operasional sekolah mereka, sementara, tiga wilayah lainnya memilih untuk tetap membuka yakni New York, Chicago dan New Haven.

Keputusan pejabat kesehatan di kota-kota tersebut sebagian besar didasarkan pada hipotesis dari para pejabat kesehatan masyarakat yang menyatakan bahwa siswa lebih aman dan lebih baik di sekolah ketimbang di rumah.

Bagaimanapun, saat itu memang bertepatan dengan terjadinya puncak Era Progresif, sehingga ada penekanan soal kebersihan di sekolah dan lebih banyak perawat untuk setiap siswa.

Era Progresif terjadi di AS pada periode 1890-1920-an, periode di mana aktivisme sosial dan reformasi politik meluas di seluruh AS.

New York memiliki hampir 1 juta anak sekolah pada tahun 1918 dan sekitar 75% dari mereka tinggal di rumah petak, dalam kondisi yang padat, dan seringkali tidak sehat. Hal ini terungkap dari sebuah artikel di tahun 2010 di Public Health Reports, jurnal resmi US Surgeon General dan US Public Health Service.

“Untuk siswa yang berasal dari distrik rumah petak, sekolah (lebih baik), karena di sekolah bisa menawarkan lingkungan yang bersih dan berventilasi baik di mana guru, perawat, dan dokter sudah berlatih – dan mendokumentasikan – pemeriksaan medis rutin yang menyeluruh,” sebut artikel tersebut.

“Kota itu [tanpa menyebutkan nama kotanya] adalah salah satu yang paling parah dan paling awal terkena flu,” kata Dr. Howard Markel, seorang sejarawan medis dan direktur Pusat Sejarah Kedokteran di Universitas Michigan. Dia adalah rekan dari penulis di artikel Public Health Reports, di tahun 2010 itu.

“(Anak-anak) meninggalkan rumah mereka yang seringkali tidak sehat menuju gedung sekolah yang besar, bersih, dan lapang, di mana selalu ada sistem pemeriksaan dan pemeriksaan yang diberlakukan,” kata komisaris kesehatan New York pada saat itu, Dr. Royal S. Copeland, kepada New York Times, saat-saat setelah pandemi memuncak di sana.

“Siswa tidak diizinkan berkumpul di luar sekolah dan harus segera melapor kepada guru mereka”, kata Copeland. Guru memeriksa siswa apakah ada tanda-tanda flu, dan siswa yang memiliki gejala pun langsung diisolasi.

Hal ini berbeda jika mereka, para siswa itu tetap berada di rumah tanpa pemeriksaan yang jelas.

Jika pelajar mengalami demam, seseorang dari departemen kesehatan akan membawa mereka pulang ke rumah, dan petugas kesehatan akan menilai apakah kondisinya sesuai untuk “isolasi dan perawatan,” menurut laporan tersebut. Jika tidak, mereka akan dikirim langsung ke rumah sakit.

“Departemen kesehatan mewajibkan keluarga dari anak-anak yang pulih di rumah untuk memiliki dokter keluarga atau menggunakan layanan dokter kesehatan masyarakat tanpa biaya,” kata artikel tersebut.

Alasan pemerintah di wilayah Chicago, kota terbesar di negara bagian AS, Illinois, untuk tetap membuka sekolah bagi 500.000 siswanya juga sama: sekolah tetap buka akan menjauhkan anak-anak dari jalanan dan jauh dari orang dewasa yang terinfeksi flu Spanyol.

Jika jarak sosial pun nanti membantu, itu akan menjadi lebih mudah. Tapi menurut pejabat kesehatan masyarakat, adanya fakta bahwa ketidakhadiran di sekolah melonjak selama pandemi tahun 1918, mungkin karena ada kekhawatiran adanya “fluphobia” yang membuat para orang tua melarang anaknya ke sekolah saat itu.

“Tingkat ketidakhadiran sangat tinggi, tidak masalah, karena sekolah buka,” kata Markel.

Menurut sebuah makalah tahun 1918 yang ditulis Departemen Kesehatan Chicago, salah satu bagian dari strategi Chicago adalah memastikan sirkulasi udara segar. Kamar sekolah menjadi terlalu panas selama musim dingin sehingga jendela dapat tetap terbuka sepanjang waktu.

Makalah tersebut menyimpulkan bahwa analisis data menunjukkan bahwa “keputusan untuk tetap membuka sekolah-sekolah di kota ini selama epidemi influenza baru-baru ini dapat dibenarkan.”

Di New York, Komisaris Kesehatan Copeland mengatakan kepada New York Times, bahwa “betapa jauh lebih baik jika anak-anak selalu di bawah pengawasan orang-orang yang memenuhi syarat daripada menutup sekolah.”

Markel, yang bersama peneliti lain meneliti data dan catatan sejarah dalam melihat tanggapan 43 kota terhadap pandemi 1918, tidak begitu yakin.

New York “tidak melakukan yang terburuk, tetapi juga tidak melakukan yang terbaik,” kata Markel, menambahkan bahwa strategi Chicago saat itu dalam mengatasi pandemi sedikit lebih baik.

Dia mengatakan dalam penelitian menunjukkan bahwa kota-kota yang menerapkan strategi karantina wilayah dan isolasi, penutupan sekolah dan larangan pertemuan umum mendapatkan hasil terbaik dalam mencegah pandemi.

“Kota-kota yang melakukan lebih dari satu” tindakan ini “memiliki hasil yang lebih baik. Penutupan sekolah adalah bagian dari kontribusi itu,” kata Markel.

Pakar kesehatan masyarakat, termasuk Markel, dengan cepat menunjukkan bahwa Covid-19 memang bukan influenza, yang merupakan penyakit terkenal pada tahun 1918.

Masih banyak yang harus dipelajari tentang novel coronavirus dan penyakit yang ditimbulkannya, yakni Covid-19 yang berasal dari Wuhan, China ini.

Menurut Markel, keputusan yang tepat hari ini, adalah penutupan sekolah.

“Lebih baik,” katanya, “lebih aman daripada menyesal.”