Sri Mulyani Wanti-wanti Ancaman Krisis Iklim Terhadap Keuangan Negara
Berita Baru, Jakarta – Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani menegaskan bahwa ancaman krisis iklim terhadap keuangan negara menjadi hal yang sangat serius.
Ani menjelaskan bahwa Indonesia dan dunia telah menghadapi setidaknya tiga krisis keuangan yang cukup berpengaruh.
Pertama, krisis moneter yang mengguncang Indonesia dan Asia Tenggara pada tahun 1997-1998, yang telah menjadi tonggak sejarah perekonomian tanah air. Kedua, krisis keuangan global yang terjadi pada tahun 2008-2009. Ketiga, krisis keuangan yang berakibat dari pandemi COVID-19 yang dimulai pada tahun 2019.
Menurut Menkeu, krisis yang dihadapi saat ini baru berkaitan dengan pandemi, namun belum termasuk krisis akibat perubahan iklim yang berpotensi memberikan dampak yang lebih besar lagi terhadap keuangan.
“Menghadapi krisis pandemi saja belum cukup, nantinya akan ada krisis akibat perubahan iklim yang dapat berdampak pada sektor keuangan,” ujar Ani dalam keterangannya yang dikutip Rabu (26/7/2023).
Untuk itu, peran para ahli keuangan sangat penting dalam menentukan langkah-langkah kebijakan yang tepat untuk mengatasi krisis ini.
Ani menegaskan bahwa salah satu ancaman utama di sektor keuangan adalah perubahan iklim. Sebagai sektor yang penting, keuangan harus memahami risiko yang timbul akibat perubahan iklim. Nilai aset bisa mengalami fluktuasi besar akibat dari perubahan iklim ini.
“Risiko tidak bisa diukur dengan angka desimal, tetapi hanya dua kemungkinan yaitu nol dan satu. Hari ini bisa menjadi satu, besok bisa menjadi nol, seperti sistem biner. Dan krisis ini berasal dari pemanasan global,” tambahnya.
Menkeu mengatakan bahwa pihaknya terus berdiskusi dengan para menteri keuangan dari negara-negara anggota G20 dan juga dengan gubernur bank sentral global mengenai ancaman krisis iklim. Berbagai upaya telah dipersiapkan untuk mengantisipasi dampak dari krisis iklim terhadap keuangan global.
Terdapat tiga contoh solusi yang sedang dipertimbangkan dunia. Pertama, upaya ekstrem dengan melarang penggunaan bahan bakar fosil. Kedua, mempertimbangkan penggunaan energi baru terbarukan (EBT). Ketiga, menghitung dampak kerusakan akibat krisis iklim terhadap keanekaragaman hayati.
Menkeu berpesan bahwa para profesional di bidang keuangan harus menjadi pihak yang proaktif dalam menjelaskan risiko-risiko yang terkait dengan perubahan iklim, sehingga pembuat kebijakan dapat menilai risiko tersebut dengan tepat. Jika tidak ada kesiapan dalam menghadapi krisis iklim, nilai aset bisa mengalami penurunan atau kenaikan yang tiba-tiba, kerusakan akan terjadi, dan akan ada korban yang terdampak.
Perayaan Milad ke-48 MUI di TMII, Jakarta Timur juga menjadi bagian dalam upaya memperkuat persatuan dan kesatuan bangsa dalam menghadapi tantangan krisis, termasuk krisis iklim, yang mengancam keuangan negara dan kesejahteraan masyarakat.