Beritabaru.co Dapatkan aplikasi di Play Store

 Berita

 Network

 Partner

SP3 Kasus Kekerasan Seksual Pegawai Kemenkop UKM Batal
Menko Polhukam, Mahfud MD (Tangkapan Layar)

SP3 Kasus Kekerasan Seksual Pegawai Kemenkop UKM Batal



Berita Baru, Jakarta – Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum dan Keamanan (Menko Polhukam) Mahfud MD memastikan Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3) kasus dugaan kekerasan seksual di lingkungan Kementerian Koperasi dan Usaha Kecil dan Menengah (Kemenkop UKM) batal.

Sebagai konsekuensinya, proses hukum terhadap empat tersangka berinisial N, MF, WH dan ZPA kembali berjalan. Keputusan tersebut diambil dari rapat gabungan yang digelar di Kantor Kemenko Polhukam hari ini, Senin (21/11/2022).

 Rapat itu dihadiri Pimpinan Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK), Kabareskrim, Kompolnas, Kejaksaan, Kemenkop-UKM, Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA).

“Memutuskan bahwa kasus perkosaan terhadap seorang pegawai di kantor Kementerian Koperasi dan Usaha Kecil dan Menengah yang korbannya bernama NDN dilanjutkan proses hukumnya dan dibatalkan SP3 nya,” ujar Mahfud dalam video rilisnya, Selasa (22/11/2022).

Kasus ini sempat berhenti karena mendapat SP3 atau surat perintah penghentian penyidikan dengan alasan laporan telah dicabut.

Mahfud menjelaskan alasan SP3 karena pencabutan laporan itu tidak benar secara hukum. Di dalam hukum, jelas dia, laporan tidak bisa dicabut. Sedangkan pengaduan dapat dicabut.

“Kalau laporan, polisi harus menilai, kalau tidak cukup bukti tanpa dicabut pun dihentikan perkaranya. Tapi kalau cukup bukti, meskipun yang melapor menyatakan mencabut, maka perkara harus diteruskan,” jelas Mahfud.

Hal itu berbeda dengan perkara berdasarkan pengaduan yang dapat ditutup apabila pihak pengadu mencabut aduannya.

Mahfud juga menyoroti alasan pengeluaran SP3 berdasarkan perdamaian antara pihak-pihak yang bersangkutan (restorative justice).

“Selain dibantah oleh korban dan keluarga korban, dan juga dibantah bahwa mereka telah memberi kuasa kepada seseorang untuk mencabut laporan yang itu pun tidak sah, maka restorative justice itu hanya berlaku untuk tindak pidana tertentu yang sifatnya ringan, misalnya delik aduan,” terang dia.

Mantan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) itu menegaskan bahwa tidak ada konsep restorative justice pada kejahatan yang serius. Karenanya, perkara tersebut harus terus dibawa ke pengadilan.

Mahfud mengklaim Mahkamah Agung (MA), Kejaksaan Agung, hingga Polri telah mendapat pedoman terkait hal tersebut.

“Tidak ada restorative justice di dalam kejahatan. Itu ada pedomannya di Mahkamah Agung, di Kejaksaan Agung, maupun di Polri sudah ada pedomannya, restorative justice itu bukan sembarang tindak pidana orang mau berdamai lalu ditutup kasusnya, gak bisa,” kata dia.