Beritabaru.co Dapatkan aplikasi di Play Store

 Berita

 Network

 Partner

TPPO
Ilustrasi TPPO (Foto: Istimewa)

Skandal ‘Ferienjob’: Eksploitasi Ribuan Mahasiswa dalam Kasus TPPO



Berita Baru, Jakarta – Kasus besar perdagangan orang yang melibatkan ribuan mahasiswa Indonesia menggemparkan masyarakat. Pada Mei lalu, sedikitnya 1.047 mahasiswa dari 33 kampus di seluruh Indonesia menjadi korban Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO) melalui program yang disebut “Ferienjob”. Program ini awalnya dijanjikan sebagai bagian dari Merdeka Belajar – Kampus Merdeka (MBKM) yang menawarkan pengalaman kerja di luar negeri. Namun, realitas yang dihadapi para mahasiswa ini jauh dari yang diharapkan.

Bareskrim Mabes Polri mengungkapkan bahwa program tersebut menjanjikan penempatan mahasiswa untuk belajar bahasa asing dan bekerja sesuai bidang studi yang akan dikonversi menjadi 21 SKS. Faktanya, mereka malah ditempatkan sebagai buruh di berbagai sektor seperti perusahaan logistik, kargo, restoran, sortir buah, pengelolaan sampah, dan bahkan kuli bangunan.

Para korban dipaksa pindah ke sedikitnya sembilan kota antara Oktober hingga Desember 2023, tanpa gaji dan harus membayar sendiri untuk mengurus paspor, visa, izin kerja, dan tiket pesawat dari Jakarta ke Berlin.

Sekjen Perhimpunan Bantuan Hukum dan HAM Indonesia (PBHI), Gina Sabrina, menyoroti bahwa “Ferienjob” mematahkan anggapan bahwa korban TPPO selalu berasal dari latar belakang ekonomi rendah dan berpendidikan rendah.

“Terakhir, kasus praktik pemagangan di Jerman, FerienJob, kalau masih ingat itu salah satu modus yang mematahkan analisa deretan kasus TPPO selama ini. Ferienjob mengeksploitasi mahasiswa bermodus magang, namun bekerja tidak sesuai keahlian pendidikan yang dimiliki. Menjerat semua kalangan akademisi perguruan tinggi. Kita perlu mewaspadai taktik dan strategi jaringan TPPO agar bisa diungkap dan diberantas,” jelasnya dalam diskusi publik bertajuk “Menuntut Hak atas Pemulihan Bagi Korban TPPO” yang digelar Rabu lalu (3/7/2024) lalu yang dikutip dari VOA.

Yang lebih memprihatinkan, 95% korban dalam kasus ini adalah perempuan. Data dari 982 aduan dan 1.361 tersangka pelaku yang ditangkap menunjukkan bahwa mayoritas korban TPPO sebelumnya adalah mereka yang hanya berpendidikan hingga tingkat SD, SMP, dan SMA.

Wahyu Susilo, Direktur Eksekutif Migrant Care, mengungkapkan bahwa minimnya lapangan kerja pasca pandemi Covid-19 dimanfaatkan oleh sindikat perdagangan orang untuk menjebak korban. “Kalau selama ini korban TPPO itu miskin, dari pedesaan, pendidikan rendah; kini korban berasal dari perkotaan, secara ekonomi bukan miskin, educated, lulusan sarjana dari kampus, dan lainnya. Ini ironi!,” ujar Wahyu.

Mabes Polri telah membentuk Satgas TPPO Polri pada Juni 2023 dan berhasil mengungkap ratusan kasus serta menangkap para pelaku. Namun, fokus utama masih pada penanganan hukum, belum ada upaya signifikan untuk memulihkan kondisi korban dan memberikan kompensasi.

Satgas TPPO Polri, Lembaga Perlindungan Saksi Korban (LPSK), dan berbagai organisasi masyarakat sipil terus berupaya mencari mekanisme terbaik untuk menggabungkan pemberantasan TPPO dengan pemenuhan hak korban. Tantangan ini memerlukan perubahan kebijakan dan penanganan yang lebih komprehensif agar masalah TPPO dapat diselesaikan secara tuntas.