Beritabaru.co Dapatkan aplikasi di Play Store

 Berita

 Network

 Partner

Sikap Keras Fraksi PKB dalam Rapat Paripurna Terkait Naiknya Harga BBM

Sikap Keras Fraksi PKB dalam Rapat Paripurna Terkait Naiknya Harga BBM



Berita Baru, Jakarta – Anggota Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI) Fraksi Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) menyampaikan interupsi yang cukup keras terkait kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM) bersubsidi dan non subsidi dalam forum Rapat Paripurna ke-4, Selasa (6/9).

Anggota Komisi VII DPR RI Fraksi PKB Ratna Juwita Sari menegaskan bahwa kenaikan BBM bersubsidi dan non subsidi diputuskan secara sepihak karena belum dibahas formal dari institusi dengan legislatif.

“Akhirnya setelah banyak sekali dinamika di lapangan masyarakat harus mendapatkan pil pahit pada di tanggal 3 September 2022 dengan mendengarkan pengumuman kenaikan harga BBM bersubsidi dan nonsubsidi yang sekali lagi kami tegaskan ini belum melalui pembicaraan secara formal dari institusi kepada kami selaku legislatif. Ini yang harus digarisbawahi dan diketahui oleh masyarakat di seluruh Indonesia,” kata Ratna Juwita, pada Paripurna agenda pengambilan keputusan soal RUU tentang Pertanggungjawaban atas Pelaksanaan APBN Tahun Anggaran 2021 itu.

Pada kesempatan itu Ia kemudian mempertanyakan terkait persiapan pemerintah dalam memberikan bantuan sosial senilai 27,17 triliun untuk mengurangi beban ekonomi akibat naiknya harga BBM dan menjaga daya beli masyarakat yang baru saja pulih dari dampak pandemi COVID-19.

“Ini apakah memang sudah betul-betul mencukupi sesuai apa yang hari ini butuhkan untuk menjaga daya beli masyarakat yang saat ini baru saja pulih. Jangan sampai ibu ketua (Ketua DPR, Puan Maharani. red), isu kenaikan BBM ini digunakan oleh pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab untuk mendelegitimasi pemerintah yang telah melakukan effort, luar biasa kerja keras untuk keluar dari pandemi COVID-19,” urainya.

“Sehingga kami dari Fraksi PKB berpendapat bahwa ini adalah momentum yang tepat untuk mulai merubah arah prioritas kebijakan dari Negara Kesatuan Republik Indonesia. Mau kemana kita tentang ketahanan dan kedaulatan energi. Padahal kita memiliki resources yang luar biasa baik itu energi fosil maupun energi baru dan terbarukan,” tuturnya.

Lebih lanjut, Ratna juga mempertanyakan terkait seberapa besar komitmen Presiden Jokowi dengan menggerakkan seluruh entitas yang dimiliki untuk bisa mewujudkan target lifting 1 juta barel per hari, meraih 23 persen bauran energi baru terbarukan di 2025, serta komitmen Indonesia untuk mewujudkan target net zero emission (NZE) di tahun 2060 mendatang.

“Jadi kami mohon agar hal ini benar-benar dilakukan pengkajian ulang agar dapat memenuhi kebutuhan masyarakat terkait energi secara berkeadilan dan berkelanjutan sesuai amanat Konstitusi Pasal 23 UUD 1945. Kami berharap ibu ketua segala macam BLT BBM, bantuan untuk pekerja, dan perintah kepada pemerintah daerah 2 persen dana transfer umum sebesar 2,17 triliun ini bisa segera dibuat skema yang baik, distribusi yang baik agar tepat sasaran dan bisa diakses oleh seluruh masyarakat se Indonesia yang benar benar membutuhkan,” tegasnya.

Sementara itu, Anggota DPR RI Fraksi PKB lainnya, Luluk Nur Hamidah melihat kenaikan harga BBM akan melahirkan dan menaikkan inflasi yang sangat tinggi sehingga berdampak terhadap hampir semua sektor kehidupan. Ini bukan hanya sekedar tentang transportasi, tetang emisi, tentang kedaulatan energi.

“Tetapi mari kita bayangkan dengan naiknya harga-harga pangan yang melambung. Bagaimana dengan penderitaan ibu-ibu yang selama ini sudah menjerit dengan harga yang selalu naik-turun tidak menentu. Beberapa waktu yang lalu saja, ada perempuan atau ibu-ibu yang meninggal dunia karena antri minyak goreng. Kita tidak bisa perkirakan situasi kebatinan keluarga-keluarga di Indonesia dengan adanya kenaikan BBM,” kata Luluk.

Menurutnya, setiap situasi yang tidak menentu dan ekonomi, apalagi di situasi kenaikan BBM saat ini, selalu berkolasi dengan tingginya kekerasan terhadap perempuan, kekerasan terhadap anak, dan juga angka perceraian yang sangat tinggi.

“Itu gak main-main. Itu artinya kenaikan BBM juga berkaitan secara langsung dari kemungkinan ancaman berhasilnya tujuan pembangunan berkelanjutan di semua tingkatan, salah satunya mengurangi angka kelaparan dan menghapuskan kemiskinan,” ujarnya.

Luluk mengungkap kesedihannya, karena petani Indonesia saat subsidi pupuk dikurangi, petani secara langsung akan berhadapan dengan harga pupuk yang meroket, selain itu dapat dipastikan harga pasar juga tidak bisa dikendali. 

“Belum lagi juga para nelayan. Saya uda ketemu para nelayan, seminggu yang lalu di Jawa Tengah, ratusan nelayan gak bisa melaut karena soal uda naik. Dari kuota 2,2 juta kiloliter, yang seharusnya diberikan kepada nelayan, pemerintah aja baru bisa memberikan 400 ribu kololiter. Bagaimana dengan kenaikan BBM ini dan harga subsidi yang dinaikkan,” katanya.

“Maka saya kira, pantas kalau kemudian secara pribadi ataupun sebagai bagian dari fraksi yang mencintai petani dan nelayan saya menolak kenaikan BBM khususnya BBM yang subsidi. Karena kita harus menyelamatkan hajat orang banyak, khususnya warga yang sangat rentan,” sambung Luluk.

Lebih lanjut ia menjelaskan pengalaman Indonesia saat menaikkan harga BBM di tahun 2013 dan 2014. Meski ada BLT secara langsung yang diterima kelompok rentan, tapi ternyata tidak bisa menghentikan kemiskinan. Ada sejumlah 480 ribu angka kemiskinan yang naik akibat BBM yang dinaikkan.

“Kita tidak tahu lagi berapa kemungkinan jumlah warga miskin yang justru akan naik di tengah situasi pandemi kita yang belum sepenuhnya benar-benar pulih, belum berdaya, dan punya ketahanan yang memang dibutuhkan untuk menghadapi situasi yang sangat sulit. Belum lagi ada ancaman tentang kerawanan pangan, kemudian juga ancaman kelaparan, krisis pangan yang berkali-kali disampaikan presiden,” katanya.

“Saya kira ibu, bahwa tugas politik dan tugas kepemimpinan ini adalah memastikan bahwa rakyat kita tidak menderita akibat kebijakan yang kita buat dan seyogyanya pemerintah benar-benar mengamankan fiskal dengan tidak mengambil haknya orang miskin, tidak mengambil haknya petani, tidak mengambil haknya nelayan, tidak mengambil haknya perempuan dan tidak mengambil kelompok rentan yang seharusnya dilindungi oleh negara,” pungkas Luluk.