Beritabaru.co Dapatkan aplikasi di Play Store

 Berita

 Network

 Partner

Statuta Roma
Natalius Pigai, Komisioner Komnas HAM RI, Aktivis Kemanusiaan Bersuara Untuk Kebenaran

Semua Kasus (Termasuk Novel) ke Internasional Terhalang Statuta Roma



“Semua Kasus (Termasuk Novel) ke Internasional Terhalang Statuta Roma. Hanya Bisa Melalui Proses Hukum Domestik (Kepolisian/TGPF)”

Oleh: Natalius Pigai
(Komsioner Komnas HAM 2012-2017/Aktivis Kemanusiaan)

Dalam tulisan ini saya mesti jelaskan secara jujur dan objektif, apakah semua kasusu hukum yang tidak bisa diselesaikan di dalam negeri dapat di bawa ke pengadilan internasional (International Tribunal Court)?, Jika tidak, lalu apa manfaat melaporkan ke lembaga atau negara lain? Ini bagi saya pertanyaan penting karena bangsa ini telah gagal membangun masyarakat melek hukum (non litigate society).

Sebagian masyarakat seringkali sumringah jika berbagai kasus domestik dilaporkan ke lembaga internasional atau negara lain. Mereka berharap akan mendapat keadilan. Hal tersebut sangat wajar, mengingat sistem peradilan di negara ini belum mampu berperan sejatinya.

Saya tidak ingin membatasi atau bahkan menguras daya juang dan militansi pihak-pihak yang menginginkan proses hukum yang adil atas berbagai kejahatan kemanusiaan di Indonesia, termasuk kasus Novel Baswedan. Oleh karena itu saya hanya memberi gambaran untuk melihat otoritas dan probabilitas guna mengadili berbagai kasus-kasus domestik.

Proses hukum domestik dilingkari juga oleh instrumen hukum dan peradilan internasional sebagai konsekuensi anggota Perserikatan Bangsa-Bangsa.

Sehubungan dengan hal tersebut, di bawah ini diuraikan kerangka hukum normatif yang berkenaan dengan unsur-unsur pelanggaran hak asasi manusia berat (elements of crimes), khususnya kejahatan terhadap kemanusiaan yang bisa diadili di pengadilan internasional.

Landasan hukum yang menjembatani para pencari keadilan untuk membawa berbagai kasus, termasuk HAM, ke Internasional adalah Statuta Roma. Lantas apakah statuta Roma bisa menjembatani berbagai kasus tersebut? Sebagai bahan pengetahuan umum tentu saja memberi gambaran.

Pasal 7 ayat (1) Statuta Roma menyatakan ‘kejahatan terhadap kemanusiaan’ adalah perbuatan yang dilakukan sebagai bagian dari serangan yang meluas atau sistematik yang ditujukan terhadap populasi sipil apapun, dengan pengetahuan mengenai serangan tersebut.

a) Salah satu perbuatannya yakni Setiap tindakan yang disebutkan dalam Pasal 9 merupakan kejahatan terhadap kemanusiaan. Tidak ada syarat yang mengharuskan adanya lebih dari satu tindak pidana yang dilakukan (misalnya : pembunuhan dan perkosaan), atau kombinasi dari tindak pidana-tindak pidana itu.

b) Yang dilakukan sebagai bagian dari serangan. Tindakan harus dilakukan sebagai bagian dari serangan. Misalnya, pembunuhan besar-besaran terhadap penduduk sipil dapat dianggap sebagai serangan terhadap seluruh populasi sipil. Sedangkan unsur-unsur dari “serangan” adalah: Tindakan baik secara sistematis atau meluas, yang dilakukan secara berganda (multiplicity commission of acts) yang dihasilkan atau merupakan bagian dari kebijakan Negara atau organisasi. “Tindakan berganda” berarti harus bukan tindakan yang tunggal atau terisolasi.

c) Meluas atau sistematis yang ditujukan kepada penduduk sipil. Syarat “meluas atau sistematis” ini adalah syarat yang fundamental untuk membedakan kejahatan ini dengan kejahatan umum lain yang bukan merupakan kejahatan internasional. Kata “meluas” menunjuk pada “jumlah korban”, dan konsep ini mencakup “massive”, sering atau berulang-ulang, tindakannya dalam skala yang besar, dilaksanakan secara kolektif dan berakibat serius.

d) Yang diketahuinya. Kata “yang diketahuinya” merupakan unsur mental (mens rea) dalam kejahatan ini. Pelaku harus melakukan kejahatan terhadap kemanusiaan dengan pengetahuan untuk melakukan serangan yang ditujukan secara langsung terhadap  penduduk sipil. 

Unsur-Unsur Perbuatan Kejahatan

Selanjutnya di bawah ini akan diuraikan mengenai unsur-unsur dari setiap perbuatan yang dikategorikan sebagai kejahatan terhadap kemanusiaan, yaitu: 

  1. Pembunuhan. Unsur dari pembunuhan adalah pelakunya membunuh satu orang atau lebih.
  2. Pemusnahan yaitu Pelakunya membunuh satu orang atau lebih.
  3. Perbudakan yaitu Unsur tindakan “perbudakan” adalah di mana pelakunya menggunakan kekuasaan melakukan kejahatan perbudakan telah mencakup perhambaan (servitude), kerja paksa dan kerja wajib (forced and compulsory labour).
  4. Pengusiran atau pemindahan penduduk, Pemindahan penduduk secara paksa.
  5. Perampasan kemerdekaan atau perampasan kebebasan fisik lain secara sewenang-wenang.
  6. Penyiksaan.
  7. Perkosaan.
  8. Sterilisasi secara paksa.
  9. Penganiayaan yaitu pelaku dengan kejam (severely) mencabut hak-hak fundamental dari satu orang atau lebih.
  10. Alasan politis, ras, bangsa, etnis, budaya, agama, jenis kelamin. Alasan politis” dapat diintepretasikan sebagai “alasan negara dan pemerintahan.
  11. Penangkapan orang secara paksa. Menangkap (arrested), menahan (detained) atau menculik (abducted) satu orang atau lebih.

Tidak Bisa Diadili di Internasional Tribunal Karen Belum Ratifikasi Statuta Roma

Kejahatan adalah tindakan yang dimusuhi umat manusia di dunia (Hostis Humanis Generis). Kejahatan terhadap kemanusiaan termasuk ke dalam yurisdiksi universal, di mana setiap pelaku kejahatan tersebut dapat diadili di negara manapun, tanpa memperdulikan tempat perbuatan dilakukan, maupun kewarganegaraan pelaku ataupun korban. Hal ini dimaksudkan untuk mewujudkan prinsip no safe haven (tidak ada tempat berlindung) bagi pelaku kejahatan yang digolongkan ke dalam hostis humanis generis (musuh seluruh umat manusia) ini. Perlu ditambahkan bahwa untuk kejahatan terhadap kemanusiaan sebagaimana kejahatan perang dan genosida tidak dikenal adanya kadaluwarsa.

Lantas bagaimana dengan kasus-kasus yang ada di Indonesia termasuk Novel Baswedan memenuhi unsur untuk diadili di pengadilan Internasioanl?. Soal unsur-unsur kejahatan bisa saja ada dan ditemukan apalagi dilakukan penyelidikan oleh lembaga-lembaga kredibel seperti Komnas HAM, bukan Amnesti Interbasional. Namun untuk membawa kasus-kasus tersebut ke dunia internasional khususnya pengadilan HAM sudah pasti tidak bisa karena terhalang oleh belum meratifikasinya statuta Roma. Namun demikian proses hukum domentik sebagaimana sedang berjalan masih terbuka asal semua orang ikut mengawasi dan kontrol akuntabilitas kinerja kepolisian dan TGPF.

Berdasarkan ketentuan sebagaimana diatur di dalam Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia, disebutkan bahwa pelanggaran hak asasi manusia yang berat meliputi: Kejahatan Genosida dan Kejahatan Terhadap Kemanusiaan dan Kejahatan Perang. Tujuan dari pengadilan internasional adalah untuk meminta pertanggungjawaban pidana individual (individual criminal responsibility) terhadap para pelaku.

Pada tahun 90-an dunia digegerkan dengan kejahatan kemanusian di Yogoslavia dan Rwanda. Kedua pengadilan tersebut (Yugoslavia/ICTY dan Rwanda/ICTR) menggunakan prinsip-prinsip  dasar yang berasal dari keputusan-keputusan Mahkamah Nuremberg, khususnya dalam hal pertanggungjawaban pidana secara individual. Walaupun keputusan-keputusan Mahkamah Nuremberg (dan juga Tokyo) tidak secara jelas menerangkan prinsip tersebut khususnya karena  tidak merinci tentang sejauh mana individu harus mempertanggungjawabkan tindak pidana yang dilakukan secara kolektif, sistematik dan  birokratik. Pertanggungjawaban secara individual ini telah menjadi doktrin hukum yang diterima secara internasional dengan disahkannya Code of Offences Against The Peace and Security of Mankind pada 1954 oleh PBB. Adapun prinsip-prinsip pertanggungjawaban individu sebagaimana diatur dalam Prinsip Nuremberg

  1. Setiap orang yang melakukan perbuatan yang merupakan kejahatan internasional bertanggung jawab atas perbuatannya dan harus dihukum.
  2. Jika hukum nasional tidak memberikan ancaman pidana atas perbuatan yang merupakan suatu kejahatan internasional, tidak berarti bahwa orang yang melakukan perbuatan itu terbebas dari tanggung jawab menurut hukum internasional.
  3. Kedudukan sebagai Kepala Negara atau Pejabat Pemerintah, tidak membebaskannya dari tanggung jawab menurut hukum internasional.
  4. Alasan karena perbuatannya itu dilakukan karena melaksanakan perintah atasannya atau pemerintahannya, tidaklah membebaskannya dari tanggung jawab menurut hukum internasional, asalkan saja pilihan moral bebas dimungkinkan olehnya.
  5. Setiap orang yang didakwa melakukan kejahatan internasional mempunyai hak untuk mendapatkan peradilan yang adil.
  6. Kejahatan-kejahatan tersebut di bawah ini dihukum menurut hukum internasional: kejahatan terhadap perdamaian; yang meliputi merencanakan, menyiapkan, memulai atau menggerakkan perang yang bersifat agresi yang melanggar perjanjian, persetujuan, atau jaminan internasional; turut serta dalam menyusun rencana umum atau berkonspirasi untuk melaksanakan perbuatan.

Terhalang Statuta Roma, Menghormati Proses Hukum Domestik

Perkembangan hukum internasional untuk memerangi kejahatan terhadap kemanusiaan mencapai puncaknya ketika pada tanggal 17 Juli 1998, Konferensi Diplomatik PBB mengesahkan Statuta Roma tentang Pendirian Mahkamah Pidana Internasional (Rome Statute on the Establishment of the International Criminal Court/ICC), yang akan mengadili pelaku kejahatan yang paling serius dan menjadi perhatian komunitas internasional, yaitu: Genocida, Kejahatan Kemanusiaan, Kejahatan Perang dan Kejahatan Agresi.

Dimasukkannya kejahatan terhadap kemanusiaan ke dalam Statuta yang merupakan perjanjian multilateral, mengokohkan konsep tersebut menjadi suatu treaty norm (norma yang didasarkan kepada suatu perjanjian internasional). Dari ketentuan dalam Statuta tersebut dapat dilihat  bahwa kejahatan terhadap kemanusiaan tidak saja terjadi pada masa perang atau konflik bersenjata tetapi juga dapat terjadi pada masa damai. Sedangkan pihak yang bertangung jawab atas kejahatan tersebut tidak terbatas kepada aparatur negara (state actor) saja, tetapi juga termasuk pihak yang bukan dari unsur negara (non-state actors). 

Laporan kepada PBB atau lembaga-lembaga internasional maupun negara-negara sahabat melalui kedutaan-kedutaan yang ada di Jakarta yang dilakukan oleh Amnesti internasional hanya untuk meyakinkan ke dunia Internsional itu sah saja.

Kampanye internasional hanya untuk dapat mendelegitimasi dari dunia internasional atas kredibilitas Pemerintah.

Sekali lagi, kasus Novel Baswedan atau kasus-kasus lain tidak bisa di adili di pengadilan Internasional karena pemerintah Indonesia belum pernah mengadopsi atau ratifikasi statuta Roma.

Pada masa yang akan datang, Pemerintah Indonesia diharapkan mengadopsi instrumen Statuta Roma yang menjadi salah satu rekomendasi pasca-Universal Periodic Review (UPR) Dewan HAM Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) di Jenewa, Swiss, 3-5 Mei 2017 lalu. Dengan mengadopsi Statuta Roma, maka Indonesia akan terikat pada agenda akuntabilitas keadilan global.

Jika pemerintah meratifikasi Statuta Roma, maka akan ada komitmen untuk memperbaiki kualitas access to justice dari ranah penegakan hukum, penuntutan, peradilan, hingga mereformasi peradilan yang tidak tersentuh oleh konsep akuntabilitas hukum pidana. Tujuan dari pembentukan Statuta Roma adalah untuk menjamin hadirnya aspek keadilan bagi korban.

Sistem pengadilan pidana internasional (International Criminal Court) yang diatur dalam Statuta Roma, mensyaratkan agar sistem hukum pidana di tingkat nasional dapat bekerja efektif dalam menghadirkan keadilan melalui jalur yudisial.

Kalau kita ratifikasi maka melalui ICC akan memainkan peran sebagai ‘the last resort’ harapan terakhir korban untuk mencari keadilan di tingkat internasional. Demikian pula dengan mengadopsi Statuta Roma akan menjamin kualitas penegakan hukum.

Selain itu, pada aspek Statuta Roma, beban pertanggungjawaban berada di level individual yang melakukan pokok-pokok kejahatan internasional bukan institusi.

Statuta Roma juga tidak akan digunakan untuk memproses kasus-kasus yang terjadi sebelum tahun 2002 atau sebelum ICC dibentuk seperti kasus-kasus HAM masa lalu yang kerap menjadi kecemasan negara juga badan keamanan untuk penghukuman individual’ bisa menyasar pada kasus-kasus yang lampau.

Oleh karena itu, saya berharap pihak-pihak penegak hukum (Kepolisian, KPK dan Kejaksaan) mesti bersinergi agar kasus Novel dan kasus lainnya bisa di selesaikan melalui proses hukum domestik.

Natalius Pigai, Komisioner Komnas HAM RI, Aktivis Kemanusiaan Bersuara Untuk Kebenaran.