Selesaikan Putusan Pidana Mangkrak, Jaksa Diusulkan Dapat Mengajukan Peninjauan Kembali
Berita Baru, Jakarta – Dalam ilmu hukum dikenal asas litis finire oportet yaitu semua perkara harus ada akhirnya. Karena kalau tidak, maka tidak akan ada kepastian hukum.
Hal itu diungkapkan Kepala Pusat Data Statistik Kriminal dan Teknologi Informasi (Daskrimti) Kejaksaan Agung Didik Farkhan Alisyahdi ketika menjawab pertanyaan penyanggah dalam Ujian Akhir Tahap II atau Sidang Terbuka Program Doktor Ilmu Hukum dari Fakultas Hukum Universitas Airlangga (UNAIR) Surabaya, yang digelar secara virtual pada Kamis (19/8).
“Asas hukum ini menegaskan suatu perkara harus ada ujungnya. Mangkraknya putusan pidana yang tidak bisa dieksekusi harus dicarikan solusi, demi kepastian hukum,” ungkap Didik.
Dalam penelitiannya, Didik mengangkat tema Upaya Hukum Peninjauan Kembali Oleh Jaksa Terhadap Putusan Pidana Yang Tidak Dapat Dilaksanakan Demi Mewujudkan Keadilan Dan Kepastian Hukum.
Setelah melalui rangkaian ujian dari penyanggah dan penguji akademik, Dekan FH UNAIR Iman Prihandono selaku pimpinan sidang menyatakan disertasi Didik Farkhan Alisyahdi diterima dengan predikat sangat memuaskan, dimana nilai indeks prestasi yang diperoleh sebesar 3,90.
“Disertasi saudara promovendus diterima, dengan demikian saudara dinyatakan lulus dengan predikat sangat memuaskan, dengan indeks prestasi 3,90,” tutur Iman.
Dalam ujian terbuka yang dihadiri oleh Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Umum (Jampidum) Fadil Zumhana tersebut, Didik mengungkapkan bahwa praktek putusan pidana yang mangkrak itu banyak sekali, meskipun tidak dikenal secara teori.
“Dalam perkara pidana tidak ditemukan rumusan putusan tidak dapat dilaksanakan (non executeable). Namun dalam praktek, banyak perkara pidana yang putusannya tidak dapat dilaksanakan. Meski putusan telah mempunyai kekuatan hukum tetap, jaksa selaku eksekutor, tidak dapat melaksanakan eksekusi,” terang Didik memaparkan latar belakang penelitiannya.
Lebih lanjut Didik mengungkapkan, terkait perkara itu, beberapa jaksa telah mengajukan perbaikan putusan atau renvoi ke MA. Namun semua ditolak. Ada surat yang dijawab oleh MA agar jaksa mengajukan PK.
“Muncul permasalahan ketika jaksa akan mengajukan peninjauan kembali. Ada larangan sebagaimana tercantum dalam Putusan MK Nomor 33/PUU-XIV/2016 tertanggal 12 Mei 2016 yang menguji materi pasal 263 ayat (1) KUHAP,” terang Didik.
Oleh karena itu Didik mengajukan novelty berupa upaya hukum peninjauan kembali demi kepentingan hukum bagi Jaksa terhadap putusan hukum pidana yang tidak dapat dieksekusi.
“Novelty nya adalah PK (peninjauan kembali_red.) demi kepentingan hukum, terinspirasi dari Kasasi demi kepentingan hukum. Conceptual reform yang kami usulkan berupa rekomendasi agar diatur di KUHAP melalui revisi. Karena perubahan KUHAP bisa berpuluh-puluh tahun, maka sebaiknya MA menerima saja PK Kejaksaaan demi kepastian hukum, ungkap Didik.
Ketua Umum Ikatan Alumni Fakultas Hukum Universitas (IKA FH UB) itu juga berkomitmen untuk melanjutkan hasil penelitiannya tersebut agar dapat dikongkritkan.
“Dalam jangka pendek, setelah ujian ini, saya akan membuat telaahan staf berdasarkan hasil penelitian ini, kemudian diajukan kepada pimpinan di Kejaksaan Agung, agar ditindaklanjuti menjadi kebijakan,” tutur Didik.
Dalam jangka menengah dan jangka panjang, Didik mengungkapkan keinginannya untuk mengajukan perubahan KUHAP serta menyampaikan usulan dan masukan kepada Komisi III DPR RI.
“Upaya berikutnya adalah mengajukan perubahan KUHAP. Tentu saja harus bisa memberikan masukan melalui Komisi III DPR RI,” tutur Didik.