Seknas FITRA Nilai Pertumbuhan Ekonomi Dinikmati Elit Kelas Atas
Berita Baru, Jakarta – Sekretariat Nasional Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (Seknas FITRA) menyebut bahwa pertumbuhan ekonomi masih ekslusif, hanya dinikmati sebagian ‘elit’ kelas atas, belum inklusif sehingga berpengaruh terhadap pengurangan kemiskinan dan pengangguran.
“Hal ini terlihat dari capaian yang timpang dan berbanding terbalik antara pertumbuhan ekonomi dengan tingkat kemiskinan dan pengangguran di tahun 2020 dan 2021, termasuk Gini Rasio yang masih tinggi,” kata Sekjend FITRA Misbah Hasan dalam rilisnya yang bertajuk ‘PR Pemerintah Atas Nota Keuangan RAPBN 2021, Senin (16/8).
Sehingga pemerintah, lanjut Misbah, perlu mengarahkan pertumbuhan ekonomi lebih inklusive agar bisa dinikmati oleh oleh kalangan ekonomi menegah ke bawah.
Tidak hanya itu, sampai saat ini, FITRA mencatat pemerintah juga belum memaksimalkan potensi Pendapatan Negara, baik dari Pajak maupun Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP), meski sudah direlaksasi target penerimaannya.
Ia menyebut, masih banyak potensi kebocoran penerimaan pajak dan PNBP yang dilakukan oleh petugas pajak, diversifikasi pajak yang justru memberatkan masyarakat kecil seperti pajak sembako dan lain sebagainya.
“Perlu pengawasan yang ketat atas potensi kebocoran pendapatan negara dan diversifikasi pajak yang tidak memberatkan masyarakat kecil,” kata Misbah.
Misbah menyampaikan, proyeksi APBN 2022 dan perubahan fiskal yang dilakukan belum fleksibel dan belum adaptif terhadap kerentanan bencana alam dan bencana non-alam COVID-19.
“Hal ini terlihat dari serapan anggaran yang rendah di setiap tahun dibanding dengan pagu anggaran yang ditetapkan, baik serapan Belanja K/L regular maupun serapan anggaran PC-PEN. Serapan Belanja K/L dan PC-PEN cenderung menumpuk di akhir tahun anggaran, sehingga kurang optimal dirasakan oleh masyarakat,” tuturnya.
Sehingga perlu penyederhanaan proses pengadaaan barang/jasa melalui lelamng terbuka dengan tetap memperhatikan transparansi dan akuntabilitas PBJ serta dan mengurangi mekanisme penunjukan langsung.
“Rendahnya sinergi antara Belanja K/L dan TKDD. Kebijakan fiskal ekspansif konsolidatif belum dibarengi dengan kontrol pelaksanaan yang baik, sehingga target-target capaian pembangunan yang sudah ditetapkan banyak dapat meleset. Hal ini terlihat dari pemanfaatan infrastruktur yang dibangun pemerintah seperti bandara baru yang sepi, jalan tol yang sering rusak, bendungan yang belum mampu meningkatkan Nilai Tukar Petani, dll,” lanjutnya.
Serapan Transfer ke Daerah dan Dana Desa (TKDD), lanjut Misbah, juga rendah berdasar data per Juli 2021 baru Rp373,86 triliun, terkoreksi 6,75% dibanding realisasi pada periode yang sama tahun 2020 sebesar Rp400,93 triliun.
“Rekomendasi, perlu penyelarasan dan sinergi program pusat dan daerah serta Dana Desa dengan melibatkan organisasi masyarakat sipil dalam proses perencanaan, implementasi, serta evaluasi dan pertanggungjawaban anggaran,” ungkap Misbah.
Misbah juga menegaskan, pemerintah perlu memperbaiki Jaring Pengaman Sosial dengan berbagai program, terutama dalam hal data, sehingga program tepat sasaran.
Seperti diletahui sebelumnya, pemerintah menargetkan pertumbuhan ekonomi 2022 kisaran 5,0 – 5,5%, Inflasi 3%, dan perbaikan daya beli masyarakat. Pertumbuhan ini, setidaknya didasari pertumbuhan ekonomi quartal II tahun 2021 pertumbuhan ekonomi diangka 7,07%.
“Pemerintah menargetkan pendapatan negara Rp 1.840,7 triliun dengan sumber; Pajak Rp 1.506,9 triliun, PNBP Rp 333,2 triliun dan Hibah Rp 0,6 triliun. Pemerintah mentargetkan Belanja tahun 2020 sebsar Rp 2.708,7 triliun terdiri dari Belanja Pemerintah Pusat Rp 1.938,3 triliun, Transfer ke Daerah dan Dana Desa Rp 770,4 triliun,” tuturnya.
“Defisit Rp 868,0 triliun atau 4,85% terhadap PDB dengan mengedepankan kebijakan countercyclical dan upaya konsolidasi fiskal. Defisit anggaran ini lebih rendah dibanding tahun 2021 yang ditetapkan diangka Rp 961,5 triliun atau 5,82% dari PDB,” imbuh FITRA.
Sedangkan pembiayaan Rp 868,0 triliun pembiayaan anggaran dengan menggunakan sumber pembiayaan yang efisein, inovatif dan prudent. APBN harus fleksibel merespon kodisi ketidak pastian. Namun fleksibilitas APBN belum memotret secara baik perkembangan ekonomi global.
“Dan kondisi pandemi yang terus terjadi tanpa diketahui kapan berakhir. Tema besar RAPBN 2022 adalah Pemulihan Ekonomi dan Reformasi Struktural,” kata Misbah.
Selain itu, ungkapnya, fleksibilitas APBN jangan sampai keluar dari semangat yang ada, sehingga berdampak pada tidak terkontrolnya pengelolaan pendanaan, terutama utang negara sebagai salah satu sumber pembiayaan negara.
“Per akhir Juni 2021 utang pemerintah mencapai Rp 6.554,56 triliun atau setara 41,35 persen terhadap PDB. Nilai utang naik dibandingkan dengan periode yang sama tahun 2020 sebesar Rp 5.264,07 triliun dengan rasio utang terhadap PDB sebesar 32,67 persen,” kata Misbah.
“Optimisme pemerintah atas RAPBN 2022 membuka mata kita semua, optimisme tidak hanya didasari oleh asumsi tapi data dan informasi serta analisis mendalam, sehingga optimisme tidak semu,” tukasnya.