Sejarah Upaya Pelemahan Kebebasan Akademik di Indonesia
Berita Baru, Jakarta – Tindakan sewenang-wenang kampus dalam memberikan ancaman dan sanksi akademis semakin mengganas di tengah sulitnya membayar uang kuliah akibat dampak pandemi.
Intimidasi dan penjatuhan sanksi akademis merupakan bentuk serangan terhadap hak atas kebebasan berpendapat dan berkumpul mahasiswa, tindakan tersebut nyata mengekang kebebasan berpikir serta ruang gerak mahasiswa. Dengan demikian, intimidasi, pemecatan sewenang-wenang dan skorsing juga dapat dikatakan sebagai tindak perampasan hak atas pendidikan mahasiswa.
Pada saat kampus begitu diperlukan untuk turut mengawasi kekuasaan, birokrat dan akademisi kampus malah makin jauh terperosok jadi institusi otoriter yang gemar merampas hak mahasiswanya sendiri, bahkan di saat pandemi.
Asumsi kita seringkali masih menganggap ruang kampus sebagai “safe space” terakhir bagi kebebasan berekspresi, berkumpul dan berpendapat. Namun pada kenyataannya, kebebasan kampus kerap diserang, dianiaya dan dikerdilkan.
Meski sudah dijamin secara implisit dalam konstitusi Republik Indonesia, sejarah Indonesia telah mencatat berbagai upaya pelemahan kebebasan akademik.
Berikut beberapa sejarah upaya pelemahan kebebasan akademik yang ada di Indonesia:
- Tahun 1973
Pelemahan kebebasan akademik dimulai dengan Deklarasi Pemuda Indonesia pada 23 Juli 1973. Deklarasi ini membentuk Komite Nasional Pemuda Indonesia, dan mengarahkan agar organisasi mahasiswa seperti HMI, GMNI, PMII wajib bernaung di bawah KNPI.
- Tahun 1978
Pembekuan Dewan Mahasiswa oleh KOPKAMTIB (di bawah pelaksana tugas sehari-hari Kaskopkamtib Lakoamana Sordomo) pada 21 Januari 1978 Kebijakan ini diikuti Surat Keputusan Menteri Pendidikan nomor 0156/U/1978 tentang Normalisasi Kehidupan Kampus (NKK) yang meletakkan organisasi intra fakultas di bawah pengendalian, pengarahan, dan pembiayaan kampus. SK tersebut melarang mahasiswa melakukan kegiatan bernuansa politik, kecuali sebagai individu dan memasuki organisasi politik resmi.
- Tahun 1979
Surat Keputusan Menteri Pendidikan No. 037/U/1979 tentang Badan Koordinasi Kemahasiswaan (BKK), yang mengatur bentuk dan susunan organisasi kemahasiswaan dengan tujuan untuk mengontrol kegiatan mahasiswa dari kegiatan politik dan menyatukan keorganisasian mahasiswa dengan kampus melalui Rektor dan Dekan. Sanksi keras berupa pemecatan mahasiswa juga menjadi kebijakan birokrasi kampus saat itu.
- Tahun 2017
Permenristekdiki No. 19 Tahun 2017 tentang Pengangkatan dan Pemberhentian Pemimpin Perguruan Tinggi Negeri yang mengganti Permenristekdikti No. 1 Tahun 2015 tentang Pengangkatan dan Pemberhentian Rektor/Ketua/Direktur pada Perguruan Tinggi Negeri. Adanya aturan Menristekdikti soal pengangkatan dan pemberhentian rektor/ketua/direktur pada perguruan tinggi negeri membuat keleluasaan kampus untuk memilih rektor/ketua/direktor semakin terbatas.
- Tahun 2019
Undang-Undang No. 11 Tahun 2019 tentang Sistem Nasional Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (Sisnas Iptek), Hal tersebut, membatasi ruang gerak peneliti dalam melakukan penelitian dengan wujud berupa pemberian sanksi pidana.
Mahasiswa selalu diharapkan dan diajarkan agar mampu berfikir kritis, dari segala aspek manapun, namun entah mengapa jika membahas masalah politik, seolah itu menjadi boomerang dirinya sendiri. Jadi bagaimanakah sistem demokrasi yang sesungguhnya? Apakah konstitusi yang dijunjung tinggi itu masih ditegakkan?