Beritabaru.co Dapatkan aplikasi di Play Store

 Berita

 Network

 Partner

Sayap Pembawa Petaka | Cerpen : Rumadi
Ilustrasi: mahakarya_gallery

Sayap Pembawa Petaka | Cerpen : Rumadi



Kamu berjalan tertatih. Sedikit terseok dan berhati-hati, agar luka yang berada di sayap sebelah kirimu tidak bertambah panjang. Kamu tahan bau apak, atau mungkin bau kotoran yang memenuhi ruangan ini. Sebuah rumah tua yang sudah lama tidak dihuni lagi. Separuh bangunannya hancur. Kamu melihat ke atas, separuh dari atap bangunan itu telah runtuh, kamu duduk di atas patahan-patahan genteng bangunan itu. Kamu merasai sakit di bagian sayapmu. Kamu lihat tanganmu, penuh dengan sayatan luka. Kamu meringis, tentu sambil berpikir, jika mereka menemukanmu di sini, apa yang akan kamu lakukan? Kamu tak bisa lagi terbang tinggi. Sekali tembakan tentu saja akan menumbangkanmu rebah ke tanah.

Semua bermula ketika pagi tadi kamu terbangun dengan keadaan paling aneh. Kamu bermimpi terjatuh dari jurang, kamu terbangun dengan keadaan yang sangat mengagetkan, dan tanpa kamu sadari kamu terpelanting ke atas hingga kepalamu membentur langit-langit. Kamu masih berasa seperti bermimpi. Mana mungkin tubuhmu bisa terpelanting sejauh itu. Ada yang berat di punggungmu—yang kemudian kamu tahu itu adalah sebuah sayap. Mendengar gaduh di kamarmu, ibumu dengan gegas ke kamarmu. Ia menggedornya dengan sangat keras, tentu saja khawatir sesuatu yang buruk terjadi padamu. Sebentar katamu. Dengan langkah yang tidak tergesa sambil memegangi kepalamu yang sedikit benjol terkena benturan kamu membuka pintu. Kamu meringis. Ada rasa sedikit perih yang kamu rasa. 

Ibumu terhenyak. Bahkan kamu melihatnya teramat ketakutan. Seketika ibumu menjerit minta tolong. Kamu bingung. Ada apa? Tanyamu. Serentak seluruh anggota keluargamu mendatangi kamarmu. Kamu melihat ayahmu, menatap nyalang padamu. Ia bergegas memeluk ibumu, kemudian segera menjauhkan ibumu darimu. Kakakmu yang tertua yang melihatmu segera menghambur dan berusaha memukulmu. Kamu yang masih kebingungan segera menghindar. Namun kakakmu menyerang terlalu beringas, terlalu ganas. Kamu berkelit, kamu merasa badanmu ringan. Kakakmu tak sendiri menyerangmu. Ayahmu, yang baru saja menyelamatkan ibumu, masuk ke kamarmu sambil membawa pemukul bola kasti. Kamu semakin kaget, apakah ini sungguhan? Wajah mereka tidak menampakkan senyum, artinya kamu benar-benar akan dihajar habis-habisan. Kamu terus berusaha menghindar dari pukulan.

“Kembalikan anakku!” kata Ayahmu bersuara garang. Sambil tanpa henti melayangkan pukulan dengan tongkatnya. 

“Aku anakmu Ayah.” jawabmu dengan terengah. 

“Adikku tak seperti ini” sahut kakakmu sambil terus memukul.

Kamarmu hancur berantakan. Lampu pecah, lemari ambruk karena kamu selalu berhasil mengelak dari pukulan mereka. Akibatnya pukulan mereka mendarat di segala benda yang ada di kamarmu.

Kamu tak mungkin bertahan di sini. Kamu yang baru menyadari bahwa kamu memiliki sayap, mencoba untuk sedikit menggerakkannya. Gerakanmu terasa lebih ringan. Entah apa yang kamu pikirkan, kamu terbang melintas begitu cepat membelah ayah dan kakakmu. Kamu berhasil keluar kamar dengan melesat cepat, meskipun ketika baru saja berhasil keluar dari kamarmu tubuhmu menabrak dinding. Kamu menoleh ke belakang. Mereka dengan gesit segera mengikutimu, hendak menghajarmu lagi. Kamu berpikir sebaiknya segera pergi dari sana. 

Kamu melesat mencapai pintu rumah yang terbuka. Kamu sempat melihat ibumu yang terpekur sambil menangis terisak. Ingin sekali menyapanya, tetapi hal itu segera kamu urungkan melihat keadaan yang tak memungkinkan.

Kamu masih belum terbiasa dengan sayap itu. Di luar angin yang berembus agak kencang membuatmu terbang sempoyongan. Beberapa kali kamu menabrak gardu listrik. Kamu harus segera pergi jauh jika ingin selamat. Kamu mulai terbiasa dengan keadaan ini. Perlahan kamu mulai bisa mengendalikan gerakan sayapmu. Kamu tersenyum sekaligus sedih.  

Kamu mencapai jalanan.  Orang-orang takjub melihatmu. Mata mereka menyiratkan kekaguman, beberapa dari mereka segera mengambil ponsel dan mengarahkan kamera ponsel mereka ke arahmu. Beberapa wartawan yang kebetulan berada di sana juga tak ingin kalah mengabadikan momen itu. Mereka menjepretmu berulang kali. Kamu tahu apa yang mereka pikirkan. Sebentar lagi mungkin saja trending topik di media sosial akan dipenuhi berita tentangmu dengan berbagai macam kabar.

Kamu melesat pergi. Kamu mendengar sirine polisi. Entah kejahatan macam apa yang sedang terjadi sehingga di seluruh jalanan kota penuh dengan raungan sirine. Seperti suatu kejahatan yang besar yang sedang terjadi. 

“Berhenti! Atau kutembak!” Kamu mendengar seorang polisi berteriak dengan pengeras suara. Kamu menoleh.

“Berhenti melakukan penculikan dan menyerahlah” katanya lagi.

Namun kamu tak mengerti. Kamu mengabaikan mereka, setelah orang tuamu kini kamu harus berhadapan dengan kepolisian. Kamu melesat di angkasa dengan tenang. Tiba-tiba kamu mendengar bunyi tembakan. Pelurunya melesat tepat berada di samping kiri sebelah sayapmu. Mereka tak main-main. Kamu melihat ke bawah. Kepolisian telah mengepungmu, mereka mengambil ancang-ancang untuk menembakmu,

“Menyerahlah jika tak ingin kamu lukai.” kata polisi itu lagi dengan suara yang lebih keras.

Kamu berpikir. Kamu tak salah, dan tentu saja kamu tak mau menyerah begitu saja. kamu melesat pergi. Menjauh dari mereka. Mereka mulai menembakkan pelurunya. Kamu terus melesat. Rupanya, seluruh kota sudah dipenuhi polisi. Mungkin hanya perbatasan yang bisa menyelamatkanmu. Pergi dari kota ini. Kamu segera berusaha mencapai sana. Karena hujan peluru sedang memburu ke arahmu dari seluruh penjuru kota.

Kamu memasuki hutan. kamu sedikit lega. Setelah melihat danau, kamu mencelupkan dirimu ke dalamnya. Sayapmu mengepak, seperti angsa yang baru saja menemukan sumber air. Tubuhmu terasa segar. Di danau itu dengan separuh tubuh yang terendam air, kamu melihat wajah dan tubuhmu. Kamu tersentak. Itu bukan wajah juga bukan tubuhmu yang kamu kenal. Kamu melihat tanganmu dan menggerakkannya. Ini bukan aku, katamu. Pantas saja kalau orang tuamu saja tak mengenalimu. Kamu tampak berbeda dari yang mereka kenal. Tubuhmu lebih putih, padat, dan berisi. Kamu perhatikan wajahmu dengan saksama, pipimu bulat kecil memiliki semu merah. Tak mungkin lelaki memiliki pipi semacam itu. Rambutmu berbelah tengah, sementara terakhir kali yang kamu ingat, kamu menyibak rambutmu dengan belah pinggir. Matamu terlalu kecil dari terakhir yang kamu ingat, kamu berusaha mengedipkannya, dan di dalam air danau yang sejernih itu kamu melihat pupil matamu berwarna cokelat. Kamu menggeleng lagi. Ini bukan aku, katamu lagi. Alismu terlalu panjang dan berbulu tipis. Aneh katamu. 

Belum selesai kamu mengamati tubuhmu sendiri kamu merasakan hentakan di punggung. Seperti ada sesuatu yang menancap. Kamu meringis sakit. Kamu menoleh ke arah sekeliling. Kamu dipenuhi oleh kaum pemburu. Mereka bertelanjang dada dan bermahkota dari dedaunan yang disusun sedemikian rupa. Dalam genggaman mereka tergenggam busur panah dengan memanggul anak panah. Dua kali kamu tersentak lagi. Sebuah anak panah melesat ke punggungmu lagi. Sebisa mungkin kamu mengepakkan sayapmu, hujaman anak panah tak berhenti, bahkan menyerangmu lebih garang. Seseorang berteriak dengan bahasa yang tidak kamu mengerti. Mungkin seperti perintah untuk memburumu, karena setelah ia berteriak, mereka secara serentak mengarahkan anak panah ke tubuhmu. Sebisa mungkin kamu tahan rasa sakit. Kamu melesat lagi. Dari atas, kamu masih mendengar sirine dari kejauhan. Kamu terus mengepak sambil menghindar dari bidikan anak panah. Pikirmu, kamu telah mengganggu wilayah mereka, sehingga mereka marah ketika didatangi mahluk asing.

Kamu terus terbang. Peluhmu bercucuran. Kamu mendesah. Tak tahu lagi harus terbang ke mana. Kamu mengembara tanpa tujuan. Melintas hutan kamu melihat sebuah kuil tua. Segera kamu mengampirinya, mungkin saja, mereka—orang yang selalu berdoa—mau menerimamu.

Kamu duduk di atas kuil. Kamu melihat bangunan di sana begitu tampak memprihatinkan. Kamu melihat rumah mereka berbentuk bulat, dan atap-atapnya berlubang. Beberapa bangunan tampak miring seperti ingin roboh. Kamu melihat beberapa orang mulai keluar dari rumah.

“Malaikat!!!” seru seseorang.

Kamu terlonjak kaget. Mereka melihatmu. Tentu saja mereka tak ada yang memiliki kamera atau pun ponsel untuk memotretmu. Kamu diam. mereka memerhatikanmu dengan pandang kekaguman. Kamu mengepakkan sayapmu, kemudian turun menghadap mereka. Kamu tersenyum menyapa mereka, berharap kemarahanmu, dibalas dengan keramahan mereka.

Mereka berkerumun. Memegang tubuhmu, bahkan beberapa langsung memeluk dan menciumi tubuhmu. Kamu merasa risih, dan sedikit merasa lega, karena ada juga yang mau menerimamu.

“Aku terluka, adakah di antara kalian yang mau menolongku?” katamu menahan sakit sambil menunjuk bagian belakang tubuhmu. Mereka mengangguk serempak. Mereka segera menuntunmu ke dalam kuil. 

Kamu direbahkan di dalam kuil itu. Anehnya, kamu tidak melihat satu pun patung di sana seperti kuil yang pernah kamu tahu. Seorang yang tampak paling tua segera menyiram tubuhmu. Air kesucian katanya. Kamu merasakan kesegaran. Dua panah yang menancap di tubuhmu dicabut perlahan oleh dua orang pembantu orang tua itu. Mereka menjahit lukamu dengan sangat lembut, berharap sekiranya kamu tidak terlalu merasakan kesakitan. 

“Terima kasih.” katamu. 

“Sesama mahluk bukankah memang harus saling menolong dan mengasihi? Di luar orang-orang tak sabar menunggu kesembuhanmu. Mereka ingin tahu bagaimana mungkin seorang malaikat dilukai. Tentu aku yang memiliki wewenang di kuil ini tak mengijinkan mereka masuk. Sebelum kamu benar-benar sembuh.” kata tetua itu. 

Kamu lega. Setidaknya kamu bisa sedikit tenang berada di sini. 

“Rebahlah. Beristirahatlah. Nanti kalau lukamu sudah membaik, aku akan mengajakmu menemui mereka.” katanya lagi.

“Sekali lagi terima kasih.” Hanya kata itu yang bisa kamu ucapkan.

Entah seberapa lama kamu tertidur, kamu tak ingat pasti. Kamu merasakan sakit di bagian punggung yang membuatmu terbangun. Kamu kaget. Tubuhmu diikat miring ke kanan. Kamu berontak tetapi ikatan yang melilit tubuhmu lebih kuat. Punggungmu terasa lebih sakit, kamu merasa ada yang memegang sayapmu. Kamu mencium bau amis darah. Punggungmu terasa disayat. Perih. Meringis. Kamu tak tahan dan akhirnya berteriak. Tetua itu terkekeh melihatmu kesakitan. 

“Kau tak pantas jadi malaikat anak muda. Biar aku yang memiliki sayap itu. Telah berahun-tahun aku mengabdi di kuil ini, sepantasnya aku yang menjadi malaikat.”

Dua orang yang tadinya merawat lukamu, kini melukaimu. Kamu mengumpulkan tenaga. Energi yang datang dari dalam dirimu, melepaskan ikatan itu. Dua orang yang tadi berusaha mengiris sayapmu terpental jauh. Tetua itu terlonjak kaget, tak mengira kamu bisa lepas. Padahal ikatan yang dililit ke tubuhmu memiliki banyak pintalan.

“Apa benar dia malaikat.”

Tetua itu mengambil tombaknya. Pengawal kuil segera berancang-ancang mengambil anak panah untuk menundukkanmu. Namun bagaimanapun gerakanmu lebih gesit dari gerakan mereka. Kamu menabrak dinding kuil yang paling rapuh. Kamu tak ingin dilukai lagi. Kamu segera melesat meski terbang dengan kepayahan.

Hingga kamu mendapati rumah tua itu. Kamu meringis perih. Kamu tahan bau apak, mungkin bau bangkai atau bau tahi yang memenuhi ruangan itu. Setidaknya di sini kamu tak lagi di buru. Kamu melihat bayanganmu di cermin yang separuhnya telah rusak. Wajahmu pucat, kering. Dan kamu belum bisa memutuskan, apakah kamu akan kembali atau tidak ke rumahmu. 

Ciputat, 10 April 2020


Rumadi, lahir di Pati 1990. Menulis cerpen. Saat ini aktif di FLP Ciputat dan komunitas Prosatujuh. Cerpennya pernah dimuat harian Republika, kompas.id, cendananews.com dan detik.com