Saya dan Satu Abad NU: Sebuah Catatan
Opini: Dicky Hariyandi
Santri Nurul Jadid, Tenaga Pendidik Institut Teknologi dan Bisnis Tuban
Saya lahir dan besar di sebuah pulau di Madura. Di lingkungan dengan kekentalan kultur Nahdlatul Ulama’ (NU) saya dididik. Tak sekadar pendidikan formal. Sejak kanak-kanak mengaji di langgar NU mewarnai kehidupan saya. Lepas sekolah dasar, kedua orang tua saya mengirim saya ke sebuah pesantren di Kabupaten Situbondo, sebuah kabupaten yang memiliki catatan historis tentang dinamika NU.
Tiga tahun di Situbondo, saya kembali melanjutkan pengembaraan tholabul ilmi saya ke pesantren di Kabupaten Probolinggo. Di pesantren itu pula pemahaman Aswaja saya semakin tebal. Setidaknya di sebuah organisasi yang saat ini menjadi sayap organisasi NU, meski secara kultural.
Gambaran singkat masa kanak hingga dewasa itu menjadi penanda bahwa sikap dan tingkah saya sangat NU. Saya mengaji kitab Nashihul Ibad hingga mengkaji pemikiran dan gerakan KH. Wahid Zaini. Saya belajar itu semua bukan hanya perkara ikut-ikutan. Tidak.
Saya menyadari bahwa sebagai nahdliyin saya ingin lebih mengenal NU bukan hanya dari “subuh dengan qunut”. Lebih dari itu, saya ingin mengikuti cara ulama-ulama NU melihat dan bersikap menyikapi pusparagam dinamika bangsa dan negara. Saya ingin belajar kepada kiai-kiai NU, bukan hanya persoalan sesuatu yang besar dan global. Namun saya juga ingin meniru cara beliau-beliau saat dihadapkan problem-problem di akar rumput.
Hanya saja, setelah saya bergulat di pelbagai bacaan. Terlibat di lingkaran-lingkaran diskusi, saya sadar bahwa problem di akar rumput tak bisa terpisahkan dengan konteks global. Saya melihat perjuangan-perjuangan warga di Tumpang Pitu, Banyuwangi, misalnya. Mereka petani dan nelayan yang secara kultur merupakan warga nahdliyin. Atau saudara-saudara di Wadas, Kabupaten Purworejo. Semua kondisi yang mereka hadapi bukan ujug-ujug terjadi begitu saja.
Dari lingkaran pertemanan dengan kawan-kawan sesama nahdliyin pula saya menyadari tentang perjuangan-perjuangan ulama NU mengurai problematika kehidupan. Saya belajar dari KH. Hasyim Asy’ari tentang makna dan arti perjuangan melawan penjajah. Dari seruan beliau kepada umat Islam untuk jihad melawan sekutu, pada tanggal 22 oktober 1945 membuat saya merinding saat mengingatnya. Di tanggal itu sejak tahun 2015 kerap diperingati sebagai Hari Santri Nasional.
Di catatan sejarah lain, saya belajar tentang sosok petani kepada Mbah Yai Hasyim Asy’ari. Lahir dan besar di kultur agraria membuat saya tertarik untuk memahami cara beliau melihat petani. Mengutip tulisan Muntaha dari kitab Amalil Khutaba, yang Mbah Hasyim Asy’ari menulis: “pendek kata, bapak tani adalah goedang kekajaan, dan dari padanja itoelah negeri mengeloearkan belandja bagi sekalian keperloean. Pa’ tani itoe ialah pembantoe negeri jang boleh dipertjaha oentoek mengerdjakan sekalian keperloean negeri, jaitue diwaktunja orang berbalik poenggoeng (ta’ soedi menolong) pada negeri; pa’ tani itoe djoega mendjadi sendi tempat negeri didasarkan.
Pemaknaan petani yang filosofis dari beliau membuat saya mantab dengan bangga menjadi seorang anak petani. Lebih-lebih setelah saya juga mulai mendengar pola dakwah KH. Zaini Mun’im dengan tanaman bernama tembakau. Sekira 1948 M, Kiai Zaini lari dari kekejaman Belanda. Berangkat dari Pamekasan Madura beliau akhirnya bermukim di Paiton, Probolinggo. Kiai Zaini dikenal sebagai pejuang yang cukup diperhitungkan oleh Belanda. Di beberapa catatan disebutkan bahwa beliau memiliki prinsip “merdeka atau mati.” Di perjalanan perjuangannya, beliau sempat ditangkap dan dipenjara Belanda selama tiga bulan.
Kehidupan pascakeluar dari penjara, Kiai Zaini fokus menemani santri-santri nya belajar. Di saat yang sama beliau juga terus berdakwah. Mengajak masyarakat untuk memeluk agama Islam. Namun pendekatan yang beliau lakukan membuat saya tertegun. Kiai Zaini memulai dengan memperkenalkan tanaman bernama tembakau. Kiai kelahiran Galis Pamekasan itu melihat kontur tanah di Desa Karanganyar cocok untuk tembakau.
Kondisi tersebut membuat Kiai Zaini berinisiatif untuk menanam tembakau. Beliau mengajarkan masyarakat sekitar cara bercocok tanam. Mengolah tanah hingga panen. Awalnya tak banyak masyarakat yang mengetahui tanaman tembakau. Kiai Zaini pun langsung mencontohkan. Beliau menanam sendiri. Saat panen, hasilnya cukup memuaskan. Di titik itulah masyarakat sekitar pesantren mulai tertarik.
Hingga berjalannya waktu, masyarakat mulai percaya kepada Kiai Zaini. Dari kisah tersebut saya kian yakin bahwa cara ulama NU bermasyarakat layak untuk ditiru. Belum lagi Fiqh Sosial Mbah Sahal yang dengan gamblang menerangkan bahwa keseimbangan dan kelestarian lingkungan hidup serta seluruh aspek kehidupan, merupakan kunci dari kesejahteraan.
Ada banyak sebenarnya ulama-ulama NU yang melihat problem-problem masyarakat dengan kacamata kritis. Di momen satu abad NU ini rasa-rasanya penting untuk kembali mengingat, membaca, dan menpraktikkan cara-cara ulama terdahulu untuk menyikapi kondisi di akar rumput. Lebih-lebih masyarakat di akar rumput merupakan warga-warga nahdliyin.
Sepenggal cerita-cerita di atas menggambarkan bahwa seyogyanya NU mesti tak melulu berbicara dalam konteks yang “besar” jika di saat yang sama, hal-hal yang dekat justru tak tersentuh. Barangkali tema besar NU atau bahkan keriuhan satu abad NU itu nanti tak terlalu diambil pusing bagi masyarakat di akar rumput. Kehidupan harus terus dilanjutkan. Tak lebih. Tak kurang.
Kondisi itu membuat saya kembali berpikir. Pusparagam fase kehidupan yang sempat saya jalani mendidik saya satu hal bahwa hari-hari ini ghirah NU merawat dan meruwat warga nahdliyin di akar rumput mulai memudar. Masyarakat di Tumpang Pitu dan di Wadas hanya dua dari beberapa contoh masalah fundamental yang dihadapi masyarakat nahdliyin. Kasus lain misalnya, di Sumenep, masyarakat terancam fosfat.
Kehidupan yang semakin runyam dialami masyarakat itu bukan sekadar saya sesali begitu saja. Saban mengingat Mbah Yai Hasyim Asy’ari saya semacam diiingatkan untuk bisa melakukan sesuatu untuk perubahan. Namun belakangan saya menyadari bahwa wadah tempat saya belajar untuk membela kaum mustad’afin pun tak luput keciptratan noda-noda politik praktis. Sialnya noda itu kemudian menggumpal dan menginjak nilai-nilai yang sebelumnya sering kami diskusikan.
Nah, di momen satu abad NU ini bagi saya menjadi waktu yang tepat, bukan hanya untuk NU secara organisasi, melainkan beberapa badan otonom dan sayap-sayap yang satu ideologi dengan NU, untuk memperbaiki sikap kepada kaum mustadafin.
Saya tak menganggap bahwa saya sudah tepat dalam bersikap. Tidak. Saya tak lebih bersih dari yang lain. Hanya saja saya tak berhenti mengelus dada saat dihadapkan dengan pilihan-pilihan yang menabrak nurani. Harapan saya sederhana. Tak muluk-muluk. Yakni ingin melihat kawan-kawan muda nahdliyin kembali mempertegas sikap kepada kaum mustadafin.
Barangkali momentum satu abad ini menjadi momen-momen reflektif bagi kita semua, bahwa hari-hari ini—diakui atau tidak—kita hampir tidak pernah menjadikan masyarakat rentan kaum nahdliyin sebagai titik fokus utama. Sudah saatnya kita benar-benar memperjelas garis demarkasi dan menjaga jarak dengan politik praktis. Tentu narasi itu memang bukan hal baru di lingkungan nu. misal di tahun 1979 saat muktamar ke-26 di semarang, aktivis muda NU menelurkan konsep yang disebut syu’un ijtima’iyyah atau kepedulian sosial sebagai wacana alternatif terhadap politik praktis.
Dalam forum tersebut keberpihakan NU untuk memberikan pelayanan sosial yang lebih kepada warganya, dari sekedar pelayanan keagamaan semata. Konsep tersebut memang dilihat dengan beragam kacamata. Hanya saja sebagian besar kelompok NU memahaminya dalam kerangka keadilan sosial dan pemberdayaan masyarakat ekonomi lemah.
Saat menulis catatan ini saya berusaha mengais-ngais ingatan tentang KH. Abdurrahman Wahid. Sosok Gus Dur begitu terang dalam ingatan saya. Saya kembali teringat debut intelektual beliau di wadah-wadah pengembangan masyarakat pedesaan, yakni Lembaga Penelitian dan Pengembangan Ekonomi dan Sosial (LP3ES).
Terlebih saya ingat buku Martin van Bruinessen, berjudul NU: Tradisi, Relasi-Relasi Kuasa, Pencarian Wacana Baru yang menulis dengan tegas bahwa setelah NU kembali ke khittah 1926 pada tahun 1984 di Muktamar ke-27 di Situbondo. Dalam muktamar tersebut Gus Dur naik menjadi Ketua Umum PBNU. Martin menulis bahwa Gus Dur selalu menegaskan, NU harus memainkan peranan dalam masalah-masalah sosial-politik. Kalau tidak kehadirannya niscaya tidak relevan.
Saya memahami bahwa dawuh Gus Dur itu bukan hanya kepada organisasi NU saja. Namun itu juga dialamatkan kepada kita, aktivis-aktivis muda NU, organisasi-organisasi atau banom-banom NU, bahkan dawuh itu juga untuk organisasi yang berideologi Aswaja. Bila sikap itu kembali hadir dan mewarnai dinamika NU bukan suatu yang muskil terjadi kita akan kembali menemukan rumusan maupun tulisan-tulisan yang lahir dari halaqah-halaqah seperti Teologi Tanah atau Agama dan Hak Rakyat.
Pertanyaannya adalah kapan dan bagaimana? Wallahualam Bissawab