Beritabaru.co Dapatkan aplikasi di Play Store

 Berita

 Network

 Partner

Rapat pleno Baleg DPR RI terkait RUU TPKS. (Foto: Tangkap Layar)
Rapat pleno Baleg DPR RI terkait RUU TPKS. (Foto: Tangkap Layar)

RUU TPKS Masuk Sidang Paripurna, Berikut Respons Jaringan Pembela Hak Perempuan Korban Kekerasan Seksual



Berita Baru, Jakarta – Jaringan Pembela Hak Perempuan Korban Kekerasan Seksual mengapresiasi putusan DPR RI dan Pemerintah yang menyepakati Rancangan Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (RUU TPKS) masuk pada Rapat Paripurna untuk dibahas pada tingkat kedua dan disahkan menjadi Undang-Undang.

Namun demikian anggota Jaringan Pembela Hak Perempuan Korban KS, Anis Hidayah menyayangkan ‘perkosaan’ dan ‘pemaksaan aborsi’ tidak masuk dalam RUU TPKS yang telah disepakati pada pembahasan tingkat pertama antara Panja Baleg DPR RI dan Pemerintah.

“Tanggapan saya sebagai Jaringan Pembela Hak Perempuan Korban Kekerasan Seksual tentu sangat mengapresiasi pemerintah dan DPR RI yang telah menyetujui RUU TPKS akan dilanjutkan pengesahan di Sidang Paripurna,” kata Anis Hidayah saat dihubungi Beritabaru.co, Rabu (6/4).

Menurut Anis, RUU TPKS ini sudah ditunggu selama 6 tahun dan mengalami proses dinamika yang tidak mudah. Karena banyak resistensi dari kelompok-kelompok yang tidak setuju padahal kekerasan seksual faktanya adanya di depan mata.

“Bisa jadi korbannya kita sendiri, anak kita, saudara kita tetangga kita komunitas kita, dan siapapun yang ada di lingkaran kita. Dan sudah banyak korban-korban berjatuhan,” lanjutnya.

Anis pun menegaskan, kehadiran RUU TPKS yang nantinya disahkan menjadi Undang-Undang dalam sidang paripurna DPR,  bisa menjadi payung hukum yang sangat progresif untuk pembaharuan peradaban hukum di Indonesia yang pro terhadap perlindungan korban kekerasan seksual.

“Terutama perempuan korban kekerasan seksual dan anak. Sehingga ini akan menjadi capaian luar biasa bagi Indonesia dalam pembangunan hukum kita,” tuturnya.

Lebih lanjut Anis juga menyampaikan bahwa pihaknya memiliki catatan kritis terkait RUU TPKS tersebut. Ia mengapresiasi di satu sisi, akan tetapi di sisi yang lain beberapa hal yang seharusnya dimasukkan sebagai salah-satu substansi di dalam RUU TPKS tidak tercakup.

Diantaranya yaitu dua bentuk kekerasan seksual berupa perkosaan dan pemaksaan aborsi. Anis melihat dua bentuk kekerasan seksual ini massif terjadi dan menimpa perempuan. Sehingga pihaknya sebenarnya mempunyai harapan dimasukkan sebagai salah-satu dari 9 bentuk yang diakomodasi dalam RUU TPKS.

“Tetapi sayangnya ini tidak masuk. Sehingga ini catatan kita, menjadi satu titik lemah RUU ini,” ujarnya.

Meskipun demikian ia menjelaskan, korban perkosaan tetap bisa menggunakan hukum acara RUU TPKS ke depan ketika sudah disahkan. Sehingga korban perkosaan tetap mendapatkan restitusi, layanan dan hak yang diatur di dalam RUU TPKS.

“Meskipun secara definisi, kategorisasi tindak pidana (perkosaan dan pemaksaan aborsi, red.) itu tidak disebutkan di dalam UU ini,” jelasnya.

Jaringan Pembela Hak Perempuan Korban Kekerasan Seksual juga mengajak semua elemen masyarakat untuk turut serta mengawal Undang-Undang TPKS ke depan. Pertama Anis menyampaikan terkait adanya layanan publik terhadap korban kekerasan seksual yang berbasis layanan terpadu dalam RUU TPKS.

“Sehingga ke depan ini akan menjadi PR bersama bagaimana mendorong agar pemerintah  segera menyelesaikan kelembagaannya, SDM, anggaran dan seluruh piranti-piranti yang dibutuhkan agar layanannya benar-benar efektif,’

Kedua, Anis menyebut UU TPKS harus menjadi informasi dan pengetahuan publik melalui penyelenggaraan sosialisasi baik oleh Pemerintah maupun masyarakat sendiri untuk semua kalangan. Karena kekerasan seksual bisa menimpa siapa saja.

“Sehingga masyarakat nantinya bisa menggunakan RUU ini sebagai instrumen yang bisa melindungi mereka dari tindak kekerasan seksual. Apalagi di dalam RUU ini diatur secara komprehensif tentang pencegahan,”

Anis juga berpandangan RUU ini sangat progresif dalam memberikan hak restitusi kepada korban dengan disertakannya skema baru victim transfans atau dana bantuan hukum, sehingga korban tetap mendapat jaminan restitusi dari dana yang dikelola negara.

“Ini akan dikelola oleh lembaga perlindungan saksi dan korban (LPSK) yang akan menjadi semacam transfans untuk korban dimana ada pelaku yang tidak mampu membayar restitusi,”

Terakhir, kata Anis, yang perlu dikawal bersama ke depan adalah soal bagaimana memastikan aturan turunannya dari UU TPKS bila sudah ditetapkan menjadi Undang-Undang. Kemudian juga memastikan implementasinya dapat berjalan dengan baik.

“Dan bagaimana lembaga pemantau yang dimandatkan oleh UU ini seperti Komnas HAM, Komnas, KPAI, dan Komisi Disabilitas bisa bekerja secara sinergis untuk memastikan agar Undang-Undang ini bisa bekerja,” pungkasnya. (mkr)