Riyadh dapat Menyelamatkan Pangsa Pasar Minyak Tanpa ‘Mematikan’ Perusahaan Minyak Serpih
Berita Baru, Opini – Para anggota OPEC+, beserta negara-negara pihak ketiga, akan melakukan paetemuan pada 9 April. Upaya itu dilakukan guna menentukan kebijakan baru untuk mengubah situasi menurunnya pasar saham energi yang disebabkan kelebihan pasokan dan wabah global virus corona.
Penurunan terus-menerus harga minyak dunia sepanjang 2020, dari sekitar $68 per barel pada Januari menjadi sekitar $22 per barel (jenis Brent) menjelang akhir Maret, telah mendesak para eksportir minyak mentah global anggota OPEC+ sepakat untuk rapat kembali minggu ini.
Hal itu dilakukan setelah pertemuan sebelumnya pada bulan Maret tidak menghasilkan kesepakatan. Bahkan setelahnya, keuntungan-keuntungan perusahaan minyak pun berkurang karena krisis di dalam pasar energi.
Sementara, tidak ada jaminan bahwa sebuah kesepakatan baru atas pengurangan output akan mampu dicapai.
Menyikapi hal tersebut, para pakar telah membaca kemungkinan yang akan terjadi dalam pertemuan OPEC+. Mereka juga melakukan analisis perang minyak selama beberapa tahun terakhir yang menyebabkan krisis pasar minyak dunia.
Melansir dari Sputnik News, berikut ini Beritabaru.co sajikan pendapat para pakar terkait sejarah perang minyak dan kemungkinan terbaik dalam mengurangi krisis pasar minyak mejelang pertemuan lanjutan OPEC+.
Perencanaan Harga Dumping?
Senior Fellow di French Institute for International and Strategic Affairs, Francis Perrin mengatakan, Arab Saudi telah kehilangan pangsa pasar sejak 2014 karena pesaing baru dari Amerika.
Perusahaan minyak serpih Amerika, telah mengangkat AS sebagai penghasil minyak dunia tertinggi dengan kapasitas 12.23 juta barel per hari. Sementara Arab Saudi hanya mampu menghasilkan 11.5 juta barel per hari.
Mengutip pernyataan Edward Moya, analis pasar senior di OANDA New York, perang minyak telah memaksa Arab Saudi menggunakan harga minyak mentah yang rendah. Tindakan itu sebagai upaya melemahkan perusahaan minyak Amerika. Konon hal tersebut berhasil dilakukan di beberapa kesempatan untuk mendominasi pasar.
“Di 2014, Saudi Arabia telah membuat minyak Shale AS tepat sebagaimana yang mereka inginkan. Harga minyak jatuh dari $100 ke $30 dan banyak pengusaha minyak serpih AS yang meninggalkan bisnisnya. Jika saja Arab Saudi memberlakukan penurunan harga minyaknya sedikit lebih lama, revolusi minyak serpih AS akan berakhir,” ungkap Moya.
Hilangnya Pasar Global untuk Minyak Serpih
Kata Moya, sejak Riyadh meninggalkan taktik ini dan menyetujui pemotongan output di bawah OPEC+, perusahaan-perusahan minyak serpih pun secara perlahan mengambil kembali pangsa pasar negara-negara pengekspor minyak, termasuk milik Arab Saudi.
Sebagaimana Moya, Francis Perrin meyakini, jatuhnya harga minyak mentah saat ini mungkin merupakan bagian dari strategi Arab Saudi untuk memperoleh kembali posisinya dalam pasar energi.
Perrin mengungkap, bahwa ini bukanlah kali pertama Riyadh mundur dari tindakan “mempertahankan” harga minyak untuk dirinya dan OPEC dalam upaya mengembalikan kerugian pangsa pasar.
“Salah satu konsekuensi dari strategi ini mungkin adalah hilangnya pangsa pasar. Dari waktu ke waktu, dalam keadaan luar biasa, seperti di pertengahan 1980-an atau dari musim panas 2014 hingga awal 2016 atau di Maret-April 2020, Arab Saudi memutuskan untuk mengubah prioritasnya dan mempertahankan pangsa pasarnya,” Perrin mencatat.
Salah satu pasar utama Saudi yang telah hilang dari 11 tahun lalu adalah Amerika, kata Perrin. Ia menambahkan bahwa perusahaan minyak serpih AS tidak hanya menggunakan kesempatan tersebut, tetapi juga berupaya mengambil alih kedudukan Riyadh di wilayah lainnya di seluruh dunia.
Namun, seorang Ekonom minyak dan Profesor Ilmu Ekonomi Energi di ESCP Europe Business School berpendapat, strategi harga Arab Saudi mungkin yang sesungguhnya berkontribusi pada hilangnya pasar Amerika mereka, tentu bersamaan juga dengan faktor-faktor lainnya.
Ia menyimpulkan, Washington mungkin telah menyadari bahwa Riyadh dengan sengaja tengah memperlambat kalau bukan “mematikan”, industri minyak serpih Amerika.
Dia menambahkan bahwa fokus Arab Saudi pada pasar Asia dan tuduhan keterlibatan yang disangkal Riyadh, dalam serangan teroris 9/10 terhadap AS juga menyebabkan mereka kehilangan pasar energi di AS.
Pertemuan OPEC+ April Ditakdirkan Gagal?
Mengingat perusahaan minyak serpih AS memanfaatkan setiap pemotongan produksi yang diperoleh oleh OPEC+, Salameh mangatakan, para anggota aliansi memiliki sedikit insentif untuk menyetujui sebuah kesepakatan baru jika hal itu tidak melibatkan partisipasi Amerika.
Pakar ekonomi tersebut menekankan, Washington tidak mungkin mengambil bagian dalam kesepakatan macam itu dan karenanya pertemuan OPEC+ mendatang “ditakdirkan gagal”.
“Presiden Trump sudah mengatakan bahwa hanya pasar bebas yang akan menentukan pemotongan produksi AS. Hal ini lalu menimbulkan pertanyaan bahwa di mana sebelumnya pasar bebas ketika produsen minyak serpih AS mengambil keuntungan pemotongan produksi OPEC+ untuk menyokong harga minyak dengan memproduksi minyak shale secara berlebih, bahkan saat mengalami kerugian dan berusaha untuk membatasi harga minyak di pasaran”, papar Salameh.
Salameh melanjutkan, Trump mungkin sebenarnya memanfaatkan perang harga minyak untuk keuntungannya sendiri. Ia menggunakan kesempatan itu sebagai dalih yang nyaman dalam memberlakukan berbagai pajak dan tarif pada impor minyak mentah luar negeri sebagai upaya untuk menyelamatkan industri minyak serpih Amerika.
Namun demikian, sebuah kesepakatan baru OPEC+ masih memungkinkan, Francis Perrin dari French Institute for International and Strategic Affairs mempercayai ini. Arab Saudi dapat tertarik jika aliansi pengaturan harga tergabung dari negara-negara produsen minyak lainnya seperti Kanada, Inggris, Norwegia, Brazil, dan AS, Perrin menekankan.
Pakar tersebut melanjutkan bahwa dalam kasus ini, target baru OPEC+ adalah menurunkan output minyak mentah global hingga 10% atau sekitar 10 juta barel per harinya.
Sumber | Sputnik News |
Penulis | Tim Korso |
Penerjemah | Sarah Monica |