Review Twenty Five Twenty One: Berani Mencintai Berarti Siap Patah Hati
Berita Baru, Entertainment – Saatnya review Twenty Five Twenty One yang dramanya telah berakhir pada Minggu (3/4) kemarin.
Ending drama ini menjadi perdebatan hangat di media sosial. Respon penonton terbelah, sebagian mengagumi keberanian tim kreatif memberikan ending yang, katakanlah, realistis. Sementara sebagian mengkritik karena masih banyak plot hole atau lubang cerita yang menyisakan tanda tanya -juga karena pasangan utama tak berakhir bahagia.
Tapi saat menyaksikan ending drama ini, sejujurnya saya malah terbayang lirik lagu Fiersa Besari berjudul “Waktu yang Salah.” Nyaris separuh liriknya menggambarkan kisah Na Hee-Do dan Baek Yi-Jin. Yang satu dihantui masa lalu dan trauma, yang satu tak berniat menyakiti namun tak bisa melupakan ‘cerita panjang’ yang dilaluinya.
Sebagai pasangan powerful yang mampu menjadi energi bagi satu sama lain, perpisahan keduanya terasa seperti musykil. Tapi, ya, itu dia: rasa yang tepat di waktu yang salah. Apa yang bisa mereka buat?
Simak terlebih dahulu dulu sinopsis Twenty Five Twenty One berikut ini.
Suka-Duka Gejolak Anak Muda
Mengambil latar di tahun 1998, serial ini menceritakan tentang anak muda yang dalam gairahnya mencari cara terbaik menjalani hidup dan terus bertumbuh menggapai mimpi mereka.
Na Hee-Do (Kim Tae-Ri), seorang atlet anggar terpaksa menelan pil pahit ketika tim sekolahnya dibubarkan akibat krisis keuangan IMF d Korea Selatan. Ia pun menyiasati agar tetap bisa bermain anggar. Baginya, anggar bukan sekadar olahraga, melainkan ladang memori antara ia dan mendiang sang ayah.
Krisis serupa juga menyebabkan ayah Baek Yi-Jin (Nam Joo-Hyuk) bangkrut dan keluarga itu pun tercerai-berai. Yi-Jin dipaksa oleh nasib untuk segera memetakan masa depannya sendiri, saat itu juga.
Kondisi tersebut menjauhkannya dari mimpi dan harapan, namun mereka perlahan melawan segala ketidakenakan itu. Perjalanan mereka pun bersisian dan berbuah asmara. Yi-Jin dan Hee-Do bertemu pertama kali ketika mereka berumur 22 dan 18 tahun, kemudian jatuh cinta ketika mereka berusia 25 dan 21 tahun.
Bagi satu sama lain, pasangan mereka adalah harapan. Namun, apakah harapan itu terus menyala hingga di ujung jalan?
Review Twenty Five Twenty One
Jika drama Korea adalah pelarianmu untuk melarikan diri dari kenyataan hidup demi mereguk kelegaan hati dari cerita rekaan, mungkin kamu salah jalan. Sejak lama, beberapa drama telah mengambil jalan berseberangan dengan menghadirkan kisah berakhir sedih.
Twenty Five Twenty One jelas bukan yang pertama. Sebelumnya, penonton Moon Lovers: Scarlet Heart Ryeo atau Cheese in the Trap juga dilimpahi akhir cerita yang menggantung dan cenderung menyedihkan.
Meski jika dibandingkan, Twenty Five Twenty One berada pada level kepedihan tersendiri mengingat pasangan Hee-Do dan Yi-Jin benar-benar tak punya harapan untuk bersatu, di kemudian hari sekalipun.
Drama ini berhasil mengusung slices of life dalam kehidupan nyata yang menjadikannya relevan bagi banyak orang: mereka yang pernah merasakan krisis IMF, mereka yang pernah jatuh cinta pada pandangan pertama, dan mereka yang harus berpisah meski masih cinta. Bahagia, getir, marah, luka, rindu, kecewa; semua ada.
Kisahnya dibuka dengan nuansa komikal terutama oleh karakter Na Hee-Do dan Moon Ji-Woong. Memasuki pertengahan episode, kita diajak menyaksikan luka yang dimiliki para tokoh. Hee-Do masih merasa ibunya adalah perempuan dingin yang mementingkan karier di atas segalanya.
Sementara Yi-Jin harus hidup dalam rasa bersalah menghadapi orang-orang yang kesusahan setelah bisnis ayahnya bangkrut. Sosok Go Yu-Rim mungkin nampak tangguh, namun nasibnya digulingkan oleh takdir.
Dibalik kelucuan Ji-Woong, ia juga menyimpan kepedihan karena orangtuanya. Di sisi lain, Ji Seung-Wan si anak cerdas dan baik menyimpan beban dalam pikirannya. Saat itulah, kita tahu, Twenty Five Twenty One bukan bicara tentang cerita cinta saja, melainkan masa muda yang tak selalu bahagia.
Cinta Pertama dan Keputusan Buat Diri Sendiri
Sorotan utama dari Twenty Five Twenty One adalah kisah cinta pertama dalam masa muda Na Hee-Do dan Baek Yi-Jin. Cinta mereka bertumbuh di tengah kesulitan krisis keuangan akibat IMF di Korea. Keduanya mampu saling mengandalkan dan peduli satu sama lain.
Tak ada yang bersalah atas perpisahan Hee-Do dan Yi-Jin. Di usia dua puluh lima tahun, setelah mengalami guncangan dalam hidupnya, Yi-Jin akhirnya menjejakkan kaki sebagai wartawan televisi yang menjanjikan. Pada usia dua puluh satu, karier Hee-Do sebagai atlet nasional kian bersinar dan dipenuhi tantangan baru.
Ketika jarak diantara mereka semakin nyata, keduanya tak bisa memilih selain memprioritaskan diri mereka sendiri. Kalaupun ada yang harus disalahkan dari perpisahan mereka, itu adalah kecemasan terhadap masa depan.
Bagi Hee-Do, ia membutuhkan waktu dan kehadiran Yi-Jin. Namun waktu adalah apa yang tak bisa diberikan pekerja seperti Yi-Jin. Apalagi sejak meliput kasus terorisme 9/11, Yi-Jin terlampau sibuk, bahkan tertatih untuk mempertahankan kewarasan dan kesehatannya sendiri ditengah krisis kemanusiaan tersebut.
Hee-Do mendukung karier kekasihnya itu, namun pada titik tertentu ia justru melupakan dirinya sendiri. Di sisi lain, jarak antara mereka justru membangitkan trauma Hee-Do, ia takut Yi-Jin akan menjadi seperti ibunya: seorang wartawan super sibuk yang tak punya waktu untuk dirinya.
Sementara itu, Yi-Jin khawatir akan menyakiti Hee-Do dan tak mampu memberikan apa yang ia mau. Rasa cemas dan takut itu pada akhirnya membuat Hee-Do memutuskan untuk melepaskan Yi-Jin, sekalipun Yi-Jin nampak ingin mempertahankan hubungan, meski juga tak mampu memberikan harapan.
Twenty Five Twenty One: drama pendewasaan
Singkatnya, Twenty Five Twenty One adalah cerita mengenai pahitnya kenyataan hidup. Alih-alih menawarkan cerita cinta yang penuh bunga sepanjang jalan, drama ini justru menitikberatkan pada perubahan. Dari satu episode ke episode lain, tak ada yang pasti selain ketidakpastian itu sendiri. Alur ceritanya nyaris tak bisa tertebak.
Kepahitan hidup itu bukan berpisah dengan kekasih, tapi juga kepahitan untuk membuat pilihan yang tak kita inginkan, di usia muda. Go Yu-Rim, misalnya, dipaksa keadaan untuk menanggalkan kewarganegaraan Korea Selatan demi menyelamatkan keluarganya. Beda dengan Hee-Do yang menemukan kebahagiaan lewat bermain anggar, Yu-Rim melakukannya juga demi mendukung keuangan keluarganya.
Serupa dengan Ji Seung-Wan bersinar lewat prestasi sebagai anak terpintar di sekolah, namun harus mengundurkan diri demi mempertahankan idealisme dan ‘menampar’ guru abusif di sekolahnya.
Orang berubah, waktu berubah, sebagaimana relasi berubah. Yang pasti hanya ketidakpastian, dan nyaris tak ada yang bisa kita lakukan selain melanjutkan hidup dengan membawa prioritas masing-masing.
Twenty Five Twenty One merupakan serial drama yang emosional, bahkan olahraga anggar pun mampu diolah menjadi sebuah kisah yang mengharukan.
Tepuk tangan untuk Kim Tae-Ri, Bona WJSN, dan Nam Joo-Hyuk yang mampu membawakan karakter mereka dengan gemilang. Tae-Ri, diusianya ke 31 tahun, berhasil menghidupkan Na Hee-Do, si remaja 18 tahun yang suka mengumpulkan stiker, bermain air, dan membaca komik.
Terima kasih, Twenty Five Twenty One, untuk akhir yang indah meski menyakitkan. Drama ini bisa kamu saksikan di Netflix.