Review Serial Maid, Peliknya Ikhtiar Lepas dari Pasangan Abusif
Berita Baru, Entertainment – Tertanggal 1 Oktober lalu, Netflix merilis serial asal Amerika, “Maid.” Dengan arahan sutradara Molly Smith Metzler, serial ini terinspirasi dari memoir yang ditulis oleh Stephanie Land pada 2019 lalu, mengisahkan seorang ibu dan perjuangannya bertahan hidup di tengah kerja keras dan upah minim.
Serial ini kurang lebih mengangkat isu serupa, namun pada dasarnya berangkat dari kasus kekerasan domestik yang membawa sang ibu untuk berupaya hidup berdikari. Baca dulu sampai selesai sinopsisnya berikut ini.
Sinopsis “Maid”
Di tengah malam, Alex (Margaret Qualley) pergi meninggalkan rumah truk yang ia tinggali bersama pacarnya, Sean (Nick Robinson). Ia membawa serta Maddy, anak perempuannya yang berumur 3 tahun. Tak tahu ke mana harus pergi, yang jelas Alex merasa ketakutan setelah melihat Sean membanting gelas saat mereka bertengkar hebat malam itu hingga Alex harus membersihkan pecahan kaca di rambut Maddy.
Alex pun mendatangi pekerja di dinas sosial untuk mendapatkan petunjuk. Petugas menyarankannya untuk tinggal di shelter atau penampungan korban kekerasan domestik yang bentuknya menyerupai rumah susun sederhana. Alex awalnya menolak karena ia tak merasa mengalami kekerasan fisik, melainkan “hanya” emotional abuse atau kekerasan emosi. Di situlah ia menyadari, bahwa emotional abuse termasuk dalam kekerasan yang tak bisa dimaklumi.
Demi mencukupi hidupnya, Alex diarahkan untuk bekerja di Value Maids, penyedia jasa pembantu harian, sebuah pekerjaan yang mau tak mau diambil meski ia harus mengeluarkan modal dan terjebak dalam bayaran yang cekak.
Di sisi lain, Sean meminta maaf dan memohon pada Alex agar ia mau kembali ke rumah mereka. Berbagai kesulitan untuk bertahan hidup membuatnya terus berefleksi. Haruskah ia minta bantuan ibunya yang pecandu ganja? Atau kembali pada Sean? Lalu, apa yang terjadi sebenarnya antara Alex dan ayahnya?
Review “Maid”
Harus diakui, penghayatan akting Margaret menjadikan penonton ikut larut dan bergetar dengan naik-turun emosi yang dialami Alex. Alur ceritanya juga dieksekusi dengan tepat, sehingga waktu satu jam per episode dengan total 10 episode tak terasa terlewati begitu saja.
Bantuan dari dinas sosial tak selalu menjadikan jalannya mudah, justru Alex mendapatkan stigma sebagai orang miskin di tengah masyarakat. Pekerjaannya tidak selalu membantu, tapi juga bikin kepala makin pening. Alex harus berkali-kali pindah tempat tinggal yang sesuai dengan uang di kantongnya. Itu semua harus ia jalani bersamaan dengan upayanya mendapatkan hak asuh Maddy.
Pengembaraan Alex menggambarkan jalan terjal bagi korban kekerasan domestik. Mereka dilingkupi kebimbangan: kembali pada pasangannya yang kasar namun punya atap untuk tinggal, atau hidup bebas dari kekerasan namun luntang-lantung seperti yang Alex alami. Sekali lagi kita diingatkan pentingnya berdaya dan memberdayakan sesama, terutama perempuan yang lebih rentan menjadi korban kekerasan domestik.
Isu-isu yang diangkat dalam serial ini pun sangat mungkin terjadi di dunia nyata. Selain kekerasan domestik, ada juga pengalaman nano-nano dengan klien, perlakuan bos yang tidak menyenangkan, sampai bertemu mantan di Tinder. Apakah kamu pernah mengalami salah satunya?