Beritabaru.co Dapatkan aplikasi di Play Store

 Berita

 Network

 Partner

Review Film Kai Po Che!, Kemelut Politik di Tengah Persahabatan
Ishaan dan Govi menenangkan Omi saat kehilangan orangtuanya _ sumber Netflix

Review Film Kai Po Che!, Kemelut Politik di Tengah Persahabatan



Berita Baru, Film Kai Po Che! (2013) diangkat dari sebuah novel berjudul The 3 Mistakes of My Life yang ditulis oleh Chetan Bhagat. Film ini bahkan tampil perdana di Festival Film Internasional Berlin ke-63 pada tahun 2013 lalu sekaligus menjadi film India pertama yang dirilis pada festival film tersebut.

Sinopsis Kai Po Che!

Review Film Kai Po Che!, Kemelut Politik di Tengah Persahabatan

Film ini dibuka dengan pertemuan kembali dua sahabat, Govind “Govi” Patel (Rajkumar Rao) Omkar “Omi” Shastri (Amit Sadh) di tahun 2010. Pada masa itu, Govi telah menjadi seorang pebisnis sukses dengan klub olahraganya, Sabarmati Sports. Sementara Omi baru saja keluar dari penjara dan dijemput oleh Govi.

Keduanya duduk di sebuah restoran, memesan makanan sambil menonton pertandingan kriket. Omi menatap layar televisi dan membawa kita kembali ke masa sekitar 10 tahun lalu, ketika mereka masih bersahabat dengan Ishaan (Sushant Singh Rajput).

Pada tahun 2000 di Ahmedabad, Govi, Omi, dan Ishaan berencana membuka sebuah usaha yang terdiri dari toko peralatan olahraga yang menyatu dengan sebuah pelatihan kriket.

Karena tak memiliki modal, Govi berusaha mempresentasikan idenya dan meminjam uang pada sanak kerabat, termasuk ayah Ishaan. Permintaan ini ditolak olehnya karena membangun toko olahraga di kompleks kuil adalah hal yang tak masuk akal.

Lampu hijau mereka dapatkan ketika meminta bantuan paman Omi, Bishakh “Bittu” Joshi (Manav Kaul), seorang politisi dari kelompok sayap kanan. Pinjaman itu bukan tanpa timbal-balik, karena Omi pada akhirnya terpaksa bekerja untuk partai Bittu karena terikat dengan uang hutang tersebut.

Awalnya semua berjalan baik. Ishaan ambil posisi sebagai pelatih kriket. Ia bermimpi membawa atlet andalan mereka, Ali (Digvijay Deshmukh), ke pertandingan-pertandingan besar. Govi bertanggung jawab dengan keuangan toko, sementara Omi membantu urusan operasional. Namun perjuangan mereka bukan tanpa kendala. Gempa bumi yang menimpa Gujarat pada 2001 turut menghancurkan toko yang mereka bangun dari uang hutan.

Kebakaran kereta di Godhra pada 2002 memicu masalah yang lebih pelik lagi karena di sana terdapat orang-orang Hindu yang menjadi korban, termasuk orangtua Omi. Semakin menguatlah kebencian terhadap umat Muslim yang dituduh sebagai pelaku pembakaran kereta.

Paman Bittu mengajak Omi membalaskan dendam atas kematian orangtuanya dengan melakukan penyerangan terhadap kelompok partai Islam yang salah satu tokoh utamanya adalah ayah Ali, Naseer Hashmi (Asif Basra). Omi tak menyadari, kebenciannya terhadap kelompok Naseer berbuah duka yang pedih.

Review Kai Po Che!

Review Film Kai Po Che!, Kemelut Politik di Tengah Persahabatan

Cerita yang disuguhkan Kai Po Che! begitu dramatis. Terutama pada adegan final ketika Omi memasuki rumah Naseer Hashmi dengan membawa pistol. Kisah persahabatan ini berakhir dengan gesekan konflik politik agama dan kebencian komunal yang terakumulasi pada sebuah kehilangan besar.

Penokohan dalam film ini cukup realistis. Ishaan, Omi, dan Govi digambarkan sebagai 3 sahabat dengan karakter berbeda, dan nyaris bertabrakan. Ishaan begitu responsif, temperamen, dan blak-blakan. Omi sebenarnya juga sosok yang emosional, namun ia terlihat lebih banyak menyembunyikan perasaan dan kompromis. Sedangkan Govi melengkapi mereka berdua: ia tenang, logis, dan cenderung lebih bijaksana.

Bayangkan ketiga sahabat ini kemudian bekerja sama membangun bisnis usaha. Gesekan dan konflik jadi tak terhindarkan. Sebuah pelajaran buat kita: melibatkan sahabat dan keluarga dalam sebuah bisnis pasti ada harganya.

Namun lebih dari sekadar cerita perjuangan menuju sukses, di tengah persahabatan itu Kai Po Che! juga menampilkan konflik bersejarah yang muncul dalam film, yakni gempa bumi di Gujarat pada tahun 2001, kebakaran kereta Godhra pada 2002, dan kerusuhan di Gujarat pada tahun yang sama.

Barangkali, muatan-muatan konflik sosial-politik ini menjadikan kita lebih aware pada fakta bahwa, selalu ada yang lebih penting daripada membiarkan kebencian-kebencian itu menguar dalam hati.