Beritabaru.co Dapatkan aplikasi di Play Store

 Berita

 Network

 Partner

Resensi Perempuan di Titik Nol, Karya Besar Nawal El Saadawi

Resensi Perempuan di Titik Nol, Karya Besar Nawal El Saadawi



Berita Baru, Buku – Pada Minggu (21/3) lalu, Nawal El Saadawi menghembuskan napas terakhirnya. Ia sosok yang unik, komplit: seorang penulis, dokter, psikiater, dan aktivis feminis. Ia menulis sejak tahun 1957, sebuah kumpulan cerita pendek berjudul I Learned Love. Barangkali buku yan terakhir ia tulis adalah Mozakerat tefla fi Al Khamesa, yang artinya Buku Harian Seorang Anak Perempuan Berumur 5 Tahun.

Sepanjang masanya berkarya, ada banyak buku Nawal yang fenomenal dan diterjemahkan ke beragam bahasa, termasuk Bahasa Indonesia seperti buku Nawal berjudul Jatuhnya Sang Imam (2003), The Circling Song (2009), dan Perempuan dalam Budaya Patriarki (2011). Diantara buku-buku itu, Perempuan di Titik Nol (2014) adalah yang populer di kalangan pembaca kita.

Sinopsis Perempuan di Titik Nol

Novel ini diangkat dari kisah nyata di Mesir, tentang seorang perempuan bernama Firdaus yang tengah menanti hukuman gantung. Ia divonis bersalah setelah membunuh laki-laki, seorang germo. Nawal menemuinya di penjara dan mendengarkan cerita Firdaus di sana: apa yang membuat dia harus membunuh?

Perempuan di Titik Nol menceritakan kehidupan Firdaus sejak kecil. Hidupnya dihimpit ketidakadilan yang ia terima sebagai anak dan sebagai perempuan. Ayahnya tak punya rasa kasih sayang kepada keluarga, bahkan cenderung abusif dan tidak bertanggung jawab. Rumah selalu berpusat pada ayahnya, dan hanya ayahnya. Jika makanan hanya sedikit di rumah, maka hanya ayahnya yang akan makan.

Kekerasan yang ia terima berlanjut ketika Firdaus melanjutkan kehidupan di rumah pamannya, setelah ayah dan ibunya meninggal dunia. Firdaus nampaknya sadar bahwa pamannya telah melakukan pelecehan atas dirinya, namun Firdaus tak mempertimbangkan pilihan lain saat itu.

Lulus dari sekolah, paman dan bibinya merasa keberatan menampung gadis itu yang hanya punya ijazah sekolah menengah dan tidak bekerja. Akhirnya, mereka “menjual” Firdaus ke Syekh Mahmoud, seorang duda yang sudah berumur. Firdaus dinikahkan dan pamannya berencana menukar Firdaus dengan mahar bernilai tinggi.

Firdaus terjebak dalam pernikahan yang tak ia nikmati. Apalagi, suaminya kerap melakukan kekerasan. Firdaus melarikan diri dari rumah, dan sejak itu hidupnya tak lagi sama. Ia terlunta-lunta, dilecehkan, diselamatkan, dilecehkan, dibayar, hingga menjadi pelacur papan atas di Kairo.

Hingga suatu ketika, Firdaus dikejar oleh seorang germo laki-laki, mendesaknya untuk bekerja sama dan melakukan bagi hasil. Firdaus menolak, namun berkali-kali lelaki ini datang dan memaksanya, hingga akhirnya Firdaus menikam lelaki itu sebagai bentuk pembelaan diri.

Di dimensi dunia kita, sulit bagi kepolisian mempercayai cerita pelecehan perempuan. Dalam dimensi Firdaus, situasinya lebih pelik karena setelah itu ia disudutkan untuk melayani politisi. Suatu malam ketika Firdaus melayani seorang berpangkat tinggi di negaranya, sesuatu terjadi. Sesuatu yang membuat kebebasannya seratus persen terenggut.

Perempuan, pada titik ketidakberdayaannya

Firdaus berada pada titik nol: ia tak dihargai oleh ayahnya, dilecehkan pamannya, dipukuli suaminya, dilecehkan lelaki-lelaki lain, dipungut dari jalanan lalu dilacurkan, ditinggalkan oleh lelaki yang ia cintai demi perempuan anak direktur, dan dipenjara setelah membunuh lelaki yang memaksanya melacur dan memberinya uang.

Vonis gantung atas Firdaus adalah justru bentuk ketidakmampuan negara melindungi hak-hak perempuan sekaligus bagian dari kesucian dan patriotism palsu. Orang memuja syekh atau sosok imam yang dianggap alim, padahal imam itu tidak memberi makan anak dan istrinya, memukuli mereka.

Orang memuja pangeran dan pejabat yang agung, namun membiarkan orang-orang “terhormat” menghamburkan uang rakyat buat meniduri perempuan-perempuan dan menghina mereka.

Benar rasanya jika dibilang, bahwa Ayah, Paman, dan suami Firdaus telah “mengajarkan” perempuan itu menjadi pelacur sejak awal, dengan melakukan kekerasan terhadapnya baik secara fisik maupun psikis.

Nawal El Saadawi bicara banyak melalui buku ini, bahwa masih ada perempuan yang dikekang keterbatasan dan hanya dilihat sebagai pemuas seks laki-laki. Padahal, perempuan juga adalah manusia, dengan akal dan sikap yang harus dihormati.