Beritabaru.co Dapatkan aplikasi di Play Store

 Berita

 Network

 Partner

Refleksi Bulan Gusdur, AWCPH UI Gelar Seminar Islam dan Demokrasi
Seminar AWCPHUI tentang “Islam and Democracy in Indonesia: Rethinking the Legacy of Abdurrahman Wahid and Reformasi Era for Today’s Problems”

Refleksi Bulan Gusdur, AWCPH UI Gelar Seminar Islam dan Demokrasi



Berita Baru, Jakarta – Dalam rangka menyemarakkan Bulan Gus Dur pada setiap Desember, Abdurrahman Wahid Center for Peace and Humanity Universitas Indonesia (AWCPH UI) menggelar seminar dengan tajuk “Islam and Democracy in Indonesia: Rethinking the Legacy of Abdurrahman Wahid and Reformasi Era for Today’s Problems”, Selasa (22/12).

Kepala AWCPH UI, Ahmad Syafiq mengatakan bahwa AWCPH UI merupakan unit kerja pengabdian masyarakat yang ada di lingkungan UI yang fokus dalam kajian dan penelitian pemikiran Gus Dur.

“Hari ini kita ikut merayakan bulan Gusdur dengan berdiskusi tentang demokrasi dan Islam. Kami sangat terbuka dengan berbagai pihak yang menginginkan menegakkan perdamaian di muka bumi,” ujar Syafiq saat memberikan sambutannya.

“Gusdur berpegang teguh kepada konstitusi dalam memperjuangkan kelompok kecil, kelompok minoritas, maupun perempuan. Gusdur meneladankan, tinggal kita melanjutkan,” tuturnya.

Syafiq menjelaskan bahwa saat ini lebih separuh provinsi mengalami penurunan angka kebebasan keyakinan dan beragama.

“Situasi pandemi juga mungkin dapat menambah catatan kekerasan atas nama keyakinan dan agama,” katat Syafiq.

Sebagai narasumber, Direktur Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta Prof. Noorhaidi Hasan menyampaikan tentang tema “Reformasi, Keragaman Keyakinan dan Akar Radikalisme Islam”.

Noorhadi menjelaskan bahwa pasca reformasi mulai muncul kelompok militansi Islam yang melantangkan penolakan terhadap kaum minoritas dan agama lain.

“Meningkatnya aksi radikalisme, tanpaknya tidak dapat dipisahkan dari kegagalan reformasi yang gagal membidik kebebasan beragama,” terang Noorhadi saat menyampaikan materinya.

Menurutnya, Gus Dur terus memperjuangkan eksklusivisme, sektarianisme, dan mayoritarianisme. Gus Dur juga menolak hukum agama diterapkan dalam hukum di Indonesia.

“Gus Dur juga menentang ide pendirian negara Islam,” tegasnya.

Gus Dur, lanjut Noorhadi, berani memperjuangkan pelarangan TAP MPR tentang pelarangan PKI, Dwifungsi ABRI, supremasi sipil, dan juga membuka dialog dengan kelompok separatis.

“Karena komitmennya memperjuangan kebebasan sipil, Gud Dur harus dijatuhkan dari kursi Presiden,” jelas Noorhadi.

 “Gus Dur tidak ingin simbol agama dipermainkan oleh kelompok politik yang hanya mementingkan dirinya sendiri,” imbuh Noorhadi.