Ratna Juwita: 65,6 Juta Rumah Tangga di Indonesia Harus Diproteksi dari Dampak COVID-19
Berita Baru, Jakarta – Penyebaran corona virus disease 2019 atau COVID-19 di Indonesia terus bertambah, sebagaimana disampaikan oleh juru bicara pemerintah pada Rabu (1/4) di Jakarta. Dibandingkan dengan data pada Selasa (31/3) kemarin, terjadi penambahan 149 kasus sehingga jumlahnya menjadi 1.677 kasus yang terkonfirmasi positif. Jumlah korban meninggal dunia juga bertambah sebanyak 21 orang, sehingga total menjadi 157 orang.
Kemarin (31/3), Presiden Joko Widodo juga mengumumkan kebijakan baru dalam rangka merespon perkembangan COVID-19 di Indonesia, juga di dunia. Presiden Jokowi menjelaskan bahwa sebanyak 202 negara sedang menghadapi tantangan berat yang tidak pernah terbayangkan sebelumnya, di mana pandemik COVID-19 telah membawa masalah kesehatan masyarakat dan juga membawa implikasi ekonomi yang sangat luas.
Mempertimbangkan kondisi tersebut, Presiden Jokowi menerbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (PERPPU) untuk mengatur kebijakan keuangan negara dan stabilitas sistem keuangan. PERPPU tersebut menjadi fondasi bagi pemerintah dalam menetapkan kebijakan fiskal melalui penambahan belanja dan pembiayaan APBN 2020 untuk penanganan COVID-19 sebesar 405,1 triliun.
“Total anggaran tersebut akan dialokasikan 75 triliun untuk belanja bidang kesehatan, 110 T untuk perlindungan sosial, 70,1 triliun untuk insentif perpajakan dan stimulus KUR, dan 150 triliun untuk pembiayaan program pemulihan ekonomi nasional termasuk restrukturisasi kredit serta penjaminan dan pembiayaan dunia usaha terutama usaha mikro, kecil dan menengah”. Tutur Jokowi gamblang.
Anggota Badan Anggaran Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (Banggar DPR RI) Ratna Juwita Sari mengaku senang mendengar kebijakan yang disampaikan Presiden tersebut. Menurutnya, sudah seharusnya Presiden sendiri yang harus memutuskan komitmen anggaran untuk penanganan COVID-19 ini.
“Dalam hitungan saya 405,1 T itu setara dengan 2,5 persen dari PDB. Itu proporsi yang bagus, setara dengan negara-negara lain yang terdampaik. Saya kira kebijakan ini sangat tepat. Seandainya keputusan ini diambil Presiden sejak pekan lalu, pasti anggarannya sudah bisa dibelanjakan”. Ucapnya.
Namun begitu, anggota Fraksi PKB asal Tuban – Jawa Timur tersebut memberikan beberapa catatan kritis agar anggaran tersebut benar-benar dapat dipergunakan untuk penanganan wabah COVID-19 secara efektif, serta untuk memproteksi hidup masyarakat kecil saat terjadinya wabah maupun setelahnya.
“Saya minta pemerintah merevitalisasi arah penggunaan anggaran tersebut untuk pencegahan penyebaran, penanganan kasus, dan pengendalian dampak. Itu tiga skema penting yang harus diperhatikan. Jangan sampai tumpang tindih”. Ujarnya.
Ratna menilai, pencegahan penularan COVID-19 harus dilakukan secara sistematis, terukur dan kolaboratif. Selain itu harus dilakukan pembagian peran antara pemerintah pusat, pemerintah provinsi, pemerintah kabupaten/kota, dan pemerintah desa.
Ia mengilustrasikan kegiatan pencegahan yang harus dianggarkan dengan mekanisme pembagian peran. Pengadaan rapid test kit untuk menjangkau 30 persen warga negara menjadi tanggungjawab pemerintah pusat dengan APBN. Pengadaan hand sanitizer dan masker dapat dianggarkan melalui APBD Kabupaten/Kota. Sedangkan pengadaan disinfektan dan alat penyemprotan melalui APBDesa.
“Berdasarkan perhitungan saya, pencegahan penularan COVID-19 secara nasional sebesar Rp36,6 triliun. Ini akan masif sebagai gerakan. Tidak semuanya dari APBN, tapi ada kontribusi APBD Kabupaten/Kota dan APBDesa dengan Dana Desa”. Jelasnya.
Menyinggung tahap penanganan, politisi muda yang tumbuh di lingkungan Nahdliyin tersebut menekankan untuk dibiayai oleh pemerintah pusat dan provinsi. Gaji dokter dan tenaga kesehatan serta pengadaan obat-obatan dapat dibiayai dengan APBN, tetapi biaya rawat inap pasien di RS rujukan lebih mudah dibayar dengan APBD Provinsi atau melalui klaim BPJS.
“Kalau wabah ini berjalan sampai 4 bulan, dan jumlah PDP maupun yang positif COVID-19 mencapai 5000 orang, maka anggarannya kira-kira sebesar Rp310 miliar”. Ucapnya.
Menyikapi aspek pengendalian dampak sosial-ekonomi akibat COVID-19, Ratna menawarkan pendekatan yang bersifat menyeluruh.
“Wabah COVID-19 ini berdampak kepada seluruh rumah tangga di Indonesia tanpa terkecuali, dalam skenario terburuk bisa berlangsung 4 bulan. Semua harus diberikan insentif fiskal maupun non-fiskal agar tidak jatuh miskin”. Terangnya.
Dalam perhitungannya berdasarkan data BPS, Ratna menyebut saat ini terdapat sekitar 65.588.400 rumah tangga di Indonesia. Selama empat bulan ke depan, lanjut Ratna, seluruh rumah tangga tersebut harus diberikan bantuan tunai dan bantuan non-tunai.
“Dalam keadaan darurat seperti ini, pendekatan kebijakan universal coverage harus diterapkan, agar seluruh rumah tangga terjamin kebutuhan hidupnya. Sehingga tidak melanggar anjuran physical distancing. Dengan jumlah 65,6 juta rumah tangga, kebutuhannya sekitar Rp393,5 triliun dalam empat bulan kedepan”. Tambahnya.
Selain itu Ratna juga memberikan penekanan agar alokasi anggaran penanganan COVID-19 tersebut hanya diambil dari realokasi belanja Kementerian/Lembaga dan sisa anggaran tahun sebelumnya.
“Tidak boleh pakai utang. Bebannya jangka panjang. Realokasi belanja KL saja sudah mencapai Rp330 T, ditambah sisa anggaran tahun lalu Rp160 T. Itu sudah cukup”. Tutupnya. [Hp]