Beritabaru.co Dapatkan aplikasi di Play Store

 Berita

 Network

 Partner

tangga hati

Ramadan Ketujuh: dari #TanggaRuhani al-Raghbah hingga al-Hurriyah



Berita Baru, Ramadan –  Pada hari ketujuh Ramadan, utas sufi Oman Fathurahman sampai pada #TanggaRuhani ke-20, yakni al-Raghbah (ketertarikan). Istilah ini menurut Oman lebih tinggi levelnya dibanding al-Raja’.

Jika al-Raja’ masih di tingkat “berharap menemukan” kebenaran, maka al-Raghbah sudah “menemukan”. Berharap menemukan dan sudah menemukan tentu merupakan dua hal yang sangat berbeda.

“Mudahnya, al-Raghbah adalah ketertarikan dalam menjalani perjalanan menuju Tuhan atau kebenaran. Jika kita masih berharap bisa berjalan di jalur kebenaran, kita masih al-Raja’, tetapi ketika kita sudah terjun di jalan, maka di situlah al-Raghbah,” kata Oman melalui pernyataan tertulis pada Senin (19/4).

Selanjutnya, #TanggaRuhani ke-21 adalah al-Rahbah. Meski secara pengucapan cukup mirip dengan sebelumnya, keduanya berbeda. Al-Rahbah bermakna khawatir, yaitu rasa takut tidak bisa menghindari hal-hal yang tidak disukai Tuhan.

Berdasarkan penjelasan al-Sinkili, Oman menyebut bahwa al-Rahbah beririsan dengan al-Khasiyyah atau perasaan takutnya ulama yang khas. Rasa takut yang tidak menyebabkan lari, tetapi justru mendekat. Bicara rasa memang rumit dan beragam, apalagi rasa takut.

Masih di hari yang sama, Oman juga menyampaikan #TanggaRuhani ke-22, yakni al-Muraqabah (pengawasan). Oman menafsirkan istilah ini sebagai bagaimana Tuhan selalu hadir untuk hambanya. Setiapa saat dan di mana pun itu, kita tidak bisa lepas dari jangkauan Tuhan.

Al-Muraqabah penting supaya kita bisa selalu hadir, terkontrol, sadar, dan yang jelas senantiasa merasa bersama Tuhan. Dalam tradisi lain, pola seperti ini disebut sebagai fungsi panoptik.

Yang terakhir adalah #TanggaRuhani ke-23, yaitu al-Hurriyah (merdeka). Al-Hurriyah merujuk pada pentingnya kita untuk tidak menjadikan selain Allah sebagai Tuhan. Sebab hanya dengan beginilah kita bisa mendapatkan kemerdekaan dalam arti sebenarnya.

Merelakan diri untuk mau diperbudak oleh sesuatu atau seseorang di luar Allah, maka itu berarti kita mengikhlaskan kemerdekaan kita yang suci demi sesuatu yang sangat dan sangat terbatas.

“Sebisa mungkin kita penting untuk tidak menghamba pada selain Allah, dalam arti memerdekakan diri dari belenggu makhluk,” ungkap Oman.